Mohon tunggu...
Marissa Waffuanie
Marissa Waffuanie Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ketika cinta punya banyak rupa...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Terkasihku, Pergi...#ECR4

18 November 2011   05:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:31 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Apa aku sekedar pengisi waktumu kemarin, apa itu artiku untukmu, mas ?" tanyaku tertunduk menyembunyikan airmataku dihadapan laki-laki itu. "Bukan, Cha...kamu begitu berarti, kamu kerlip kandil di gelap hitam jiwaku. Kamu tahu, aku sayang kamu, terlebih begitu mengasihimu", ujarmu. "Carilah penggantiku, akan ada yang lebih baik yang mampu mengisi tiap lengkung pelangi dihatimu, bukan dengan kuas luka, bukan pula dengan gores kesedihan, aku harus pergi...", lanjutmu seraya menggenggam tanganku. Genggaman yang sama ketika kau menemukanku keluar dari rumah Mommy dengan senyum yang mengembang, dan tertangkap sedang memegang fotomu ditanganku. Masih kuingat bagaimana memerahnya mukaku saat kau pun tersenyum balik kepadaku dan bilang ingin mengantarku pulang. Hari-hari itu baru saja kulewati, seakan naungan panah sang Cupid hanya tertuju disekelilingku, bermain indahnya cinta, menelusuri pematang sawah di desa, duduk di tepi sungai memandang langit sore tak lagi sendiri tapi denganmu yang juga ternyata telah jatuh cinta padaku lebih dulu di pesta HUT Rangkat. Tak butuh waktu lama untuk kita menjadi sepasang kekasih. Ahhh, sungguh bahagianya aku saat itu... Kali ini aku menangis... Pikirmu aku bisa menahan sesak yang sedari tadi menderu, memaluh-maluh hamparan hatiku yang terukir namamu. Aku tak ingin tanganmu melepasku, "Kenapa mas, tidak bisakah kau tetap disini..bila hubungan kita masalahnya, lupakan, tapi tolong jangan pergi...tetaplah didesa ini" pintaku memelas padanya, dia hanya diam tak bergeming, mata teduh itu tak lagi sama, mata itu berubah menjadi sendu, didalamnya kurasakan ada luka yang tak ku mengerti, ada kedukaan yang tak mampu kurapal, makna yang tak mampu kusentuh dengan cintaku sekalipun. "Maafin aku, Cha...jangan terus menangis, kalau kita berjodoh, aku, kamu dan kita semua di desa ini masih akan bisa berkumpul. Sampaikan permohonan maaf aku ke Mommy, pak Eddy, bang Ibay dan semua sahabat rangkat, aku tidak bisa pamit satu persatu dan bila aku ada salah tolong pintu maaf itu dibukakan untukku...", dia melepaskan genggamannya, merapikan jaketnya lalu meraih kembali tas yang tadi diletakkan didepan pintu. Airmataku makin deras, aku menghampirinya dan memeluknya erat. Bibirku tak lagi bisa bersuara. Aku paling tidak suka akan perpisahan, dimana aku harus melangkah ke fase baru berikutnya dalam hidup, meninggalkan kenyamanan yang sebelumnya ada. Diapun pasti begitu berat meninggalkan desa yang amat dia cintai, terlihat bagaimana ia melukiskan kasih warga-warga desa Rangkat yang begitu indah di setiap ceritanya. "Aku cinta kamu, Cha. Smoga kamu bahagia ya...Pelangiku harus selalu tersenyum, aku pergi...", dia berbisik sambil melepaskan pelukannya. "Aku benci kamu, mas...aku benci...", ujarku tanpa mampu menghentikan airmata. Dia mengecup keningku lama, mengelus lembut pipiku, butir-butir beningpun menetes dari sudut matanya. Tak ingin berlama-lama menatapku, dia bergegas melangkah pergi tanpa lagi menoleh kearahku yang masih termangu berdiri didepan pintu. *** Siang ini, aku masih belum beranjak dari tempat tidurku. Kamar ini kubiarkan gelap, ku tarik kembali selimut menutupi kepalaku. Terasa ada benda berat menindih kepalaku, aku hanya belum ingin bangun dan tersadar tak ada lagi kamu yang mengetuk pintu rumahku setiap hari, mengawali pagiku dengan sapa dan senyum itu. Sinar mataharipun tak kuijinkan menembus ruang kamarku pagi ini, biarkan menjadi sunyi dulu untukku menikmati perih. Bagaimana aku beritahu Mommy dan lainnya soal kepergian Ki Dalang ?, tanya itu terus yang meraung-raung di bathinku, tanpa terasa airmata itu kembali menghujani pipiku...berharap suatu hari dia akan kembali ke desa ini. ------------------------- Sumber Gambar: Google

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun