Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Tawan "Iron Man Bali": Bukan Tentang Teknologi

25 Januari 2016   15:55 Diperbarui: 25 Januari 2016   19:37 14213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Foto: asset Kompas / Tribun Bali)"][/caption]Berita tentang Iron Man dari Bali rasanya makin heboh dan makin menjadi polemik, baik di media massa maupun media sosial. Semua membahas dari tema yang sama yaitu perdebatan pembuktian teknologi. Di luar jika ternyata kisah ini bohong (semoga tidak), namun sejak awal saya sudah curiga dan mulai menduga-duga bahwa kisah Tawan sang tukang bengkel ini jangan-jangan bukan tentang teknologi, melainkan tentang psikologi.

Beberapa tahun ini saya akrab dengan penyakit stroke, termasuk jadi suka membahas dan baca-baca tentang penyebab, akibat, dampak, penanggulangan, dan penyembuhan stroke. Diantara ceritanya adalah bahwa salah satu penyebab dari stroke ini adalah akibat depresi atau banyak pikiran. Dari situ sangat mungkin mengakibatkan kelumpuhan pada fisik si pasien.

Membaca berita dan cerita tentang si Tawan, saya koq curiga bahwa penyakit stroke-nya diakibatkan depresi. Menurut cerita isterinya bahwa Tawan menderita kelumpuhan sejak terserang stroke ringan. Sejak itu ia mengalami kelumpuhan pada lengan kirinya. Dari situ saya ingin sekali bertemu dengan Tawan dan ingin tahu latar belakang apa hingga ia terbesit untuk membuat lengan robotnya.

Saya menduga lengan robot ini sebetulnya adalah placebo bagi Tawan. Placebo atau lebih dikenal dengan - sebuah obat atau pengobatan yang berfungsi untuk meningkatkan rasa percaya diri pasien yang diyakini bisa kuat menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Istilah umum yang dipakai orang Indonesia adalah sugesti.

Sebagai seorang yang hidup di bengkel, Tawan pasti langsung berpikir bahwa penyakit lumpuhannya ini bisa disembuhkan dengan "cara saya" yaitu cara "bengkel style". Maka dengan keyakinan yang kuat dan rasa percaya dirinya yang mampu melawan kelumpuhannya itu, Tawan membuat sebuah alat bantu yang berbentuk tangan robot. Rasa keyakinan yang besar ini banyak diyakini oleh pakar penyembuhan stroke sebagai salah satu bentuk terapi yang efektif bisa menyembuhkan kelumpuhan akibat psikis (psikosomatis).

Penasaran saya masih berlanjut, saya mencoba telpon teman saya yang sudah sembuh dari serangan kelumpuhan akibat stroke, Namanya Pakde Rudy. Ia menceritakan bagaimana serangan stroke yang dialaminya dulu itu bukan diakibatkan penyakit fisik, misalnya gula, tekanan darah, atau penggumpalan. Serangan itu diakibatkan dari kelelahan berpikir (demikian menurut dokternya). Akhirnya penyembuhan yang dilakukan adalah dengan melakukan terapi dan konsultasi dengan psikolog. Selain juga dibantu dengan minum obat anti-depressan. Setelah hampir setengah tahun terkapar di tempat tidur mengidap kelumpuhan, teman saya ini kini bugar dan dapat beraktivitas normal bahkan mampu melakukan hobi diving-nya.

Bayangkan jika yang dialami oleh Tawan sang Iron Man dari Bali ini benar seperti yang saya duga, maka pemberitaan di media massa dan media sosial yang seolah ingin pembuktian teknologi, jangan-jangan malah bisa menjadi racun pembunuh semangat besar si Tawan ini? Apalagi sampai harus memanggil pakar robot yang kemudian harus diujicoba kan di depan mata Tawan sendiri? Saya tidak terbayang bagaimana perasaan Tawan saat melihat di depan matanya, tangan robotnya yang lusuh itu, yang selama ini menjadi alat sekaligus obat yang bisa menghidupkan kembali tangannya yang lumpuh kini harus diuji demi memuaskan rasa penasaran publik?

Berita terakhir yang saya dengar, lengan robotnya kini sedang tidak berfungsi akibat kena hujan. Saya makin was-was jika rusaknya lengan robot itu dikarenakan tanda-tanda pudarnya keyakinan Tawan atas "obat"-nya. Saya membayangkan setiap hari ia bertemu dengan banyak orang asing yang selama ini tidak ia kenal, mendadak langsung memberikan penjelasan-penjelasan yang penuh penjelasan logis, teknis, dengan istilah dan singkatan-singkatan canggih, hanya untuk mau bilang ke Tawan: hoax! Tangan robotmu itu palsu!

Secara mekanik, elektronik, dan robotik, sangat mungkin tangan robot Tawan itu tidak nyata. Tapi jika kenyataannya tangan robot itu mampu membuat sugesti Tawan untuk tumbuh berkali-kali lipat dan akhirnya bisa bekerja untuk anak isterinya? Kenapa harus dibunuh semangatnya itu? Jangan sampai rasa penasaran publik ini menjadi hakim atas kejadian-kejadian yang sebetulnya tidak merugikan kita juga. Apa iya kita menjadi rugi jika tangan robot Tawan itu bohong? Jika tidak rugi lantas apa pula untungnya? Jangan-jangan polemik ini hanya sekedar memenuhi syahwat kepo masyarakat super-media yang hobi berkumpul, berkomentar menjadi kelompok pro dan kontra saja?

Saya tidak ingin Tawan membaca tulisan saya ini. Khawatir ia bisa salah menterjemahkan poin tulisan saya semacam hanya ikut bilang "tangan robotmu palsu". Saya ingin Tawan tetap hidup dengan rasa yakin dan semangat yang tinggi. Jika memang pemda ingin memberikan bantuan, selain dana usaha bantulah dengan mengirimkan psikiater dan ahli fisioterapi. Selain itu kisah Tawan ini menurut saya layak dijadikan penelitian. Penelitian bagaimana secara psikologi seseorang bisa melakukan self-healing dengan self-made-tools nya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun