Tahun 2014 adalah tahun politik panas. Ada banyak sekali poling, riset, statistik, dan analisa-analisa para (yang katanya) pakar, tentang posisi dan peluang para capres 2014. Analisa-analisa ini datang mulai dari pihak dan lembaga independen hingga dari internal partai sendiri. Saking banyaknya, hasil riset, poling, dan analisa ini diumbar di media berlimpah-limpah hingga kita pun bingung musti baca dan percaya yang mana. Ada yang unik di sini, di setiap poling, riset, atau statistik, ada kesamaan hasil yaitu nama Jokowi selalu muncul di papan atas, sementara hasil analisa dari para pakar politik partai seringkali berbeda penilaiannya terhadap sosok Jokowi. Ada yang menarik di sini.. Saya melihat ada semacam gap dari golongan masyarakat bawah dengan para analis-analis dari politisi partai. Dalam banyak pemberitaan para politisi partai seringkali memberikan penilaian buruk atas kinerja Jokowi. Baik dalam penanganan macet, banjir, anggaran, hingga masalah konflik penempatan lurah. Ada banyak sekali kajian-kajian yang dilontarkan para orang-orang pintar ini ke media. Akan tetapi yang membuat heran adalah, dari semua penilaian buruk tersebut belum mampu merontokkan pamor Jokowi di tingkat masyarakat bawah. Artinya ada semacam "ketidakpercayaan" masyarakat atas hasil analisa dan statement politik mereka tersebut. Seolah masing-masing berjalan di rel yang berbeda. Apakah ini artinya masyarakat sudah lebih pintar? masyarakat tidak bisa dibohongi dengan pernyataan-pernyataan politik? atau memang karena tidak nyambung aja? Beberapa waktu lalu, saya berbincang-bincang santai dengan salah satu orang penting di sebuah media. Media yang sudah menjadi rahasia umum kalau pemiliknya adalah tokoh dari salah satu partai terbesar di republik ini. Media ini sering sekali memberitakan sepak terjang Jokowi di lapangan. Bentuknya bukan berita pujian atau celaan, tapi sekedar berita liputan saja. Namun karena frekwensinya yang terlalu tinggi, sampai-sampai media ini dituduh sebagai pendukung Jokowi bahkan dibayar oleh tim Jokowi untuk rajin mengangkat atau meliput beliau. Dari obrolan kami ternyata orang penting media tadi bilang, kenapa sering angkat berita tentang Jokowi? sederhana.. karena "laku" di masyarakat. Apa tim Jokowi bayar? dia malah tertawa terbahak.. "haha.. punya uang berapa mereka?" Secara ukuran, koran meningkatkan oplah, kalau TV meningkatkan rating, kalau web media meningkatkan page-view. Makin tinggi oplah, rating, dan page-view mereka maka makin bagus. Secara media, konsep ini sederhana sekali mengingat mereka hidup dari pengiklan. Apa yang publik suka, itulah yang dipilih untuk terus diulas dan diliput. Pilih kasih? bisa jadi iya, makanya muncul istilah media darling, atau kesayangan media. Maka confirm-lah istilah bahwa Jokowi adalah media darling. Salahkah? Silakan dikaji dari berbagai sudut, politik? media? atau hiburan? Bisa jadi berbeda-beda. Namun pertanyaannya, pentingkah kajian-kajian tersebut? Pedulikah masyarakat dengan hasil kajian-kajian itu nanti? Saya mau belok sedikit dari topik Jokowi (JKW) ke topik yang hits di masyarakat bawah yaitu YKS (Yuk Keep Smile), yaitu sebuah program TV yang isi tayangannya cuma joget.. joget.. dan joget. Ada banyak pro-kontra di masyarakat akan program ini. Oleh kelas A-B dianggap sebagai tayangan yang tidak bermutu dan tidak mendidik. Sementara kelas C-D semacam tidak peduli dan melanjutkan nonton TV -nya sambil ikutan joget. Saking muaknya terhadap tayangan jingkrak-jingkrak ini, beberapa kelompok masyarakat sampai harus membuat petisi secara online (di website) untuk memaksa KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) memberhentikan tayangan yang menurut mereka hanya membodohi masyarakat. Hasil petisi menunjukkan angka yang tidak signifikan dibanding angka rating penonton yang dihasilkan lewat TV. Penonton acara ini malah terlihat makin lama makin meningkat. Rating-nya terus menanjak, iklan makin membludak, dan terpaksa durasi acaranya pun musti ditambah. KPI akhirnya hanya bisa memberi teguran saja. Dari kejadian YKS ini, dan fenomena Jokowi, saya melihat makin nyata jurang pemisah antara kaum "pintar" dengan kaum bawah di negeri ini. Masyarakat bawah nampaknya mengukur rasa suka mereka cukup dengan hati dan perasaan mereka saja. Tidak perlu dilogikakan. Sementara para kaum "pintar" mencoba melogikakan, analisa, mencomot quotes orang-orang pintar, lalu memberi angka-angka dan argumen yang canggih, sebagi bukti, ke-valid-an dan kesahihan argumen mereka. Sayangnya, semua itu tidak ditengok dan tidak mampu dikunyah oleh masyarakat bawah. Jokowi dinilai begini, begitu, gagal, tidak mencapai target, tidak layak, dan seterusnya, namun kerja nyata turun ke masyarakat dengan sebutan blusukan, lebih diterima dan mudah dicerna masyarakat bawah. Ketidakpandaian Jokowi dalam berdebat, berargumen, dan ber-statement politik, nyatanya malah membuat Jokowi terasa setara dengan masyarakat bawah. Semacam senasib sepenanggungan. Jadi bukan sekedar nongkrong makan di warung, melainkan cara bekerja dan bersikapnya pun sering disebut "ndeso", yang tidak lain istilah ini malah menjadikan cap bukti bahwa Jokowi memang merakyat. Sama halnya dengan YKS, masyarakat nampak tidak peduli dengan analisa atau argumen akademik atas sebuah tayangan di TV, mereka mungkin hanya ingin joget dan terhibur karena seharian sudah penat, jenuh, dan melelahkan. Bisa jadi ini adalah cara mudah, murah, dan meriah bagi masyarakat bawah. Sementara bagi masyarakat atas mungkin untuk melepaskan kepenatan sejenis butuh clubing? minum-minum? atau paling tidak ke mal atau ke kafe? Sama-sama punya kebutuhan, namun berbeda jalan keluarnya. Satu hal yang sering dilupakan oleh para kebanyakan politisi adalah rasa kekompakan yang tinggi di masyarakat bawah. Ketika salah satu temannya susah atau dibuat susah, mereka tidak segan-segan membela dan melindunginya. Tidak heran di banyak sinetron, musti ada karakter yang tertindas. Dengan demikian, makin sering Jokowi diserang dan ditekan oleh lawan politiknya, maka makin dicintai lah bapak mereka si Jokowi ini. Makin besar dan makin terus dicintai dan dilindungi. Tidak mungkin? Ah.. jangan lupa, tahun 2004 lalu hal ini sudah pernah terjadi kan? sosok yang ditindas malah dicintai masyarakat, didukung, bahkan dielu-elukan. Hingga akhirnya menjadi presiden hingga hari ini.. ya dia adalah Pak SBY :) Beliau melejit menjadi tokoh yang dicintai masyarakat bukan karena sepak terjang kinerjanya di kabinet, melainkan karena ditekan oleh Megawati, yang saat itu adalah atasannya sebagai presiden. Demokrasi negeri ini masih didominasi oleh suara-suara pemilih dari kalangan bawah, kalangan yang masih butuh disentuh hatinya, bukan kepalanya. Sementara para ahli, pakar politik, dan cendikiawan dengan gelar profesor pun, malah sibuk dan asik sendiri dengan analisa politis dan debat terbuka. Makin pinter makin merasa menang. Makin merasa punya dukungan jika sering mengumbar argumen dan statement cerdas. Akhirnya, para kaum keminter ini malah jadi seru sendiri dengan perdebatan sesama kaumnya, sementara kaum rumput malah tetap asik bergoyang dan bejoget di bawah sana.. yuk keep smile! Ilustrasi: Motulz Blogspot
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI