“Jeh” adalah juga suatu ujaran bahasa yang memiliki kedudukan seperti “je” namundigunakan oleh saudara – saudara kita yang ada di di Cirebon dan sekitarnya.
Seperti dalam beberapa kalimat di bawah ini,
“Sirae kapan arep balik ning Bandunge jeh ?”
Yang artinya “Kamu kapan mau pulang ke Bandungnya jeh ?”
“Kien kih, sing paling gede semangkae kih sing arep tek tuku jeh,”
Yang artinya “Ini nih, yang paling besar semangka ini nih yang akan saya beli jeh,”
Atau kalimat ini,
“Kuene jeh weduse Wa Kardi sing umahe ning pojok mbang lor kah bli di cangcang, dadi mbedal,”
Yang artinya,
“Itu jeh kambingnya Wa Kardi yang rumahnya di pojok utara itu, tidak diikat, jadi kabur,”
Masih kurang ?
Baik. Saya tambahkan kalimat ini,
“Lelungan adoh – adoh tekan ning Bali jeh sira kuh bli nggawa oleh – oleh ya,”
Yang artinya,
“Bepergian jauh – jauh sampai ke Bali jeh kamu itu tidak membawa oleh – oleh ya,”
Nah, sama seperti ketika saya menulis kalimat percakapan dalam Bahasa Jogja tadi, mari hapus “jeh” nya. Hasilnya tetap tidak ada perubahan makna dari kalimat – kalimat berbahasa Cirebon yang saya tulis itu.
Akan tetapi, saya merasa ada sesuatu yang janggal dan tidak maknyus, jika “jeh” nya dihilangkan, sebagaimana perasaan saya ketika berupaya menghapus “je” dari percakapan berbahasa Jawa Jogja di atas tadi.
Demikian pula ketika saya berusaha menelusuri apa makna “jeh” dalam percakapan berbahasa Cirebon - yang sudah termasuk sebagai salah satu bahasa daerah yang sudah diakui dunia melalui UNESCO - sama gagalnya seperti ketika saya menelusuri apa makna “je” yang digunakan dalam percakapan saudara – saudara kita yang ada di Jogja, karena saya tidak mampu mendefenisikan apakah “jeh” itu,selain dari pada sebagai “penyedap, pemanis, pelengkap, penyempurna” suatu percakapan yang posisinya sama dengan onomatope bunyi “gooong” yang memungkasi suatu gamelan, walauposisi “je” dan “jeh” tidak mutlak harus berada diakhir kalimat.
Dengan kata lain, saya hanya bisa mengatakan bahwa “je” dan “jeh” adalah sesuatu yang unik yang ada dalam percakapan kedua bahasa tersebut yakni Bahasa Jawa Jogja dan sekitarnya dan Bahasa Cirebon juga dan sekitarnya.
Lalu, di mana berjodohnya “Je” dan “Jeh” itu ?
Upppss.....iya, hampir saya lupa, soalnya barusan 4 orang “anak – anak” saya yang sudah meraih gelar sarjana pertengahan April lalu, pamit kepada saya untuk masuk ke dalam pesawat Lion Air jurusan Bandung – BIL dengan transit di Bali, yang akan membawa mereka pulang ke kampung halaman mereka di Lombok. Jadi sempat lupa di mana berjodohnya “Je” dan “Jeh” itu. Hihihi.
Baiklah, saya akan tuliskan di sini, tentang perjodohan “Je” dan “Jeh” itu.
Ya, anggaplah “Je” adalah seorang pemuda Jawa asli dari Jogja dan “Jeh” adalah seorang gadis muda berdarah Tionghoa - Jawa. Mereka ditakdirkan bertemu pertama kali di sebuah kota yang bergelar Kota Kembang. Pemuda Jogja yang putih bersih dan kurus itu menatap lama kepada gadis muda keturunan Tionghoa dalam balutan jilbab dan pakaian putih – putih tapi bukan seperti pocong, di sebuah rumah sakit.
“Je” termangu melihat “Jeh” yang segesit swallow bird memburu serangga di hari senja,ketika mendorong seorang lelaki tua menuju ruang resusitasi di Unit Gawat Darurat salah satu rumah sakit tempat “Jeh” bekerja. Tangan dan kaki “Jeh” bergerak lincah seiring dengan mulutnya yang meminta tolong dengan cermat kepada rekan – rekannya tentang kondisi lelaki tua yang didorongnya masuk ruang resusitasi.
Singkat cerita, lelaki tua tertolong. Nafas yang terhenti akibat penyakit paru obstruksi kronis yang dideritanya, kembali pulih. Nyawa yang sempat ditarik ulur oleh Sang Pemilik Nyawa, dikembalikan penuh ke raga lelaki tua itu. Kini, di usia rentanya, dia menjalani hidup sehat atas kecerewetan “Jeh” yang memotivasinya agar berhenti merokok dan menjalani hidup sehat. Sebaliknya pemuda “Je” menilai selamat dan tertolongnya lelaki tua yang dibawanya ke unit gawat darurat dan diterima oleh “Jeh”, adalah suatu keajaiban. Bagaimanapun juga, lelaki tua itu adalah komandan, mentor, guru, pembina, bapak angkat, sekaligus partnernya bermain golf yang tiba – tiba terkapar tak berdaya ketika dia baru saja menyelesaikan hole in one nya di salah satu lapangan golf dan buru – buru dibawa ke rumah sakit di mana “Jeh” bekerja.
Mungkin ada chemistry dalam diri “Je” ketika melihat “Jeh” sehingga dia nekat bertanya di mana orang tua “Jeh” berada dan nekat meneteng satu bis merek Santoso berisi orang tua dan karib kerabatnya untuk melamar “Jeh” ke rumahnya yang nuuun jauh di sana.