Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Proses vs Hasil: Memaki Ahok Karena Macet Jakarta

23 Maret 2015   12:02 Diperbarui: 29 Juni 2017   07:22 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembangunan MRT Jakarta (Foto: @motulz)

Jujur aja, kemacetan Jakarta belakangan ini jauh lebih amburadul dari jaman gubernur-gubernur DKI sebelumnya. Kusut di sana-sini, macet, dan semrawut, itulah kira-kira keluhan, makian, dan umpatan pengguna jalan di DKI kurang lebih setahun ini. Lalu siapa yang menjadi sasaran tembak makiannya? Jelas orang nomor satu DKI yaitu Ahok. Pertanyaannya, kenapa ini bisa terjadi?

Sebelumnya saya ingin mengambil sebuah contoh kasus berbeda namum memiliki nilai "proses" yang sama. Jika kemacetan adalah dominasi masalah perkotaan, saya akan mencoba mengambil contoh lain di daerah pedesaan atau rural. Yaitu setelah berpuluh-puluh tahun Indonesia melakukan industri pertambangan, ternyata dampak dan keuntungan finansial daerah - sebagai lokasi pertambangan, masih sangat kecil dan sedikit sekali. Hal ini diakibatkan karena semua hasil tambang yang mentah itu diekspor ke luar negeri untuk dilakukan pemurnian. Padahal dengan menjual hasil tambang mentah itu harganya jauh lebih murah jika dijual dalam keadaan hasil tambang bersih.

Sejak tahun 2009, pemerintah Indonesia melalui UU Minerba mencoba mengubah aturan tersebut. Tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan pendapatan dari sektor industri pertambangan, baik di pemerintah daerah maupun di pemerintah pusat. Salah satunya adalah dengan melarang pengiriman hasil tambang mentah ke luar Indonesia. Jadi pemerintah meminta semua perusahaan tambang di Indonesia wajib membangun sebuah pabrik pengolahan hasil tambang mentah menjadi hasil tambang bersih, yang kita sering dengar dengan istilah smelter.

Lalu bagaimana hasil dari UU Minerba 2009 itu? apakah diterima dengan baik? Jelas tidak, tetap ada pro dan kontra, ini dan itu. Hingga akhirnya mulai akhir tahun 2014 kemarin, satu-persatu perusahaan tambang mulai mau membangun smelter dan beberapa hari lalu saya membaca berita bahwa tahun 2015 ini akan beroperasi beberapa smelter milik beberapa perusahaan pengolah tambang. Sebuah proses panjang sejak tahun 2009 hingga 2015, sebuah proses yang harus melalui transisi pemerintahan dan presiden. Jelas ini bukan sebuah proses mudah dan sederhana. Selain proses meyakinkan dan menjanjikan ke publik tentu juga melalui proses nego sana-sini diberbagai level pemberi kebijakan. Kini, dengan beropreasinya smelter-smelter tadi, maka di daerah smelter tadi akan mulai tumbuh geliat ekonomi masyarakat. Termasuk akan tumbuhnya penyerapan tenaga kerja. Ini merupakan hasil dari proses awal, yang tentunya akan lahir proses baru untuk hasil baru lainnya, yaitu dampak dari pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Harapannya bisa segera terlihat perubahan-perubahan baru di kehidupan masyarakat daerah kelak.

Kembali ke DKI, macet, dan Ahok, apa yang dilakukan di depan mata kita saat ini adalah sebuah proses pembenahan. Kita semua tahu bahwa Jakarta adalah sebuah kota yang tumbuh dan membesar tanpa planning atau rencana yang baik. Ia bagaikan sebuah gundukan tambang emas yang setiap hari dikeruk oleh warga tanpa tahu rencana, dampak, dan bencana yang akan mengancam mereka. Hingga akhirnya setelah puluhan tahun, kita semua sadar akan banyaknya ancama-ancaman yang bisa terjadi di Jakarta, semisal banjir, krisis air bersih, level kemacetan hingga ke pelosok RW, tingkat depresi masyarakat yang tinggi, hingga akan runtuhnya kehidupan ekonomi di Jakarta.

Dari semua kritisnya penyakit Jakarta, dibutuhkanlah sebuah rencana dan tindakan drastis, radikal, yang sangat besar dan berani, yaitu segera melakukan bedah besar-besaran pada sosok "monster"bernama DKI yang besar ini, yang sudah sulit bergerak ke sana-sini. Apa yang kita lihat hari ini, kemacetan yang berdarah-darah, carut-marut perubahan sistem dan infrastruktur di dalam pemprov, protes ini dan itu, hingga kemarahan besar warga lewat berbagai media, saya pikir ini adalah resiko dari sebuah revolusi pembangunan kota yang sudah kadung gendut. Sosok DKI yang tua, gendut, lambat ini jelas tidak akan pernah nyaman ketika harus dipaksa berdiri, berlari, dan puasa ini itu. Warga DKI seolah sudah berada dalam keseharian hidup yang nyaman dan teratur - sepertinya demikian, hingga saat menghadapi proses perubahan ini jelas akan terganggu dan gelisah. Saya pikir ini pun manusiawi dan wajar. Tinggal bagaimana caranya kita semua warga DKI berani duduk sebentar dan menyadari adanya proses pembenahan ini. Mulai dari pembenahan yang tidak tampak (sistem, UU, aturan, dst) dan pembenahan yang tampak (pembangunan MRT, jembatang layang, gorong-gorong, dst).

Karena bagaimana pun juga suka atau tidak, Jakarta sudah menjadi "gundukan lahan emas" para pencari nafkah yang sama-sama harus kita jaga lahannya, jangan sampai kita tidak mau peduli lalu tiba-tiba suatu hari lahan gundukan tadi runtuh, menimbun hampir banyak korban dan menjadi bencana besar yang kita semua jadi korbannya. Jika Ahok sedang sibuk melakukan proses perbaikan Jakarta, apa yang bisa kita lakukan untuk turut serta dalam proses perbaikan ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun