[caption caption="(foto milik @motulz)"][/caption]
Tahun ini warga Jakarta seolah merayakan sebuah moda transportasi "barla" - baru tapi lama, yaitu ojek. Kini dikelola lewat gawai aplikasi yang memudahkan pengguna ojek dan tukang ojek, namun membuat pemerintah daerah seolah tak berdaya menyikapi serbuan "bisnis" digital baru ini. Mengapa bisa demikian?
Kekisruhan ini berawal dari izin operasional transportasi umum ojek ini yang memang tidak diakui keberadaannya oleh Dishub. Ojek motor, sudah beroperasi di banyak komplek perumahan lama sekali. Awalnya memang digunakan sebagai angkutan di dalam komplek perumahan yang mengantarkan warga menuju halte bus atau stasiun KRL. Tidak heran jika keberadaan ojek motor ini akhirnya tidak hanya berada di kota namun juga tumbuh ke pelosok dan pedesaan.
Namun demikian berbeda halnya dengan keberadaan ojek di DKI Jakarta. Kota metropolitan yang canggih kini harus berhadapan dengan sesaknya pengguna jalan di saat moda transportasinya yang sangat amburadul. Warga Jakarta harus bepergian dengan cepat di saat lahan jalan sudah penuh sesak dan sangat amat lambat. Solusi tangkasnya adalah ojek! Ojek, sebagai angkutan komplek kini meluas teritori trayeknya dari komplek perumahan hingga distrik perkantoran. Tidak heran jika di sekitaran gedung-gedung mewah Jakarta tersebar ribuan pangkalan ojek. Mereka siap menjemput konsumennya, mulai dari jasa antar penumpang, dokumen, makan siang, hingga setor uang ke bank! Jasa inilah yang akhirnya dilihat sebagai peluang bisnis oleh para pembuat aplikasi jasa ojek. Seiring dengan "booming" dukungan permintaan pasar yang tinggi, tren ini pun mendapatkan reaksi yang kontra, paling tidak dari tukang ojek pangkalan (non-aplikasi) juga dikalangan pejabat kota.
Sebetulnya, legalkah aplikasi jasa ojek ini jika dikaitkan dengan peraturan hukum yang ada? Jawabnya tidak legal (ilegal). Lantas apa yang menjadi kebuntuan pemda dalam melarang aplikasi ini? Atas dasar apa pemda harus melarang aplikasi ini? Jawabnya sederhana saja, yaitu larangan usaha (bisnis) yang berbasis aktivitas ilegal. Jadi jika melihat aktivitas ojek ini, secara hukum jelas ILEGAL, namun keberadaannya dibutuhkan oleh sebagian warga dimana untuk warga lain (yang tidak membutuhkannya) secara tidak langsung juga tidak dirugikan, maka akhirnya dibiarkan saja keberadaannya. Apalagi ternyata keberadaan si ojek ini memang sangat dibutuhkan untuk "sebahagian orang" tadi. Namun kondisi "abu-abu" ini jelas membuat pemda terjepit. Bagaimana jalan tengahnya?
Jika meminjam istilah Pak Ahok, maka ojek ini mirip dengan aktivitas prostitusi dan perjudian di masyarakat. Bohong jika kita tutup mata akan keberadaan aktivitas prostitusi dan perjudian di Jakarta. Secara hukum kedua aktivitas tadi ilegal bukan? namun tetap berjalan secara tertutup atau paling tidak bukan dengan gembar-gembor. Aktivitas prostitusi dan perjudian jelas menghasilkan transaksi uang dan selayaknya ada pajak di sana. Namun seperti apa sistemnya? saya tidak tahu.. begitupun mayoritas warga Jakarta saya yakin tidak tahu juga. Demikian halnya dengan ojek, aktivitas ini ilegal secara UU tapi ada dan diterima oleh warga. Namun demikian jika ada bisnis yang memanfaatkan aktivitas tersebut, menurut saya pemda bisa melarangnya.
Bukan dalam rangka menutup aktvitas ojeknya namun melarang pihak bisnis untuk mengambil keuntungan dari aktivitas yang ilegal. Ini mirip sekali jika ada aplikasi judi yang secara blak-blakan di-lauching secara terbuka. Atau bahkan aplikasi pemesanan jasa prostitusi via online, yang mana sebetulnya akan memudahkan pemda dalam "memantau" aktivitas yang selama ini "terselubung", selain juga akhirnya pemda bisa menarik pajak lewat aplikasi tersebut yang mungkin selama ini tidak terjamah. Namun faktanya tidak demikian bukan? bahwasannya aplikasi tersebut jelas akan menimbulkan "keributan" karena dianggap mengambil keuntungan bisnis dari aktivitas yang selama ini ilegal.
Kembali ke jasa ojek, bagaimana jalan keluarnya? sederhana sekali.. yaitu cabut unsur bisnisnya dari aplikasi jasa ojek tadi untuk kemudian diubah formatnya menjadi berbasis platform. Jadi di platform tersebut para tukang ojek bisa dengan mudah mendaftarkan dirinya berikut harga jasa dirinya, lalu pengguna ojek pun bisa mudah dan terbuka memilih supir ojeknya. Sementara si pengelola platform hanya mendapatkan komisi saja. Jadi sungguh mirip dengan Airbnb atau Uber. Hanya saja ini dilakukan ke ojek. Namun demikian, apakah para pembuat aplikasi jasa ojek yang sudah ada saat ini mau rela begitu saja bisnisnya dialihkan ke bentuk komunitas? Saya tidak yakin, karena di sana sudah berkucur banyak investasi dana. Cara lainnya? ya buat saja aplikasi baru berbasis platform yang secara penggunaan dan ongkosnya bisa jauh lebih murah dan terbuka dibanding aplikasi jasa yang dibuat oleh pihak ketiga.Â
Dengan model platform komunitas tadi, saya berfikir pemda akan aman dari desakan hukum karena aplikasi tadi bentukannya bukan bisnis atau izin usaha. Kalau pun ada keraguan atas uang komisi yang masuk ke pengelola platform, saya pikir modelnya pun bisa diubah menjadi iklan banner, donasi atau kencleng kan? Silakan siapa yang mau buat aplikasi semacam ini? :)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H