Namun, jika kekayaan ini tidak dikelola dengan baik dan benar, maka bukan tidak mungkin malah menjadi ancaman akan rontoknya nilai-nilai budaya lokal. Dengan berpegang pada ke-dua ukuran tadi di atas – Pride dan Price, sudah barang tentu kita musti hati-hati dalam mengelola aset budaya lokal sebagai produk ekonomi pariwisata. Jangan sampai prinsip-prinsip ekonomi kreatif malah punya andil dalam membunuh secara massal nilai-nilai kebanggaan budaya lokal (pride).
Jika rasa kebanggaan atas budaya (pride) bisa “murah” dijual demi nilai nominal ekonomi (price), maka tidaklah heran jika akhirnya warga lokal pun rela melego aset atau artefak budayanya dibanding harus melestarikannya. Pandangan seperti ini sudah terjadi di banyak daerah di Indonesia, melestarikan budaya dianggap hanya pekerjaan buang-buang uang, menghabiskan anggaran dan APBD. Sementara “menjual” budaya, seperti misalnya menjual sawah Subak di Bali demi dibangunnya resort atau spa, jelas lebih mendatangkan uang, pemasukan pajak, atau peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Yang mana seringkali ukuran nilai pendapatan uang ini malah menjadi tolok ukur prestasi atau kesuksesan sebuah pemerintah lokal.
Pengelolaan Yang Komprehensif
Lantas bagaimana jalan keluarnya? Mudah dan sederhana saja. Pride dan Price bukanlah sebuah pilihan mati bagai buah simalakama. Dalam sebuah upaya peningkatan PAD lewat ekonomi kreatif, pengelolaan aset budaya daerah jelas harus dilakukan. Pemerintah daerah bisa dengan mudah menjalankan keduanya, menjaga dan melestarikan budaya (pride) masyarakatnya lewat kegiatan dan aktifitas keseharian warga. Di lain tempat, dinas pariwisata daerah bisa membangun sebuah paket-paket atrakasi wisata yang sudah jelas bisa mendatangkan pemasukan uang (price).
Kegiatan asli masyarakat, seperti proses ritual, perayaan, atau sekedar alat masak, alat peribadatan, pertunjukkan seni, alat seni, dan seterusnya, jelas merupakan perilaku dan kegiatan budaya yang memiliki nilai ekonomis. Pengelolaan yang setara dan seimbang jelas akan mampu menguatkan ekonomi masyarakat lokal, juga melestarikan budaya lokal, dan meningkatkan perekonomian daerah yang kemudian jika berhasil menggelinding dan sustainakan menjadi sebuah industri.. industri kreatif.
Dengan demikian, maka keragaman budaya asli Indonesia akan jelas menjadi sebuah aset berharga di era kesejagatan dan keseragaman ini. Aset budaya adalah aset yang unik, ketika semua produk di dunia sudah setara dalam satu produksi yang sama yaitu produksi Cina, maka mebel kayu ukiran handmade khas Jepara pun tidak akan pernah bisa dijiplak oleh industri mebel Cina yang produksinya dilakukan dengan fabrikasi (mesin). Tinggal bagaimana caranya pemerintah HARUS memiliki kemampuan menaksir harga atau mengkuantifikasi produk-produk hasil budaya asli ini. Jangan sampai harga kursi handmade bisa lebih murah dari harga barang plastik cetakan.
Kini, peluangnya ada di tangan pemerintah pusat sebagai motor dari pengelola strategi ekonomi kreatif skala nasional dan pemerintah daerah bersama komunitas juga kelompok masyarakat sebagai penggerak dan penjaga aset-aset budaya skala lokal.
[ ]
Ditulis juga di Motzter.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H