Mohon tunggu...
Moussaddeq P Yudhakarsa
Moussaddeq P Yudhakarsa Mohon Tunggu... -

Music, Writing, Travelling, Student of International-Relations

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menerjemahkan: Membaca, Angin.

1 Februari 2012   19:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:11 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13281223921200678868

Baru-baru ini saya membaca sebuah buku kecil yang saya dapatkan pada sebuah pameran tunggal seorang pelukis pada tahun 2008. Buku tersebut di kemas secara sederhana dan berwarna. Di dalamnya, terdapat beberapa artikel, lukisan dan foto-foto dari sang pelukis tersebut. Buku tersebut berjudul: Membaca, angin.

Sebenarnya ada banyak buku yang menyerupai buku ini, namun beberapa kutipan dan pengalaman sang pelukis yang di tuliskan dalam buku tersebut yang membuat saya tertarik untuk mengulasnya. Beberapa ungkapan yang bersifat spontan dan ceplas-ceplos yang membuat buku tersebut semakin menarik untuk di cermati. Dalam buku tersebut, artikel dibuat oleh seorang sahabatnya yang memaparkan pengalaman hidup, opini dan beberapa hasil karya dari sang pelukis. Secara tidak langsung buku ini terlihat seperti sebuah biografi sederhana dari sang pelukis.

Di tandai oleh Angin April sebagai salam pembuka, sang penulis langsung mengutarakan isi hatinya ketika sedang bersama dan menikmati hasil karya sang pelukis. Sang penulis mengungkapkan bahwa sang pelukis di percaya sebagai seorang sahabat penyegar suasana hatinya. Ibarat bermain bola, kalimat protes akan terucap dari seorang pemain terhadap wasit. Sang penulis teringat oleh ungkapan mengenai protes dari sahabatnya tersebut ketika sedang mengisahkan kebersamaannya bermain sepak bola dalam play station.

“Budayakanlah protes untuk kebaikan.”

Kalimat tersebut muncul dari ungkapan karya-karya grafisnya yangmengusung kritik. Entah itu lingkungan hidup yang semakin rusak ataupun tema-tema tentang perubahan sosial politik yang kadang terlalu aneh bin ajaib.

Tanggung-jawab dan kebanggaan bagi keluarga hadir ketika sang pelukis mampu menyelesaikan kuliahnya. Dia adalah seorang yang mempunyai selera tinggi terhadap humor, namun di belakang humornya dia mempunyai tingkat keseriusan yang tinggi pula. Keseriusan itu terlihat dari kedua bola mata sang penulis sendiri ketika melihat sahabatnya tersebut membuktikan dengan menamatkan kuliah.

“Aku menghargai mereka yang lebih tau, yang lebih pintar, yang lebih berpengalaman. Makanya aku sekolah..”

Dalam sebuah perjalanan menggunakan sepeda motor, sang pelukis membisikkan kalimat-kalimat mesra kepada sahabatnya itu, ia mengutarakan pendapatnya mengenai rumah. Rumah itu sesuatu yang penting. Rumah dan studio adalah modal utama untuk bekerja sebagai seniman. Kalimat itu muncul ketika mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah sekaligus studio sang pelukis. Setibanya di rumah, dengan di lanjutkan kebiasaan mereka memasak, terucap kembali beberapa untai kata dari sang pelukis kepada sahabatnya itu.

“Dapur dan ruang makan adalah ruangan penting dalam sebuah rumah. Makan bersama dalam sebuah keluarga sebenarnya adalah hal yang utama. Dari situ kita bisa mendapat banyak mendapat pengalaman dan pelajaran berharga. Bertukar cerita tentang apa saja yang telah dikerjakan oleh masing-masing anggota keluarga pada hari itu. Dan hal tersebut menumbuhkan semangat kebersamaan yang positif.”

Sang pelukis sadar, bahwa di masa kecilnya ia sendiri tidak mendapatkan kesempatan seperti yang ia ungkapkan di atas. Maka semangat kerukunan dan kebersamaan kini ia tanamkan di dalam rumahnya untuk mencapai mimpi-mimpi di masa kecilnya. Dari hal tersebut, maka sang penulis dapat memahami dan kemudian menyampaikan maksud dari karya-karya sahabatnya itu tidak hanya karena kedekatannya sebagai seorang sahabat, melainkan sebagai teman satu atap. Bagi sang penulis, sahabatnya itu ibarat angin yang menyegarkan bagi penikmat karya-karyanya. Dan bagi sang pelukis, sahabatnya tersebut adalah seseorang yang dapat menyampaikan karyanya sebagai angin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun