Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mari Kembalikan Citra Asli Makna Kata "Pencitraan"

15 Desember 2014   18:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:16 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak tahu pasti kapan dan apa asal-muasalnya kata “pencitraan” ini menjadi kesan yang buruk dan seolah adalah sebuah momok bagi sebuah aktivitas. Namun seinget saya istilah ini sangat lekat dengan Pak Jokowi, mulai sejak beliau ikut kontes pilkada DKI hingga maju menjadi RI-1. Yang kemudian istilah ini seolah menyebar liar tak terkira hingga banyak dari kita yang sudah mendapat kesan bahwa kegiatan “pencitraan” adalah sebuah kegiatan negatif dan buruk. Benarkah demikian? Masyarakat Penonton dan Tontonan Pernahkah kita berfikir betapa kita saat ini bisa dengan mudah terpengaruh dari apa yang kita tonton? Media massa sejak lama sudah memiliki kekuatan besar dalam menggiring dan membentuk opini masyakarakat. Metode dan formula unggul dalam komunikasi massa pun sudah sejak lama digunakan sebagai cara paling efektif dalam membangun opini massa. Yang terbukti efektif saat digunakan sebagai salah satu senjata di Perang Dunia II, yaitu propaganda. Hitler mampu dengan mudah membuat gamang lawan-lawannya hanya dengan sebuah tontonan film yang mempertontonkan kedigjayaan mesin perang mereka. Walaupun ternyata mesin perang itu bohong dan hanya terbuat dari kayu. Lalu begitu pun lawannya dari Inggris yaitu Churchil, yang sengaja memberitakan masyarakat London yang berdansa-dansi dalam sebuah pertunjukan teatrikal saat kota London dibombardir oleh Nazi-Jerman. Hitler gelisah membaca berita tersebut, ia pikir serangan bom tersebut gagal mencapai target. Padahal, malam itu kota dan masyarakat London luluh lantah. Semua terpaksa mengungsi ke dalam stasiun kereta bawah tanah demi menghindari bom Jerman dan reruntuhan bangunan. Sebuah gebrakan juga dalam teknologi tontonan ini adalah saat kali pertama stasiun televisi Amerika, sekitar tahun 1963, berhasil menyiarkan acara LIVE SHOW atau siaran langsung saat pembunuhan JFK. Kemudian saat pemerintah Amerika memanfaatkan tayangan televisi dalam memberitakan pertempuran di Vietnam demi mengambil hati penduduknya agar mendukung peperangan di Vietnam. Bayangkan, rakyat Amerika yang menonton tayangan berita perang hampir setiap hari? Menghadirkan tayangan darah dan mayat ke dalam ruang tengah rumah mereka.

Propaganda adalah sebuah bentuk pencitraan (imaging), atau sebuah citra (image) yang sengaja dibuat, dibentuk, dan disajikan dalam media (medium) untuk menyampaikan kesan dan pesan tertentu oleh para penerima citraan tadi. Namun dalam buku The Society Of The Spectacle (1967) atau Masyarakat Tontonan karya seorang filsuf bernama Guy Debord, bahwa kehidupan sosial manusia mulai bergeser dari bentukan apa adanya (authentic) menjadi bentukan tampilan (representation). Tampilan manusia menjadi begitu penting dalam sebuah kehidupan sosial. Terlebih ketika seseorang memang sengaja dibentuk dan diberikan kesan tertentu agar mendapatkan perhatian dari kesan tersebut di masyarakat, saya sepakat bahwa proses tersebut dinamakan proses pencitraan. Pencitraan, Media Massa, dan Media Sosial Pencitraan – istilah ini menjadi blunder atau sesat pengistilahannya yang tidak lengkap. Dalam pencitraan tentu akan terbagi menjadi dua goal atau tujuan (misi kesan dari pesan yang ditayangkan) yaitu pencitraan positif (tujuannya adalah terkesan baik) dan pencitraan negatif (tujuannya terkesan buruk). Namun yang terjadi saat ini adalah kata pencitraan itu adalah semua bermakna negatif dan terkesan buruk. Hal negatif, bisa dibuat terkesan baik lewat sebuah proses “pencitraan baik”. Sebaliknya pun hal positif bisa dibuat terkesan buruk lewat sebuah proses “pencitraan buruk”. Di sinilah kuncinya, kita sebagai penonton atau pemirsa media musti paham mana hal baik yang dikesankan buruk? atau hal buruk yang dikesankan baik? Saya ambil contoh: seekor Anjing, apa yang salah dari seekor Anjing? galak? menggigit? Bukankah tidak semua Anjing itu galak dan menggigit? Akan tetapi dalam situasi dan kultur tertentu Anjing bisa menjadi kesan buruk atau momok. Bahkan menjadi makian. Begitu juga dengan rokok kretek, yang usianya sudah ratusan tahun menjadi bagian dari kultur masyarakat Indonesia karena terkandung cengkeh di dalamnya, kini seolah menjadi momok dan musuh masyarakat yang harus diberangus. Padahal di tempat lain, cerutu, whiskey, dan wine yang memiliki kesamaan ancaman negatif malah bisa terkesan menjadi sebuah barang yang membanggakan bahkan elegan. Di sini terjadi yang namanya pencitraan buruk atas rokok dan pencitraan baik atas whiskey dan wine. Belakangan ini, Indonesia sedang mengalami transisi baru dalam pemerintahan. Puluhan tahun bangsa ini diberikan tontonan dan kesan bobrok atas kerja politisi, pejabat, dan aparat. Rasa tidak percaya ini sudah tertanam jauh di dalam hati dan kepala kita. Akan tetapi ketika muncul sebuah perubahan radikal, yang mana dalam sebuah proses perubahan besar-besaran dari pemerintahan yang bobrok menjadi sebuah pemerintahan baru, kita semua dalam kegamangan, ketidakpercayaan, keraguan yang seolah kita belum terbangun dari apa yang kita lihat. Sosok pejabat, politisi, dan aparat yang berbuat baik demi rakyat, malah dicurigai sebagai sebuah kerja pencitraan (cari muka atau cari panggung). Sementara saat pejabat publik, pejabat, atau aparat yang melakukan kejahatan, malah ramai-ramai didoakan dan diberikan dukungan positif, hanya karena saat dalam ruang pengadilan ia mengenakan atribut agama. Sungguh kita sebagai masyarakat dibuat pusing, bingung, dan ragu-ragu dibuatnya. Keraguan akan sumber informasi dari media massa pun sudah terjadi. Media massa yang selalu pincang dalam memberikan berita dan informasi kini pelan-pelan sudah berhasil mendapatkan citra buruk. Upaya melakukan pencitraan positif pun makin sia-sia dan makin menjadi bulan-bulanan. Masyarakat kini seakan mendapatkan sumber informasi yang diyakini lebih asli, otentik, dan bersih dari rekayasa media massa, medium tersebut bernama media sosial. Sebuah media yang seolah-olah memberikan bocoran informasi yang tidak bisa tayang lewat media massa. Tak butuh waktu lama pun kini media sosial sudah campur-aduk dengan informasi sembarangan, gosip, bahkan berita-berita palsu. Masih layak kah hal tersebut kita jadikan rujukan atau pegangan? Kredibilitas dan Latar Belakang Mari kita sama-sama jangan terkecoh dengan semua kekacauan informasi dan pesan-pesan tadi. Pencitraan hanyalah sebuah proses, bukan aktivitas yang negatif. Ia bisa buruk namun juga bisa baik. Lantas bagaimana caranya kita menghindari keblunderan ini? Saya pribadi melakukannya dengan cara melihat siapa sosok yang dibalik informasi tersebut? Apa konteks dan kebutuhannya? Apakah iya memiliki kredibilitas atas tindakan dan pemikirannya? Apa latar belakangnya? Walau tidak optimal, saya pikir cara ini cukup bisa menjadikan parameter apakah seseorang sedang melakukan pencitraan positif atas hal negatif dirinya? atau pencitraan negatif atas hal positif pada dirinya? Atau apakah seseorang tersebut sudah membuktikannya dengan kerja yang nyata? atau masih wacana. Pencitraan adalah sebuah aktivitas atau proses kerja yang biasa dan wajar. Iklan dan pemasaran adalah salah satu kegiatan atau kerja pencitraan pada sebuah produk. Atribut serta gaya berpakaian pun adalah sebuah aktivitas pencitraan seseorang. Tujuannya semata-mata karena ingin dicitrakan atau dikesankan sebagai seseorang dengan legitimasi tertentu. Dalam sebuah kompetisi, pencitraan memang lumrah dijadikan sebagai salah satu senjata untuk menejelekkan (pencitraan buruk) lawan kompetitornya. Bahkan seorang Thomas Alva Edison, penemu bola lampu dan listrik yang kesohor sekalipun berani melakukan pembunuhan atas seekor gajah dengan listrik demi melakukan pencitraan negatif atas pesaingnya yaitu Nikola Tesla. Sudah terlalu banyak kosa kata dalam Bahasa Indonesia yang rusak dan amburadul hanya karena istilah yang menyebar dengan mudah lewat media sosial (media percakapan). Berapa banyak yang kita bisa ingat selain kata pencitraan? Bagaimana dengan apel? (Bukan buah Apel tapi apel : upacara bendera yang diartikan sebagai berkunjung ke rumah pacar / ngapel ), lalu autis dan masih banyak lagi. Mari sama-sama kita kembalikan makna asli dari kata “pencitraan”, sebelum ia makin jauh membawa kita dalam kesesatan makna. -- Ditulis sebelumnya di blog pribadi motulz.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun