Resensi Buku:Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Buku ini merupakan gagasan reflektif mengenai Islam nusantara yang lahir dan berkembang sepenuhnya bersenyawa dengan sejarah, dan bukan sedang ‘mengisi’ kevakuman budaya. Oleh karenanya Islam merupakan agama-sejarah, yang akan terus bergulat dengan lingkungan yang senantiasa berubah. Hal itu untuk mengarahkan perubahan tersebut agar tidak tergelincir dari jalan lurus kenabian, dan jalan keadilan. Namun oleh sebagian pihak, Islam sering disalahpahami bahkan dengan cara ‘kasar’ diasingkan dari fakta budaya dan sosial lingkungannya. Sehingga mengakibatkan Islam menjadi ahistoris dan gamang menghadapi perubahan, atau juga gagal dalam mengemban misinya menuntun peradaban.
Dalam buku ini sang Buya menggambarkan situasi bumi Nusantara sebelum kedatangan Islam, telah didiami oleh penganut agama setempat, yakni Hindu, Budha, dan agama pagan lain yang lebih berorientasi pada penyatuan manusia dengan alam. Islam kemudian datang dan dapat diterima hingga saat ini terbilang sebagai agama mayoritas. Sekalipun mayoritas, dalam waktu yang cukup lama, tidak terjadi hal-hal signifikan yang mengganggu hubungan antara mayoritas-minoritas. Bahkan keduanya dapat berdampingan dengan damai. Adapun kadang-kadang muncul konflik di era modern, penyebab utamanya bukan karena perbedaan agama, melainkan lebih banyak dipicu oleh perbedaan kepentingan politik dan ekonomi, karena dipelopori oleh para provokator tidak bertanggungjawab, parokial dan berniat buruk. Mereka ini cenderung menyukai konflik dan gemar mengeruk keuntungan dari kondisi keruh. Dan sebagiannya lagi, kondisi buruk tersebut dipicu oleh adanya sikap pongah sekelompok penganut ajaran Islam tertentu, yang menganggap kelompok lain sebagai Islam cacat.
Pembaca juga diajak merunut kembali sejarah, saat invasi Eropa ke Nusantara terjadi di awal abad ke-16, kerajaan-kerajaan yang dijumpainya sudah bercorak Islam, tetapi masing-masing independen dan bahkan tidak jarang saling berperang sesama mereka. Buya sepakat sesungguhnya kolonialisme memang wajib dikutuk. Namun ia menyadarkan kita, sesungguhnya karena adanya kolonialisme itu juga, kerajaan-kerajaan nusantara dipersatukan walau secara paksa, dalam satu sistem administrasi kolonial, kemudian pada akhirnya menjadi cikal bakal sebuah negara bangsa yang diberi nama Indonesia. Fakta tersebut di atas menjadi keniscayaan untuk membangun sebuah character building Islam dalam bingkai Keindonesiaan. Mengingat munculnya perbedaan visi antar muslim terakhir ini, Buya menyebutnya sebagai raison d’etre bagi lahirnya kelompok-kelompok radikal. Meski demikian, selagi dua arus besar NU-Muhammadiyah bergandengan tangan, bangsa ini akan tetap aman dari ancaman radikalisme ekstrem.
Berangkat dari fakta di atas, umat Islam sebagai penduduk mayoritas, punya tanggungjawab sejarah yang sangat besar untuk membela bangsa ini agar tetap utuh, tetap bersatu dan tidak oleng. Untuk itu, semestinya umat Islam sudah tidak lagi mempersoalkan hubungan antara Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Sebab ketiga konsep itu seharus sudah berjalan senapas seiringan, agar Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang ramah dan terbuka. Jika ketiganya telah senapas dalam jiwa, pikiran, dan tindakan umat Muslim Indonesia, Islam Indonesia akan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa. Seperti rasa keadilan, keamanan, dan perlindungan kepada semua penduduk Nusantara. Dengan demikian dapat terwujud sebuah bangsa negara yang sejahtera.
Buku ini mencoba mencari formulasi solusional terhadap permasalahan, tantangan serta hambatan yang dialami bangsa Indonesia, terkait Islam dan kebangsaan. Untuk tujuan itu, Buya telah berhasil mendeteksi adanya tiga kisaran sumber problema bangsa ini, sekaligus menemukan kunci pemecahannya. Kunci tersebut rupanya terletak pada isu keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Berbagai problema yang telah dan mungkin timbul akibat pergesekan sosial, yang dilatari oleh persoalan yang mengatasnamakan agama, politik, ekonomi atau berbagai corak kepentingan lainnya, diyakini dapat dengan mudah diselesaikan bila mampu menyelaraskan tiga poros tersebut.
Meskipun tiga prisip tersebut, jika jujur mengakuinya, berapa puluh tahun lalu hingga saat ini telah dijadikan sebagai acuan NU dalam berorganisasi dan bermasyarakat, melalui pengembangan tiga bentuk hubungan, yaitu; alaqah diniyah (keagamaan), wathaniyah (kebangsaan), dan basyariyah (kemanusiaan). Sehingga dapat dibenarkan, seandainya dua arus besar agama nasional terdiri dari NU-Muhammadiyah dapat bersatu, maka problema apapun di negeri ini, termasuk diantaranya masalah terorisme, akan dapat dihadapi dengan baik.
Semoga bermanfaat bagi kita semua, dalam meletakkan hubungan antara Agama yang kita anut, posisi kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki kultur yang heterogen, yang hidup bersama umat manusia lain yang memiliki sifat melekat sebagai manusia. Menuntut kita dapat memanusiakan orang lain secara seutuhnya.
Data Buku:
Judul
:
Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan - Sebuah Refleksi Sejarah
Penulis
:
Ahmad Syafii Maarif (Buya)
Penerbit
: