Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mungkinkah Membangun Pariwisata dengan Dukungan Sektor Pertambangan?

15 Mei 2017   11:21 Diperbarui: 15 Mei 2017   16:24 4543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini Pulau Belitung merupakan salah satu destinasi wisata favorit akibat dari novel dan film laris Laskar Pelangi. Lewat film Laskar Pelangi, kawasan bekas penggalian tambang timah ini pun kini menjadi kawasan wisata bagi pelancong yang berkunjung ke pulau ini. Saya pikir contoh barusan hanyalah salah satunya, bagaimana dengan potensi lokasi lain? 

Morowali, siapa yang pernah dengar? OK bisa jadi banyak dari kalian sudah tahu nama wilayah ini akan tetapi untuk yang belum tahu saya ingin mengajak perhatian kita ke tempat ini. Letaknya berada di provinsi Sulawesi Tengah yang dulu terkenal dengan kasus Poso? Nah, Morowali ini adalah Kabupaten baru yang merupakan hasil pemekaran tahun 1999 dari Kabupaten Poso. Siapa yang sangka jika Morowali ini ternyata punya segudang "kekayaan", mulai dari kekayaan pemandangan alam, pulau-pulaunya, kekayaan tambang (nikel) dan kekayaan sejarahnya (karena sejak tahun 1600-an kawasan ini sudah menjadi kawasan pertambangan).

Saya menduga tidak lama lagi kawasan Morowali ini akan mengalami peningkatan pembangunan yang signifikan. Mengapa demikian? Pertama, mungkin banyak yang tidak tahu jika Morowali ini sejak jaman kolonial sudah terkenal dengan pertambangan nikelnya. Hanya saja sejak dulu itu sektor pertambangan nikel di Morowali berjalan begitu pincang. Entah sudah berapa banyak nikel yang dihasilkan lalu di-ekspor keluar namun tidak memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan bagi Morowali. Namun sejak beroperasinya industri smelter feronikel tahun 2015, mulai menampakkan peningkatan yang cukup signifikan. Saat ini sedang dibangun beberapa smelter lain yang menunjang industri di sana.

Kita tahu bahwa dengan adanya pembangunan smelter ini maka hasil pertambangan harus melalui proses pengolahan bahan mentah sebelum boleh di-ekspor. Dengan demikian maka hasil dari proses smelter ini mampu meningkatkan nilai jual dan nilai pendapatan. Yang mana sebelumnya, hasil tambang dijual dalam bentuk bahan mentah sehingga nilai jualnya sangat rendah. Kini di Morowali sudah ada beberapa smelter yang dibangun yang masing-masing sudah mampu menghasilkan sekitar 1 juta ton stainless steel per tahunnya. Bayangkan pendapatan yang bisa diperoleh jika semua smelter tadi sudah beroperasi secara maksimal? 

Lantas apa hubungannya sektor pertambangan tadi dengan pembangunan pariwisata?

Belum lupa dari ingatan kita beberapa waktu lalu rombongan Raja Arab datang ke Indonesia bukan? Ternyata salah satu kawasan yang "ditaksir" oleh rombongan yang membawa pengusaha Saudi ini adalah kawasan Morowali. Mereka kepincut bukan di sektor industrinya, melainkan sektor pembangunan pariwisata di kawasan Morowali. Siapa yang sangka jika di kawasan ini ternyata banyak menyimpan pemandangan alam pantai dan pulau-pulau yang begitu cantik? Yang menarik adalah perusahaan Saudi yang tertarik menggelontorkan investasi di sektor pariwisata ini adalah Aramco, yaitu perusahaan minyak raksasa dunia milik pemerintah Saudi Arabia.

Dalam setiap pembangunan, selain membutuhkan dana investasi besar namun tentu juga butuh yang namanya aturan main, regulasi, dan komitmen serius dari semua stakeholder. Dalam hal ini pemerintah Indonesia akhirnya wajib berkomitmen, salah satunya dengan aturan main pertambangan, yaitu UU Minerba. Misalnya, perihal relaksasi ekspor, yaitu negosiasi beberapa perusahaan tambang yang diperbolehkan meng-ekspor tanpa proses smelter,  bisa terkesan berujung pada ketidakpastian hukum bagi investor pertambangan asing di Indonesia yang sudah berkomitmen membangun smelter. Hal ini bisa berdampak mendevaluasi pasar nikel internasional yang bisa jadi malah berpotensi menjadi pelanggaran terhadap UU di Indonesia. Bagi perusahaan tambang yang telah berkomitmen membangun fasilitas smelter (yang sudah menghabiskan investasi sekian miliar dollar Amerika) tentu akan merasa dikecewakan. Relaksasi ekspor ini jangan sampai menjadi sebuah kekecewaan berkepanjangan lantas berdampak pada kerugian moneter skala besar. Jangan sampai tingkat kepercayaan pihak pemodal menurun. Jangan sampai kepercayaan dan komitmen ini pudar hanya karena sikap pemerintah yang dinilai tidak berkomitmen. Awal tahun 2016, sekitar 20 perusahaan tambang yang telah berkomitmen untuk membangun smelter nikel telah menggelontorkan dana hingga US$ 6 miliar dan pada akhir Desember 2016 sekitar 12 fasilitas smelter sudah dibangun dan beroperasi.

Baru-baru ini saya membaca berita tentang perjalanan Presiden Jokowi ke kawasan Timur Indonesia. Dalam salah satu agenda perjalananya, saya baca bahwa kawasan yang menjadi perhatian pembangunan ini adalah Morowali tadi. Ternyata di sana akan dibangun bandara baru dan pembangunan Kawasan Industri (KI) Morowali. Pembangunan pelebaran jalan dari Pelabuhan Bungku ke Kawasan Industri Morowali sepanjang 42 km dan pembangunan gedung politeknik. Bayangkan jika kelak pembangunan ini selesai, sudah tentu akan mampu menjadi penopang infrastruktur dan mendongkrak sektor pariwisata di Morowali. Maka siap-siap saja jika Kabupaten Morowali ini akan menjadi destinasi wisata berikutnya melengkapi destinasi wisata Raja Ampat di Sorong Papua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun