Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kisah Rasulullah Tentang "Tuntunan" dan "Tontonan"

2 Februari 2014   01:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:14 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13912797281039680050

Beberapa waktu lalu saya sholat Jumat di dua tempat yang berbeda saat dalam perjalanan. Ada yang menarik, dalam dua minggu, dua kali Jumatan itu saya mendapatkan ceramah yang mengutip kisah Rasulullah. Di hari lain, ayah saya pun cerita tentang kisah yang sama. Entah kenapa bisa kebetulan kisah ini menjadi "hits" diceritakan, kebetulan kah? Kisah Rasulullah itu begini..

Suatu hari Abubakar bertanya kepada Aisyah - isteri Rasulullah, tak lama setelah Rasulullah wafat. Abubakar adalah sahabat dekat Rasulullah yang semua tindakan, perilaku, dan tauladan Rasulullah diupayakan untuk dilakukan olehnya. Lantas Abubakar penasaran dan bertanya pada Aisyah, adakah tindakan atau kegiatan Rasulullah yang belum ia lakukan? Aisyah berusaha mengingat, lalu menceritakan satu hal yang nyaris terlupakan, yaitu kebiasaan Rasulullah memberi makan seorang pengemis buta di pasar. Bukan sekedar memberikan makanan bahkan hingga melunakkan makanan dan manyuapinya ke si pengemis tersebut. Padahal, si pengemis itu adalah pengemis pemarah yang tidak pernah lelah mencaci maki dan menghina Rasulullah.

Rasulullah disebut sebagai penipu, tukang bohong, tukang sihir, dan semua yang buruk-buruk. Namun hinaan tersebut tidak lantas membuat Rasulullah berhenti memberi makan sang pengemis sampai saat Rasulullah wafat. Mendengar cerita itu, Abubakar berniat mendatangi si pengemis tadi dan melanjutkan memberinya makan seperti halnya Rasulullah.

Keesokan harinya, Abubakar menemui sang pengemis, lalu perlahan-lahan disuapinya si pengemis tersebut, namun sang pengemis meludahi dan memakinya. Ia seolah sadar bahwa orang yang menyuapinya ini bukanlah orang yang biasanya.

"Siapa kamu?! Kamu bukanlah orang yang biasa menyuapi saya selama ini.. kemana orang yang bisanya itu sekarang?"

Lantas Abubakar menjelaskan pada pengemis bahwa dirinya adalah sahabat dari orang yang selama ini memberi dan menyuapi makanan untuknya, yaitu Muhammad S.A.W - Rasulullah. Mendengar nama Rasulullah, sang pengemis pun tersentak, lalu menangis tersedu-sedu. Ia menyesali dirinya yang selama ini selalu menghina Muhammad, orang yang justru setiap hari memberinya makan. Sejak itu sang pengemis menjadi mualaf. Apa yang menarik bagi saya dari kisah barusan adalah cocok sekali dengan apa yang terjadi di masa sekarang, yaitu bagaimana kita mampu membedakan yang mana TUNTUNAN dengan TONTONAN. Di masa sekarang, masa di mana semua hal bisa terlihat. Tidak cuma hal buruk tapi juga hal baik. Seolah semua musti terlihat orang lain. Yang belakangan sering disebut dengan istilah tampil, pamer, atau "pencitraan". Banyak sekali dari kita atau pun tokoh besar yang melakukan kebaikan demi terlihat oleh orang lain, entah mencari pujian atau sekedar perhatian. Lalu tidak sedikit pula orang yang berani mempertontonkan keburukan, kejahatan atau kejelekan orang lain. Semua sudah tampak kacau balau dan lepas kendali. Lantas siapa yang bisa mengendalikan ini semua? Diri kita sendiri! Bagaimana bisa diri kita sendiri? Jika melihat kisah Rasulullah tadi, ada yang spesifik sekali dicontohkan oleh beliau, yaitu ia menolong dan berbuat kebaikan untuk orang lain (si pengemis buta) tanpa sepengetahuan si orang lain itu. Logikanya, jika Rasulullah ingin mencari pujian dari sang pengemis buta, maka sudah sejak awal Rasulullah pasti menyebutkan siapa dirinya. Namun justru yang dilakukan Rasulullah adalah sikap membantu yang sangat tulus, tanpa perlu identitas dirinya diketahui oleh orang yang dibantunya. Melakukan kebaikan tanpa sepengetahuan orang yang dibantu, nyata sekali adalah contoh tuntunan dan tauladan Rasulullah untuk kita. Bahwa berbuat atau bersikap baik adalah kebutuhan diri. Kebutuhan diri kita dalam mengelola nafsu, hasrat, dan ambisi. Jikalau ada orang lain yang diuntungkan atau terbantu akibat sikap tadi maka hal itu menjadi nilai lain bagi diri kita juga bagi yang telah terbantu. Bagaimana dengan hari ini? Di mana ada banyak sekali orang yang justru mempertontonkan dan pamer kebaikan. Menjual pesona, menebar daya pikat, dan memukau orang lain dengan membanggakan nilai-nilai kebaikan dirinya. Sikap mempertontonkan ini pun tidak sekedar ucapan dan sikap, bahkan dari cara berdandan dan gaya hidup. Menarik memang, di saat manusia membutuhkan tuntunan hidup pada dirinya, justru mereka malah sibuk mencari cara bagaimana ia bisa menjadi tontonan untuk orang lain. Puja dan puji nampaknya sudah menjadi ambisi dan haus akan disanjung bagai raja-raja dan nabi. Sementara itu, Rasulullah justru memberikan kita tuntunan yang sangat mulia sekali untuk diri kita sendiri dari sekedar nafsu manusia yang gila ditonton orang lain. Ilustrasi milik: Motulz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun