Saat ini, pukul 02.25. Anak dan suamiku sudah terbuai dalam tidur lelap mereka. Sementara aku belum bisa memicingkan mata untuk tidur.
Sejujurnya, sejak tadi, Rabu 16 April 2014, 2 hp dan 1 tabletku tak henti – henti berdesing menyuarakan sms dan telepon masuk yang kesemuanya ramai – ramai mengucapkan selamat dan doa atas hari yang disebut orang – orang dengan hari ulang tahun. Padahal aku terlahir ke dunia ini pada 17 April sekian puluh tahun lalu. Walau demikian satu demi satu sms dan telepon mereka yang berisi ucapan dan doa kujawab sepantasnya.
Pulang dari kampus, aku masuk dapur, memasak. Lanjut menemani anak semata wayang yang sejak Senin lalu libur sekolah karena para kakak kelas sedang melaksanakan ujian akhir nasional, menempel dan merangkai korsase – korsase mini untuk aksesoris tempat souvenir pesanan pelanggan dan menyusun materi untuk mengajar Sabtu besok, juga sambil membalas semua sms dan pesan masuk yang ditujukan kepadaku.
Tidak terasa, hari sudah magrib. Suamiku pulang dengan tergesa – gesa. Pintu kendaraan dibuka begitu saja dalam kondisi mesin menyala. Hanya salam singkat ketika dia memasuki pintu rumahnya. Aku dan anak saling berpandangan.
“Ganti baju, Nduk. Ayo ke rumah sakit,” katanya kepada saya. “Pakai jaket dan syal,” lanjutnya lagi.
“Mau apa ke rumah sakit, Pap ?” tanya sang anak, keheranan.
“Nengok teman Papi yang dirawat di ICU,” menjawab sang bapak. “Cepat, Bun. Kita harus mampir ke Vanessa* juga,” katanya lagi, ditujukan kepadaku.
Tergesa aku kenakan celana panjang, sebuah oblong lengan pendek, jilbab, melilitkan sebuah syal warna krem karyaku dan kemudian melapisi tubuhku dengan jaket wol tebal. Suamiku menyodorkan kaos kaki dan sepatu flat untuk aku kenakan.
“Adek kalau sudah lapar, makan duluan ya. Mungkin Papi sama Ibu bisa sampai malam banget di rumah sakit,” pesan suamiku kepada anaknya.
Kaos kaki dan sepatu selesai kukenakan. Aku tidak membawa apapun kecuali dompet isi hp. Bergegas kami berdua keluar rumah. Anakku mengantar kami sampai ke teras rumah. Pagar kami tutup dan berdua kami menuju rumah sakit yang satu komplek dengan kantor tempatsuamiku bekerja dengan menembus rinai hujan.
Sepanjang perjalanan suamiku bercerita, katanya teman sekantornya, yang ketika pra jabatan dulu bersama – sama dengan nomor absensi berurutan, masuk rumah sakit dan harus dirawat di ICU karena tubuhnya babak belur dikeroyok lebih kurang 10 lelaki mabuk ketika dalam perjalanan pulang dari kantor Selasa sore 15 April 2014 kemarin. Akibat pengeroyokan menggunakan tangan kosong dan senjata tumpul berupa botol minuman keras dan kayu serta sebilah pisau, teman suamiku itu menderita beberapa luka robek dan memar di kepala, leher, punggung, dada, lengan atas, pinggang, wajah dan gigi rontok serta luka tusuk oleh sebilah pisau yang ditusukkan salah satu pengeroyok yang merobek seragam kerjanya dan melukai perut kanan di bawah rusuk kanan paling bawah dan menembus hati. Sebuah tusukan lain di dada kiri menciptakan luka tembus sampai ke paru – paru, sehingga Selasa kemarin teman suamiku harus menjalani operasi darurat untuk menghentikan perdarahan pada paru – parunya agar teman suamiku bisa dipulihkan pernafasannya secepatnya.
Aku terdiam mendengar tuturan suamiku. Rasa dingin menjalari tubuhku walau AC kendaraan kami dimatikan. Terbayang wajah seorang laki – laki seusia suamiku yang juga memiliki seorang anak gadis seusia anak gadis kami dan istri yang sedang hamil muda calon anak kedua mereka. Kedua kakiku gemetar. Rasa ngeri menjalar, membayangkan tubuh kurus Pak D***dijadikan bulan – bulanan 10 lelaki mabuk sampai cedera berat seperti itu. Kumatikan player yang sedang memutar Torna A Sorriento yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Surrender dan dinyanyikan oleh tiga pemuda tanggung Italia yang menamai trio mereka dengan Il Volo.
“Itu kejadiannya di mana, Mas ?” tanyaku.
“Di P**** K*****, deket rumah Ibunya D***, Nduk,” jawab suamiku sambil menyerahkan hp nya agar aku membaca sms yang masuk. Sebuah sms ucapan selamat ulang tahun untukku dari teman sekantor suamiku, plus sederet kalimat yang menanyakan tentang kegunaan Omeprazole dan Sucralfat. Kuketik sms balasan. Belum juga terkirim, tiba – tiba kendaraan di rem seketika oleh suamiku karena ada pengendara sepeda motor yang seenaknya memotong jalan kendaraan kami secara tajam dari jalur tengah ke jalur kiri, sampai kepala kami nyaris membentur dashboard akibat kerasnya guncangan. Berdua kami shock bukan main dan terpaksa menepi untuk memulihkan ketegangan. Namun hebatnya suamiku, tidak sepatah kata sumpah serapah pun dia keluarkan. Hp nya yang terlempar dari genggaman tanganku diambilnya dan diserahkannya padaku dan kami pun melanjutkan perjalanan yang tinggal setengah.
“Kata Pak R***, seharian ini nafas D*** sudah 2 kali berhenti,” kata suamiku melanjutkan ceritanya. “Istrinya sampai pingsan - pingsan lho, Nduk. Ah, pokoknya mah kondisinya sudah ripuh,” kata suamiku lagi.
Aku hanya bisa terdiam mendengar cerita suamiku. Sekelebat terlihat toko yang penerangannya gemerlapan dan di bagian depan ada billboard bertuliskan Vanessa di sebelah kiri jalan.
“Mas, Vanessa. Itu, ” kataku.
Suamiku menghentikan kendaraanya lagi dan bergegas ke toko yang aku maksud dan tak lama kembali lagi sambil menenteng plastik bag berisi kue yang dibelinya.
“Dia itu, Nduk. Mau ke P**** K*****. Belum sampai rumah, motornya di stop orang dan dia ditarik dari motornya terus dikeroyok rame – rame,” kata suamiku lagi.
“Kok Pak D*** sampai ke P**** K***** segala sih, Mas ? Bukannya rumahnya di Su******* ?” tanyaku.
“Mau nengok Ibunya dan Ibu Mertuanya,” jawab suamiku.
“Tahu gak, dia ke rumah Ibunya untuk apa ?” tanya suamiku lagi.
Aku menggeleng. Rasa ngeri membayangkan kondisi Pak D*** dan kejadian dipotongnya jalur laju kendaraan kami oleh sepeda motor secara tajam dan mendadak, membuatku lebih banyak diam sepanjang perjalanan.
Dua buah sepeda motor yang masing – masing berboncengan, melaju di sebelah kanan kendaraan kami, kemudian memotong laju menjadi di depan kendaraan kami. Berdua sepeda motor itu melaju sejajar. Orang yang duduk di belakang boncengan pengendara sepeda motor yang sepertinya wanita, saling berpegangan dengan orang yang duduk di belakang pengendara sepeda motor yang melaju di sebelahnya. Otomatis perjalanan menjadi terganggu dan suara klakson di belakang kendaraan kami terdengar riuh rendah karena suamiku memelankan laju kendaraannya karena laju kendaraannya juga terganggu. Mana suara tawa dan canda mereka di atas sepeda motor terlihat mencolok sekali. Akhirnya, sebuah hentakan klakson dari suamiku membubarkan aksi kedua pengendara sepeda motor tadi sehingga lalu lintas menjadi lancar lagi.
Berbelok ke arah universitas yang bersebelahan dengan kantor suamiku dan rumah sakit, kembali laju kendaraan kami dipotong oleh beberapa pengendara sepeda motor yang melaju susul – menyusul balapan ugal – ugalan dengan suara knalpot yang memekakkan telinga. Andai ada potongan batu bata di dekatku, ingin rasanya menghantamkan sebuah potongan batu bata ke arah salah satu dari mereka sampai hingga roboh, agar jadi pelajaran buat yang lain !
Sampai di rumah sakit, kami bergegas masuk ke ruang perawatan Pak D*** lewat pintu samping ruang gawat darurat.
Masya Allah, hanya itu yang bisa aku ucapkan dalam hati ketika sampai di dalam ruang Icu tempat Pak D*** dirawat. Aneka selang bersliweran di tubuhnya. Posisi Pak D*** terpaksa tidur miring karena luka – luka yang dia alami membuatnya mengalami sesak kalau tidur telentang. Berbagai ukuran perban terpasang disekujur tubuhnya, tak terkecuali sekitar mata.
Pak D*** susah payah berusaha mengangkat tangannya ke arah kami ketika sang istri membisikkan bahwa kami datang menengoknya.
“Sudah ketangkep pelakunya, Pak,” kata sang istri kepada suamiku. “Tapi baru 4 orang. Yang lain masih kabur,” lanjutnya lagi.
“Ibu, kalau ada perlu apa – apa, nyariso nya Bu,” tanyaku.
Sang istri tangisnya pecah. Dia hanya ingin suaminya kembali sehat lagi seperti sedia kala. Walau kata dokter ada kemungkinan suaminya harus diberi transfusi lagi setelah banyak kehilangan darah akibat luka – luka yang dideritanya.
“Paru – parunya tembus, Bu. Makanya tadi malam cepet – cepet dioperasi,” kembali istri Pak D*** bertutur.
“Itu kejadiannya bagaimana, Bu ?” seorang pembesuk yang mengenakan seragam yang sama dengan yang dikenakan suamiku bertanya. Di sebelahnya seorang aparat berpakaian sipil sibuk mencatat apa yang disampaikan Ny D***.
“Ah, duka nya, Bapa. Bingung atuh da,” jawab istri Pak D*** sambil menyeka air matanya.
Ku rengkuh bahunya dengan kedua lenganku dan Nyonya D*** pun menyandarkan kepalanya ke dalam pelukanku dengan air mata makin bertambah banyak keluar.
“Saya teh rutin nyuruh suami mampir ke rumah Ibunya dan Ibu saya, biar Ibu dan Pun Biang* teh ditengok,” katanya sambil sesenggukan. “Apalagi suami saya kan anak laki – laki satu – satunya. Pas Rama na tos ngantunkeun*, Ibunya teh sendirian di rumah. Paling cuma sama yang nge-kost ajah atau sama Ibu saya kalau pas lagi ditengokin Ibu dan adik – adik saya. Jadi saya suruh suami saya rutin tiap hari mampir ke rumah Ibu dan Ibu saya kalau pulang kerja,” katanya lagi.
Kulepaskan pelukannya dan segelas air minum aku sodorkan. Seteguk dua Ny D*** mau meminum air yang aku sodorkan.
“Kemarin pagi teh Ibunya Bapa Iff** telepon saya. Enggak enak badan, katanya. Dan pengen dibelikan martabak telor,” lanjut Ny D*** lagi.
“Martabak telor kan adanya sore, jadi Bapak Iff** belinya sepulang kerja. Terus ke rumah Ibu. Belum sampai rumah, sudah dicegat preman. Bapak Iff** dipukuli, dipaksa turun dari motornya dan dikeroyok sama banyak preman mabok,” kata Ny D*** sambil menyeka air matanya seiring dengan tangisnya yang pecah kembali.
“Ada yang namanya ***n, dia emang preman tukang judi dan tukang mabok, ngeluarin pisau. Bapak Iff** ditusuk dua kali,” katanya lagi.
“Ada warga yang nolong atau tidak, Bu ?” tanya suamiku.
“Kurang tahu ya, Pak. Tapi kata tetangga – tetangga yang lihat, orang – orang enggak ada yang berani nolongin karena yang ngeroyok pada bawa pisau dan ngancam – ngancam. Baru pas banyak orang yang teriak – teriak, banyak bapak – bapak yang keluar, yang mengeroyok kabur,” lanjut Ny D***.
“Yang menusuk Pak D*** sudah berhasil kami tanggap, Bu. Dia residivis yang memang DPO,” kata lelaki berpakaian sipil yang berdiri di sebelah suamiku.
“Nyesel saya, Bu. Kenapa enggak saya aja yang ke rumah Ibu dan Pun Biang pagi – pagi,” kembali tangis Ny D*** pecah sesenggukan. “Tapi saya nya lagi mual – mual begini, enggak bisa kemana – mana,” lanjut Ny D*** kepadaku.
Dua lelaki yang tadi mengajukan banyak pertanyaan ke Ny D*** pamit. Tinggal aku, suamiku, Pak D*** dan istrinya.
Akhirnya, karena jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku dan suamiku pun juga pamit.
Sepanjang jalan dari ruang ICU tempat Pak D*** dirawat, suamiku menggandeng tanganku yang masih terasa dingin.
Beragam pikiran menghantui kami. Terutama pertanyaan “sampai kapan Indonesia menjadi negeri aman tanpa preman ?”
Hanya doa kami agar Pak D*** diberikan kesembuhan kembali dari Allah atas baktinya kepada Ibu dan Ibu Mertuanya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H