Mohon tunggu...
MoU SoUL
MoU SoUL Mohon Tunggu... wiraswasta -

".....tetiba saya rindu semua yang ada di Kompasiana....."

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Boong Neng, Dia Nyimeng Juga Tuh!"

25 April 2014   07:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:13 1589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Yang, arah jam sebelas, ada yang Seksiiiii.....!” kata suamiku.

Aku pun mengangkat kepala dari buku yang sedang kubaca dan melihat ke arah yang diminta suamiku. Di sana ada mobil Hond* Bri* abu – abu metalik masih baru yang berjalan tersendat-sendat gleyang-gleyong di lajur kiri. Di depannya melaju pelan mobil truk molen adukan semen yang tabungnya berputar uwir-uwir mengikuti irama lalu – lintas yang tersendat sepanjang kurang lebih satu kilometer lagi sebelum lampu merah bersama. Di sebelah truk molen, melaju pelan mobil pemadam kebakaran yang sirine bersuara uwiw – uwiw nya tidak dihidupkan. Ketika aku menoleh ke belakang, berjajar dua truk kontainer ukuran 20 kaki milik salah satu perusahaan ekspedisi internasional dan di belakang salah satu truk kontainer 20 kaki itu terlihat sebuah bus pariwisata. Selebihnya, aku tidak bisa lihat, karena keterbatasan pandangan ketika aku menoleh ke belakang.

Ya, Rabu 23 April 2014 sekitar jam delapan tiga puluh, aku dan suami berada di lajur cepat Jalan By Pass Soekarno Hatta untuk ke salah satu rumah sakit menggunakan sepeda motor saja dengan pertimbangan menghindari kemacetan karena jam sembilan aku harus ngebut sampai di rumah sakit untuk segera diambil darah untuk serangkaian pemeriksaan dalam kondisi aku puasa, atas anjuran dokter.

Tiba-tiba Hond* Bri* abu-abu metalik berpelat nomor Jakarta itu, memotong jalan suamiku dari arah kiri serong ke kanan secara mendadak sekali dan melaju di tengah-tengah jalan lajur cepat dengan tersendat - sendat. Untung suamiku segera menekan rem sampai aku terlonjak dan kepala berbungkus helmku beradu dengan kepala suamiku yang berbungkus helm juga.

“Sorry, Yaang !” teriak suamiku.

Buru - buru kuselipkan buku Manajemen Proyek Rumah Sakit yang sedang aku baca ke dalam paper bag keluaran salah satu pusat layanan diagnostika terpadu yang berisi foto rontgen lutut kiriku demi untuk bisa memeluk erat suami agar tidak makjedur lagi kepala kami beradu.

Hond* Bri* itu masih terus berjalan dengan oleng dan tersendat-sendat. Klakson demi klakson terdengar bersahutan di belakang kami. Lampu lalu lintas di perempatan Bersama menyala merah berikut sederet kalimat warna orange bertuliskan aneka penyuluhan keselamatan berkendara yang menyala berganti-ganti. Satu per satu kendaraan yang berada jauh di depan sana berhenti mematuhi titah Dewa Penunggu Perempatan bernama lampu pengatur lalu lintas yang menyala merah.

Aku kembali memperhatikan Hond* Bri* itu melaju pelan gleyang-gleyong oleng sekitar sepuluh meter dan kemudian mobil ukuran kecil yang oleh suamiku disebut si Seksi itu kembali serong ke kiri secara tajam. Otomatis suamiku harus menekan rem kembali dan jedeeeerrrrr.... lagi kepala kami beradu dengan cukup keras akibat helm yang kami pakai.

“Weee.... lha piye tho sing Seksi kuwi?!” kata suamiku. “Kayaknya cewek itu yang bawa!” kembali suamiku berteriak di tengah riuh rendahnya suara klakson kendaraan.

Truk molen berkapsul yang uwer-uwer muter, melaju lagi mengikuti kendaraan di depannya. Kami dan beberapa kendaraan lajur cepat sebelah kiri terhenti karena mobil seksi yang gleyang-gleyong itu berhenti di sebelah kiri dan tak lama melaju kembali lagi dengan serong kanan cukup tajam dan mendadak, kemudian berjalan tersendat – sendat dan berhenti mendadak lagi tepat di tengah-tengah lajur cepat di depan Universitas Islam Nusantara dan mobil itu akhirnya tidak bergerak sama sekali. Klakson berbunyi riuh rendah akibat berhenti mendadaknya Hond* Bri* yang membuat pengendara lain harus menekan rem secara mendadak, kemudian lalu lintas benar-benar macet cet.

“Mas pepet yang Seksi itu. Kayaknya ada sesuatu deh,” kataku.

Suamiku melajukan motornya pelan-pelan melalui celah tengah sebelah kanan lajur kiri jalur cepat untuk mendekati mobil yang aku maksud.

Dengan bahasa isyarat aku mencoba menarik perhatian wanita yang duduk di kursi depan sebelah kiri pengemudi yang kemudian menurunkan kaca jendela mobilnya.

“Bu, mobil Ibu membahayakan,” kataku.

Rupanya wanita itu mengalami sesuatu, matanya sembab dan berkaca-kaca.

“Dia muntah – muntah Neng, masuk angin!” kata wanita itu sambil menunjuk ke arah orang yangmengemudikan mobil seksi itu.

Aku harus melakukan sesuatu, fikirku. Di ujung jalur yang sedang kami lewati, Dewa Penunggu Perempatan  menyala hijau. Satu persatu kendaraan yang semula terhenti akibat lampu merahnya yang menyala, saling berlomba untuk melaju kembali. Seketika aku lompat turun dari boncengan suamiku. Menyelempangkan tas kulitku melewati leher suami sampai ke pundak dan menyerahkan paper bag isi foto-foto rontgenku. Kuketuk pintu kiri mobil Hond* Bri* yang tadi kaca pintunya diturunkan. Dengan bahasa isyarat aku meminta agar Ibu yang duduk di sebelah kiri sopir keluar dan pindah ke belakang. Untung dia menuruti permintaanku dengan susah payah keluar dari mobil itu karena pintu mobil hanya bisa dibuka setengahnya saja dan wanita itu berpindah duduk ke belakang. Aku pun berputar ke belakang melewati celah-celah antar kendaraan menuju pintu sopir Hond* Bri* itu. Sempat kulihat suamiku membuka kaca helmnya dan memandangku dengan pandangan tak mengerti.

“Carefour, Maaasss !” teriakku sambil menunjuk ke arah swalayan yang berada di seberang kantor Bersama.

Sesuai perkiraan suamiku, pengemudi Hond* Bri*itu memang wanita. Dia beringsut pindah ke kursi sebelah kiri. Di tangannya ada sebuah kresek penuh berisi cairan yang entah apa. Terdengar bunyi ceklik tanda kunci pintu pengemudi dibuka. Segera kubuka pintunya yang juga cuma setengah karena terhalang kendaraan lain dan duduk serta menyelempangkan safety belt.


Di depan sana, lampu hijau masih menyala tinggal beberapa detik lagi terpampang di timer penghitung sebelum berganti merah kembali. Klakson riuh rendah ‘meneriaki’ kami yang tak kunjung jalan.
Sempat deg-degan juga, ketika harus memajukan mobil di bawah hujan klakson yang memekakkan telinga. Plus klakson mobil truk tronton yang antri minta jalan di belakangku terdengar keras sekali menciutkan nyali.

Tak ayal, aku bergidik ngeri!
Ya Allah!
Hanya itu yang bisa kuingat dan kusebut seraya menekan pedal gas dan Hond* Bri*abu – abu metalik seksi pun melaju mengikuti kendaraan yang ada di depannya.

“Ibu kenapa ?” teriakku kepada dua wanita yang menjadi ‘penumpangku’.

“Masuk angin,” jawab wanita yang tadi mengemudi dan sudah pindah duduk di kursi sebelah kiriku.

Dia terkulai dengan mata terpejam.

Deg! Darahku terkesiap.
Wanita itu, Masya Allah! Cantiiiiiiiiiik sekali !
Kulit putih bersih mulus khas ras tertentu di negeri ini yang andaikan ada lalat hinggap di kulitnya, mungkin lalat itu akan betah saking indah dan mulus serta putihnya kulit wanita itu. Rambutnya pendek bergelombang berwarna merah burgundy yang dibelah dua di puncak kepala dengan pangkal rambutnya menunjukkan warna putih dan hitam berselang - seling. Bibirnya, merah segar cantik sekali tanpa polesan. Hidung mancung proporsional. Alisnya, seindah alis Alexandra Gottardo. Tulang pipinya ? Ya Allah !  Secantik milik Julie Estelle ! Dan secara keseluruhan, aku hanya bisa menyebutkan kata SANGAT CANTIK SEKALI untuk menilai paras wanita itu, di dalam penglihatan dan fikiranku.

Walau wanita itu sudah berumur – terlihat dari barisan pangkal rambutnya yang sudah putih selang seling hitam yang sepertinya uban dan disamarkan dengan pewarna rambut merah burgundy – tapi kecantikannya benar-benar membuatku terpana.


Jujur saja, aku sudah jumpa beberapa artis yang katanya cantik-cantik di negeri ini seperti Ibu Neno Warisman, Ibu Alya Rohali, Ibu Dessy Ratnasari, Ibu Inneke Koesherawati dan berfoto, bersalaman, berpelukan dan ngobrol bareng bersama Ibu Marissa Haque Fauzi sekian belas tahun lalu, namun mereka semua ( maaf ) tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan kecantikan wanita ini.

Tiba-tiba, hidungku mencium sesuatu yang menyeruak memenuhi kabin pengemudi mobil seksi itu akibat enzim adaptil yang dikaruniakan Tuhan kepadaku dan kepada setiap manusia yang bisa menghidu, bekerja. Baunya sama persis dengan sesuatu yang sangat akrab ketika aku masih berkeliaran di ruang gawat darurat 22 tahun lalu.....

Masya Allah !

“Bu ! Ibu habis minum ya ? Habis berapa gelas ?!” tanyaku sambil konsentrasi ke jalan raya.

“Satu gelas doang,” menjawab lirih wanita cantik yang matanya setengah terpejam dengan tubuh terkulai di kursinya.

“Minum apa, Bu?!” tanyaku lagi.

Setengah bergumam wanita itu menyebutkan salah satu merek minuman anggur fermentasi yang cukup terkenal, legendaris dan tentu saja harganya selangit yang diproduksi oleh negara yang pernah dipimpin Jaques Chirac. Hatiku merinding membayangkan harus berapa ikat uang lembaran merah bergambar Soekarno – Hatta untuk dipakai membelinya.

“Bohong, Neng! Si L**i minum sampe seteko! Makanya mabok!” teriak wanita yang duduk di kursi belakang. “Si L**i itu tadi malem dugem, Neng! Party ama temen-temennye !” kata wanita yang duduk di belakang itu lagi.

Dari spion yang terpasang di atas dashboard, aku melihat mata wanita yang duduk di kursi belakang itu sembab dan bengkak, tanda tidak tidur.

“Party di mana, Bu?” tanyaku seraya menekan pedal rem karena sebuah angkot yang melaju di depanku melambat lajunya.

“M*****,” gumam wanita yang sangat cantik jelita tadi.

Waduh, itu mah tempat hiburan malam kelas berat di salah satu kota atuh Bu, dalam hati aku ngagerentes. Pantes sedia wine kelas wahid seperti yang tadi dia sebutkan mereknya.

“Terus, Ibu ini dalam kondisi habis ‘minum’.......nyetir sejauh itu?” tanyaku lagi.

“Boong Neng, dia nyimeng juga tuh!” teriak wanita yang duduk di belakang.

Nyimeng?!” tanyaku lagi sambil memandang wanita yang duduk di belakang lewat spion yang tergantung di atas dashboard.

“Iya Neng, nyimeng ama nelen juga. Nggak cuma 'minum' doang !” jawab wanita yang duduk di belakang.

Di luar dugaan wanita yang sangat cantik jelita dan terkulai di sebelah kiriku berusaha bangkit dan bicara dengan suara keras sekali dan nadanya membentak-bentak dalam bahasa yang tidak aku mengerti. Ada kata ngana, torang, bogo, biongo, pongo, soepastio ( apa pasto, kurang jelas aku dengar saking cepatnya wanita itu berteriak ) , tumbu, sukimai disebut berkali-kali dengan penuh kemarahan. Aku berusaha menenangkannya dengan tangan kiri. Namun sia-sia. Di samping itu aku juga harus konsentrasi ke jalan karena tempat yang kupikir aman untuk memarkir mobil seksi itu sudah terlihat logonya dari kejauhan, Carefour.

Wanita sangat cantik jelita yang dalam kondisi mabuk dan ‘tak karuan’ itu terus-menerus berteriak, mengamuk dan memaki-maki dengan menyebut banyak nama binatang kepada wanita yang duduk di belakang. Demikian juga wanita yang duduk di kursi belakang. Tangannya nunjuk-nunjuk ke arah wanita di sebelahku dengan kata- kata yang tak kalah keras dan penuh bentakan dalam bahasa yang tidak aku mengerti. Sesekali kepalan tinju tangan kanannya teracung-acung.

Seketika, pedal rem kutekan dengan keras. Wanita di sebelahku terlonjak dan wanita yang duduk di belakang menyebut nama tuhannya dengan keras. Aku benar-benar hilang kesabaran dengan bertengkarnya mereka yang marah meletup-letup, jadi menepikan mobil seksi itu tepat di area "lengang" depan Carefour.

“Ibu, ini Carefour!” kataku kepada wanita yang ada di belakang. “Saya tadi ambil alih kendaraan anda, karena kendaraan anda mandeg di tengah dan bikin bahaya. Sekarang sudah aman, saya parkir di sini sampai salah satu dari kalian bisa panggil siapa aja untuk membawa mobil ini ke rumah kalian. Ibu ini mabok dan sebaiknya jangan nyetir. Bahaya !” kataku lagi sambil menunjuk ke wanita yang sangat cantik jelita di sebelahku.

Tiba – tiba wanita yang sangat cantik jelita dan ngamuk – ngamuk tadi membuka pintu mobil sebelah kirinya dan menendang daun pintunya dengan kaki kirinya dan....................dia menundukkan kepalanya keluar pintu mobil, m*ntah kembali dengan sangat banyak. Suara hoook...hoook...hooook...nya terdengar berkali-kali dengan bau asam menyengat yang menyeruak ke mana-mana. Mau tidak mau, naluriku sebagai wanita membuatku beringsut mendekatinya dan memijat tengkuknya.

"Ibu ke rumah sakit aja ya?" tanyaku kepada wanita yang tadi kembali m*ntah - m*ntah.

Wanita itu menggeleng pelan. Dalam hati aku membatin, itu wanita yang sangat cantik jelita benar - benar ‘tidak karuan’. Dia kembali terkulai di kursinya dengan rambut acak-acakan, muka kusut masai dan bau sekali. Sementara wanita yang duduk di belakang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya dalam bahasa yang juga tidak aku mengerti dan nadanya penuh penekanan. Air mata kembali mengalir di pipinya.

“Saya permisi, Bu. Mau ke rumah sakit. Biar Ibu berdua istirahat ya. Hati-hati, jangan berantem lagi. Bisa-bisa polisi ke sini kalau lihat kalian berantem. Terus lihat Ibu ini mabok, bisa panjang urusannya, Bu!” kataku kepada wanita yang duduk di belakang. Wanita itu mengangguk dan menggucapkan terima kasih.

Kulepas safety belt dan aku membuka pintu mobil untuk keluar. Masih sempat kudengar wanita cantik jelita itu menggumamkan terima kasih kepadaku.

Tak jauh dari sebelah kiri mobil seksi itu, suamiku sudah menunggu dengan kepala tanpa helm dan muka tegang penuh tanda tanya. Beberapa angkot dan sepeda motor melintas di sebelah kananku. Aku lari melewati depan Hond* Bri* tadi menuju suamiku dan cepat-cepat duduk di boncengannya dan kami melaju ke rumah sakit yang kami tuju.

Di atas motor sambil memeluk dan menyandarkan kepalaku di punggung suami, barulah aku sadar kalau aku dilarang dokter orthopedi yang menangani lututku untuk melakukan gerakan yang tiba-tiba dan kasar seperti turun dari motor dengan cepat dan kemudian berlari kencang. Namun karena pertimbangan agar tidak terjadi kemacetan panjang dan tabrakan akibat berhenti melajunya Hond* Bri* di tengah jalan lajur cepat saat lampu hijau menyala tadi, aku nekat mengambil alih kemudi mobil ( yang kata suami saya ) seksi itu dan lupa sama lutut kiriku yang sakit menghentak dan sangat.

Sampai di rumah sakit, baru aku bisa bercerita dengan gamblang kepada suamiku tentang keputusanku turun dari boncengannya, mengambil alih kemudi mobil seksi itu dan apa yang terjadi dengan dua wanita yang ada di dalam mobil itu. Suamiku hanya bisa terdiam dan mengucek-ngucek puncak kepalaku mendengar penuturanku. Mungkin dia masih belum bisa menerima bahwa istrinya bisa sewaktu – waktu bertindak cepat tanpa memikirkan kondisi diri sendiri demi sesuatu yang lebih baik.

Sampai hari ini, saat kuakhiri catatan harian ini sambil sarapan dan siap – siap kembali ke Pusat Layanan Diagnostika Terpadu di kotaku, aku masih tak habis fikir, kok ada ya wanita yang sangat cantik jelita nan rupawan mempesona yang sudi merendahkan maruahnya sebagai wanita, demi kenikmatan sesaat bersama minuman keras dan zat narkotika berbahaya serta tanpa fikir panjang dengan menggunakan akal warasnya dia mengemudi sejauh kurang lebih seratus lima puluh kilometer dalam pengaruh alkohol dan zat narkotika berbahaya. Tapi itulah isi dunia, yang oleh karena Tuhan hadirkan hal itu agar aku jadi makin tahu bahwa sejatinya mereka yang begitu itu, dihadirkan Tuhan sebagai pembeda untuk mereka yang sebaliknya dan agar dapat mengambil pelajaran darinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun