Tonton trailer-nya dulu lah di YouTube, atau official video theme song-nya "Lazuardi" yang dinyanyikan oleh Cholil-nya ERK. Dari situ saja kita sudah bisa menikmati keindahan sinematografi alam Sumba berikut penataan adegan sang sutradara sekaligus kekuatan pemain-pemainnya. Harusnya dari situ pun sudah cukup dijadikan alasan kenapa harus nonton film "Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak" (#Marlina). Berikut empat alasannya:
1. Keindahan alam Sumba dan Sinematografinya
Seperti yang sudah disajikan sebagai pancingan di trailerdan official video theme song-nya tadi, film #Marlina sungguh memperlihatkan keindahan alam Sumba. Bagi mereka yang pernah berkunjung ke kawasan Nusa Tenggara tentu paham betul bagaimana keindahan alam di sana. Sinar matahari yang membuat warna rumput kering pun menjadi berkilau keemasan. Nah.. visualisasi tersebut begitu gamblang tersaji nikmat sepanjang film #Marlina.
Sang sutradara -- Mouly Surya nampaknya menyadari betul kekayaan kontur alam Sumba yang begitu mudah dijadikan layer di beberapa scene berikut bidang luas padang rumputnya. Begitu juga sang matahari yang terik apa adanya justru menghasilkan cahaya dan bayangan yang kaya dalam layar film. Saya pikir di film #Marina ini, tim berhasil menggali kekayaan visual sebuah daerah di Indonesia sebagai lokasi ideal film. Sang sinematografernya -- Yunus Pasolang pun nyata sekali rajin bermain-main dengan lensa, juga rajin dalam memindahkan perangkat kameranya dari titik yang dekat ke titik lain yang jauh. Namun efektif sekali dalam penggunaan cahaya artificial. Sungguh sangat apik dalam penggarapannya.
Penyajian gaya "empat babak" ini memang bisa dibilang gaya "rasa baru" pada film Indonesia. Sejak awal penonton sudah disajikan premis di tiap babaknya yang mana dengan begitu penonton sudah bisa menerka peristiwa apa yang akan ditonton dalam tiap babaknya. Seolah-olah tidak ada rahasia lagi dalam tiap babaknya.
Namun menariknya saya pun tidak bisa menerka ujung dari kisah si Marlina yang sedang berjuang membela haknya setelah dirampok dan diperkosa oleh para begundal. Saya pun tak perlu memberikan spoiler dari akhir film ini, kenapa? Karena saya lebih tertarik mengajak penonton lain untuk ikut menebak akhir dari film ini yang sungguh tidak ketebak. Ending dari film ini berhasil membuat saya bergumam "anjing!" pas melihat scene akhirnya, gokil lah! Permainan dialog yang efektif dan nakal pun cukup membuat film tentang pembunuhan ini jadi terasa renyah.
3. Karakter-karakter pemain yang kuat
Film Indonesia sejauh ini selalu mengandalkan nama besar aktor sebagai daya tarik dan kekuatan jualannya. Sementara di film #Marlina -- bagi saya hanya Marsha Timothy saja yang terkenal, sisanya? Menurut saya hampir pada tidak terlalu terkenal. Namun hal baiknya adalah dengan demikian penonton tidak terkontaminasi oleh karakter-karakter pemain di film sebelumnya. Untuk Marsha Timothy -- sang Marlina, ia ditampilkan bukan sebagai wanita cantik pemanis film. Acting dan karakternya kuat sekali, membuat penonton jadi ikut mengerenyitkan dahi saat harus menatap dan berurusan dengan pria-pria kurang ngajar.
Sosoknya begitu sederhana dan berhasil menampilkan figur wanita NTT yang tegar, kuat, dan tangguh dalam menuntut haknya. Namun demikian karakter Marlina dan Novi (kerabat Marlina) sebagai perempuan justru tetap tampil lugu sebagai wanita saja, apa adanya. Dalam beberapa ulasan media sosok perempuan-perempuan ini justru dianggap merepresentasikan feminisme, sementara menurut saya tidak sama sekali, Marlina dan Novi muncul sebagai perempuan biasa. Bahwa ia harus buang air kecil, ia tetap masak, main di dapur, hormat pada pria -- baik pada suami, orang lain, bahkan pada penjahat sekalipun. Tegas dan tegar sebagai layaknya wanita Sumba, seperti kenang Marsha saat ia melakukan survei kepada beberapa perempuan di sana.
Film #Marlina ini nampaknya memang sengaja ditampilkan dan dikemas sebagai film bercita rasa festival, paling tidak itu dugaan saya karena beberapa hal, antara lain penamaan judul yang catchy sekali. Judul panjang memang cukup membuat penonton dibuat gemas bak film "Lock Stock and Two Smokin Barrel". Penyajian judul babak yang juga ditampilkan dengan apik bak gaya Quentin Tarantino.
Lalu bagaimana visualisasi gambar dengan kamera diam yang begitu kuat dan indah sekali bak film-filmnya Akira Kurosawa. Semua resep tadi seolah dicampuradukkan secara serampangan oleh Mouly Surya. Namun ternyata semua itu tampaknya dilakukan dengan sadar sekali oleh sang sutradara wanita ini. Hasilnya adalah sebuah film dengan sajian yang beragam namun dapat dinikmati dalam setiap suapannya. Misalnya, bagaimana Mouly menyajikan simbolisme "kematian dan kelahiran" lalu dapur sebagai simbol "wilayah khas dan rahasia" wanita. Belum lagi sajian musik dengan gitar western style a la Ennio Morricone yang dipadukan dengan pemandangan alam Sumba, membuat film ini makin terasa nakal namun apik!
Awal tahun 2000-an saya pernah membaca sebuah skenario drama pertunjukan teater berjudul "Extremities" karya William Mastrosimone, yang bercerita tentang bagaimana kusutnya kehidupan seorang wanita yang menjadi korban pelecehan dan pemerkosaan. Konflik dan kekacauan dari peristiwa pemerkosaan sudah pasti pihak wanita yang akan selalu jadi korbannya.
Nah, film #Marlina ini menurut saya punya pesan yang sama dengan "play Extremeities" tadi hanya saja "kejahatan" pada wanita versi Indonesia-nya berhasil disajikan oleh Mouly and the gank. Selain itu #Marlina bisa menampilkan sudut pandang yang berbeda atas respons perlawanan perempuan yang jadi korban pemerkosaan. Yang membuat saya bertepuktangan pada akhir film #Marlina adalah karena ternyata ending dari film #Marlina jauh lebih extreme dibanding "play Extremities"-nya Mastrosimone. Tak percaya? Ayo sempatkanlah tonton film ini.