Mohon tunggu...
Anto Mohsin
Anto Mohsin Mohon Tunggu... Dosen -

Sebelumnya kuliah dan bekerja di AS. Sekarang mengajar di Qatar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Warga Jakarta yang Mau Pilih Gubernur, Kita Perlu Hegemoni Tandingan

1 Juli 2012   11:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:22 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin siang saya menelpon kolumnis surat kabar Bali Post yang menurut pengakuannya sudah sejak tahun 1983 menulis esai setiap hari minggu. Saya menghubungi beliau terkait penelitian saya. Tadinya saya mau buat janji untuk bertemu dan wawancara, tapi dia menyarankan sebaiknya saya baca dulu tulisan-tulisannya di koran dengan oplah terbesar di pulau Bali itu. "Supaya tidak seperti membeli kucing dalam karung," katanya. Saya setuju dan berjanji membeli koran edisi hari ini untuk membaca tulisannya.

Ada hal yang menarik dari pembicaraan singkat kami di telepon. Beliau dengan bangga bilang kalau sudah sejak jaman Orba sudah menulis kritis tentang rejim penguasa. Dia merasa beruntung rumahnya dekat Kodim katanya. Jadi seakan-akan dia seperti "terlindungi".

Tapi bukan hanya Aridus (nama pena Bapak ini) yang sudah lama menulis berbagai aspek permasalahan sosial yang secara kritis. Banyak orang yang telah melakukan hal yang sama sebenarnya. Salah satunya Ariel Heryanto. Kebetulan di perpustakaan tempat saya kuliah saya menemukan buku kumpulan tulisan Pak Ariel ini yang disunting oleh Idi Subandy Ibrahim. Diterbitkan tahun 2000. Judul bukunya cukup puitis Perlawanan Dalam Kepatuhan Esai-Esai Budaya, tapi maknanya sangat dalam. Menurut saya ini adalah ajakan untuk membangun hegemoni tandingan terhadap dominasi dan hegemoni pemerintah yang sudah kelewatan saat  itu (dan juga saat ini).

Ada salah satu esai Pak Ariel yang saya pikir sangat relevan sekali dengan pilkada ibukota beberapa hari lagi. Esainya singkat (dan saya sertakan secara keseluruhan di bawah ini), tapi analisanya tajam. Inti argumen Pak Ariel di esai ini adalah Jakarta menjadi seperti sekarang ini karena adanya krisis etika sosial yang melanda bukan saja jajaran pemimpinnya tapi juga sebagian warganya. Kepentingan umum terabaikan dan terbengkalai karena banyak perasaan dan pengertian etika kemasyarakatannya warganya tumpul. Esai ini cocok sekali dengan pengamatan saya di berbagai tempat di tanah air. Jadi untuk menyelamatkan Jakarta dari kelanjutan keterpurukan menjadi kota yang tidak nyaman karena macet, banjir, polusi, dsb, saya pikir perlu sekali kita menyimak esai di bawah ini dan membangun hegemoni tandingan dengan cara memilih kandidat yang betul-betul mengedepankan kepentingan umum di agenda kampanyenya.

Selamat memilih warga Jakarta! Semoga Ibukota Republik mendapat pemimpin yang peka akan etika sosial ini.

===

Kepentingan Umum

oleh Ariel Haryanto

Beberapa tahun silam, gara-gara air banjir, jutaan penduduk Jakarta pusing tujuh keliling. Di Bekasi, orang kampung berbondong naik pohon, bukan untuk menghindari air banjir. Mereka justru mencuri kesempatan menonton air ajaib di balik tembok setinggi 3 meter milik Pemda Bekasi. Di situ ada kolam renang senilai Rp 1 milyar. Di Jawa Tengah orang masih ribut soal rumah dinas gubernur senilai Rp 7 miliar. Di Sulawesi Selatan gosip yang seru menyorot rencana pembelian 23 mobil Pajero untuk kendaraan dinas para bupati/wali kota. Masing-masing seharga Rp 165 juta.

Apa kaitan kolam renang di Bekasi, rumah dinas di Semarang, dan mobil dinas di Sulawesi? Jawabannya seakan-akan sudah sangat jelas, yakni soal kemewahan vulrga yang dikecam masyarakat atas nama solidaritas bagi mereka yang miskin. Jawaban seperti itu tidak salah, tetapi agak meleset. Karena meleset, banyak yang tak melihat kaitan semua kasus itu dengan banjir di Jakarta.

Kritik khayalak pada berbagai kasus di atas sebenarnya tidak bersumber dari soal jumlah uang. Maka tidak dapat diperdebatkan dengan matematika kepantasan. Apakah tidak muncul kecaman serupa seadainya berbagai fasilitas dinas itu harganya hanya separo dari yang sudah diberitakan? Atau seandainya semua itu hadiah gratis dari negara asing? Dari jin Aladin atau Casper? Sangat keliru bila kasus-kasus itu dipahami secara sempit, semata-mata sebagai kesenjangan ekonomi atau kecemburuan sosial.

Soal yang lebih mendalam dan serius adalah krisis etika sosial. Khalayak kita kurang percaya, lembaga negara bekerja untuk mengabdi kepada kepentingan umum bangsa ini. Banyak yang curiga, peningkatan fasilitas kantor tidak akan meningkatkan pelayanan kepada kepentingan umum. Jadi bukan soal berapa harga kolam rengan di Bekasi, rumah Gubernur Jawa Tengah, atau mobil dinas di Sulawesi Selatan yang penting. Tetapi untuk  (si)apa harga itu dibayar?

Bagaimana semua itu berhubungan dengan banjir di Jakarta? Di Ibu Kota ini banyak orang mahakaya, tetapi mereka hanya dapat menikmati enaknya jadi orang kaya sebatas kehidupan pribadi. Hidup superwemah di rumah sendiri. Mulai dari halaman depan yang dibentengi pagar kekar hingga kamar tidur yang paling tersembunyi. Belasan pembantu dan puluhan binatang peliharaan di rumah itu hidup lebih makmur daripada rata-rata pegawai negeri.

Tetapi satu meter keluar dari rumah mereka, aspal jalan rusak berat. Sampah tersebar. Selokan buntu. Itulah wajah dan wilayah publik Jakarta. Di luar dunia pribadi, tak ada yang peduli. Juga miliarder yang melewati jalan itu setiap hari.

Keluar rumah, mereka naik mobil pribadi. Dalam mobil mereka menikmati AC sejuk, parfum harum, musik anggun, dan telepon canggih. Di luar badan mobil itu terhampar dunia publik yang seakan-akan berada di planet lain. Jalanan berlubang, berdebu, dan tergenang banjir. Udara cemar dan bisingnya minta ampun. Dalam mobil mereka bicara romantis dengan pacar dan santun dengan sahabat. Di luar mobil, mereka sadis saling serobot jalur dengan mobil lain. Dalam mobil tak ada ampun bagi abu rokok. Keluar mobil mereka membuang sembarangan sampah ke jalanan.

Sehari-hari mereka berada di kantor kerja pribadi. Letaknya di pusat Ibu Kota yang paling mahal. Tetapi begitu keluar gedung kantor, mereka berhadapan dengan dunia publik yang dekil. Persis di depan kantor mewah itu, trotoar rusak berat. Di situ pengemis dan gelandangan tiduran. Ada telepon umum tidak bekerja. Halte bus amburadul. Sampah berserakan. Kabel telepon, kabel listrik, papan iklan bersaing kesemrawutan.

Kesenjangan Indonesia bukan sekedar antara kaya/miskin, kota/desa, Indonesia Timur/Barat, tetapi juga antara wilayah kehidupan publik dan privat yang terpisah hanya beberapa meter. Antara surga bagi kepentingan pribadi, dan neraka bagi kepentingan bersama.

Di pusat huni orang-orang metropolitan terkaya di Indonesia, bisa terjadi banjir dengan wajah dan sebab yang sangat kampungan. Yang terkena akibatnya bukan hanya orang miskin, atau hanya orang kaya. Yang cerewet mengecam pembangunan rumah dinas, mobil dinas atau kolam renang mewah bukan warga bangsa yang paling miskin tapi kelas menengah kota yang terdidik. Ini soal kebingungan etika sosial, bukan ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun