Mohon tunggu...
Aji Maulana
Aji Maulana Mohon Tunggu... -

membaca, menulis, musik, bakso, memancing, pemerhati masalah sosial budaya dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Balsem untuk Adu Jotos Karena BBM

15 Juni 2013   20:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:58 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bahan bakar minyak atau yang dikenal dengan istilah BBM, sebagaimana diketahui adalah merupakan energi yang tidak bisa diperbaharui. Dengan begitu, bila persediaan yang ada telah habis, maka tidak bisa lagi diharapkan energi tersebut akan muncul atau tumbuh lagi. Terkait dengan energi tersebut, kita telah dihadapkan pada kenyataan yang menakutkan itu, yaitu persediaan akan BBM yang kita miliki ternyata benar-benar telah berada di titik mengkhawatirkan. Sehingga jalan keluar yang harus ditempuh adalah dengan segera mencari jalan keluarnya, agar kita tidak terus bergantung pada bahan bakar jenis minyak tersebut, baik solar bensin maupun turunanya. Untungnya di negeri kita, ancaman kelangkaan bahan bakar minyak tersebut, saat ini baru dirasakan terjadi pada bensin jenis premium saja. Sehingga, negeri kita masih punya kesempatan untuk beralih ke energi jenis lain.
Peralihan ke bahan  bakar jenis lain telah dimulai dengan memperkenalkan bahan bakar gas beberapa tahun lalu, meskipun di lapangan masih terdapat beberapa kekurangannya, diantaranya mudahnya spekulan mempermainkan harga bahan bakar tersebut, sehingga lagi-lagi kaum lemah adalah pihak pertama yang harus menerima pahitnya. Namun inisiatif peralihan tersebut, telah dipandang sebagai langkah yang tepat dan harus. Karena nantinya, ketika bahan bakar minyak telah benar-benar langka dari hadapan kita, maka kita sudah tidak perlu terkejut lagi, apalagi mengalami kepanikan.
Beralih ke sesuatu yang baru memang biasanya butuh waktu. Misalnya saat ini dengan ancaman kelangkaan, khususnya pada BBM jenis Premium, akhir-akhir ini keluar semacam anjuran kepada masyarakat untuk mulai beralih ke BBM misalnya jenis Pertamax, karena persediaan jenis tersebut dianggap masih cukup melimpah dibandingkan dengan persediaan jenis Premium. Selain itu, dengan terus menguatnya harga BBM jenis Premium tersebut di pasaran selain karena faktor kelangkaannya, mendorong pemerintah makin kewalahan apabila harus terus mengeluarkan biaya subsidi triliunan rupiah, hanya agar harga BBM jenis tersebut tetap murah. Dari berbagai kenyataan tersebut, muncul kalkulasi bahwa mengeluarkan subsidi terus-menerus ke dalam sektor tersebut ternyata lebih boros jika dibandingkan dengan mengalihkannya ke sektor lain yang lebih memberikan dampak positif secara langsung kepada masyarakat bawah, misalnya ke sektor pendidikan atau pertanian dan kelautan.
Masalahnya, menghentikan subsidi BBM berarti membiarkan harga BBM melambung dan itu akan menyeret berbagai harga kebutuhan yang lain. Logikanya, dengan naiknya harga kebutuhan, dalam kondisi penghasilan masyarakat tidak mengalami peningkatan, maka sebagian masyarakat sama artinya, akan turun ke posisi yang semula 'cukupan' menjadi 'miskin' kembali. Untuk mengakalinya agar tidak menjadi miskin, maka diadakanlah program BLSM atau dikenal dengan kepanjangan Bantuan Langsung Sosial Masyarakat atau sebagian mengartikannya dengan Bantuan Langsung Sementara untuk Masyarakat, melihat karena bantuan tersebut memang bersifat sementara saja. Tentu bantuan sementara tersebut ditujukan sebagai pelipur atau semacam rem agar masyarakat tidak terlalu terkejut merasakan dampak kenaikan BBM tersebut.

BLSM Jangan Dijadikan Sarana Adu Jotos Pertikaian Politik Pra 2014
Rencana kenaikan harga BBM, jika dilihat dari catatan komunikasi yang telah dilakukan antara pihak pemerintah dengan legislatif, nampaknya rencana kenaikan tersebut sebagai kenyataan yang tidak bisa dielakkan lagi. Sebab jika dipaksakan untuk mempertahankan terus dengan membayar subsidinya, dipastikan pemerintah bisa langsung bangkrut. Jika terjadi kebangkrutan, itu artinya, 'mbahnya' bahaya jelas mengancam keberlangsungan negara. Setidaknya itu yang dikhawatirkan oleh pihak pemangku kebijakan.
Namun lawan pemerintah bersikukuh bahwa pencabutan subsidi  BBM yang bisa menimbulkan kenaikan harga BBM dan berbagai dampak lainnya, adalah bukan kebijakan yang pas, dianggap terlalu melebih-lebihkan, dan bukan solusi yang utama.
Kritik-kritik tersebut memang sebagian ada yang dilontarkan dengan obyektif, namun banyak pula yang dilontarkan dengan asal menolak karena menganggap ide pemerintah harus ditolak.
Untuk pihak yang pertama, sebaiknya kita tetap bersikap baik dan menghargai pendapat-pendapat mereka, sambil kita terus berusaha berdialog agar bisa ditemukan titik kesepahaman yang menyejukkan. Namun untuk kelompok kedua, sebaiknya kelompok tersebut jangan sampai mengekspresikan penolakan dengan cara yang terlalu 'radikal'. Sebab radikalisme dalam isu apapun, selalu tidak memberikan jawaban tepat, apalagi dalam bentuk solusi bagi semua pihak. Dan persoalan BBM ini sebaiknya tidak dijadikan sebagai 'adu jotos politik'. Dikhawatirkan jangan-jangan mereka menolak karena hanya merasa harus menolak apapun saja. Pasti yang sedemikian itu tidak lah sehat, karena bisanya hanya 'Tut Wuri Angrepoti' belaka, (dibelakang hanya bikin ulah).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun