Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Polisi Menangkap Perakit TV Karena Tanpa Izin? Salah Besar!

18 Maret 2015   10:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:29 8318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14266549441778952410

[caption id="attachment_403710" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Beberapa tahun lalu, ada seorang petani jagung yang harus mendekam beberapa bulan di penjara karena kepiawaianya membuat benih jagung untuk dijual di pasar. Alasan penangkapannya adalah benih tersebut belum mendapatkan ijin tes laboratorium. Lalu beberapa hari kemarin pun terjadi kejadian yang hampir mirip. Yaitu polisi menangkap seorang teknisi elektronik lulusan SD yang kedapatan menjual TV hasil rakitannya sendiri. Alasannya sama yaitu ia tidak memiliki izin pembuatan TV dan izin menjual TV-nya ke masyarakat karena belum memenuhi aturan-aturan penjualan alat-alat elektronik, semisal buku panduan penggunaan.

Melihat dari dua kejadian di atas, saya tidak bisa menyalahkan polisi yang menangkapnya. Mereka hanyalah alat negara yang menjalankan peraturan dan hukum yang berlaku. Aturan dan hukum inilah yang kemudian disalahkan oleh hampir banyak orang yang protes setelah membaca berita tersebut di atas. Pertanyaannya adalah ideal dan sudah pas kah aturan dan UU perdagangan kita dalam situasi masih banyak sekali masyarakat yang melakukan perdagangan secara "rumahan" ini?

Apa kesalahan besar yang akan mengancam dari kejadian penangkapan teknisi TV lulusan SD ini? Yang pertama adalah alasan penangkapan ini yang hanya karena ia tidak memiliki izin dan seterusnya. Polisi sebagai aparat mustinya bisa lebih melakukan pendakatan yang lebih humanis. Jangan-jangan ia memang tidak tahu akan aturan tersebut? Jika memang tidak tahu, apa tidak sebaiknya diserahkan ke dinas perdagangan daerah untuk dilakukan pembinaan? arahan? dan diajarkan tata cara yang berlaku dari sebuah perdagangan yang legal? Tentu akan lain ceritanya jika si teknisi ini sudah tahu namun ia enggan mengambil izin semata-mata demi keuntungan semata?

Terlepas dari masalah si teknisi, saya melihat hal lain yang akan menjadi ancaman di kemudian hari. Ancaman yang menurut saya akan menjadi kesalahan besar dari aturan main yang diperlakukan bagi pedagang usaha rumahan ini. Jika teknisi rumahan bisa ditangkap karena menjual TV tanpa izin juga petani jagung tadi, apakah tidak mungkin kelak pedagang makanan pun akan ditangkap oleh para aparat dikarenakan makanan yang dijual belum melakukan uji tes makanan layak? atau uji tes makanan halal? Siapa dan tingkatan rumah makan mana yang musti melakukan tes dan tidak? Adakah aturan itu?

Bangsa kita mayoritas masih dianggap sebagai pengusaha pengrajin (craftsmanship) yaitu mereka yang memiliki keahlian dari turun-temurun atau mendapatkan pelatihan secara rumahan saja (bukan pendidikan formal). Dalam melakukan pekerjaannya mereka memiliki alat dan cara kerja yang berbeda-beda. Lebih disesuaikan kenyamanan dan kecocokan mereka saja. Berbeda dengan pengusaha fabrikasi ( factory ), secara hasil produksinya pun jauh lebih banyak dari yang pengrajin. Mereka memiliki standar, mulai dari kualitas bahan, kualitas hasil, dan kualitas SDM-nya.

Di sinilah perbedaan penting yang musti dilihat bahwa Indonesia memiliki banyak sekali pengrajin. Bukan cuma pengrajin batik, mebel atau barang-barang elektronik, tapi juga pengrajin makanan, alat masak, bahkan pengrajin otomotif! Seperti apa? Saat ini banyak sekali pengrajin rumahan yang membuat knalpot modifikasi motor dan mobil, pengrajin jok mobil, bahkan pengrajin karoseri body mobil dan modifikasi motor. Apakah mereka memiliki izin usaha? OK katakanlah mereka punya, tapi apakah semua hasil kerja mereka melalui hasil uji safety test? Apa ada yang menjamin jika hasil karoseri atau modifikasinya tadi itu tidak layak secara keamanan tapi bisa dijual di pasaran? Apa bedanya dengan benih jagung Pak Kuncoro tadi yang dianggap melanggar tanpa uji tes laboratorium? jadi ambigu bukan?

Semua kesalahan ini tentu akan terus terjadi jika aturan dan hukum masih selalu dilakukan seperti mesin, yaitu tanpa perasaan dan tidak humanis. Negara kita masih dalam proses transisi dan perbaikan di sini situ, termasuk dalam proses peradilan dan hukum. Istilah hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas jadi makin kentara dengan kejadian-kejadian barusan. Selalu "orang bawah" lah yang menjadi salah dan tak berdaya di mata hukum. Peradilan seperti ini sungguh bagaikan gaya peradilan masa kolonial. Kaum yang di atas adalah para pengusaha Belanda dan kaum yang di bawah adalah pengusaha kelas rakyat pribumi.

Akan sampai di mana kejadian-kejadian serupa akan terjadi lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun