Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengadili Persepsi Atas Nama Agama

19 Januari 2015   22:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:48 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1421655714701689694

[caption id="attachment_365124" align="aligncenter" width="428" caption="Bayangan tangan yang mirip wajah seekor domba"][/caption]

Sebuah hotel di Bandung digeruduk massa. Mereka marah dan meminta pemkot mencabut izin hotel. Apa sebab? Ternyata hanya karena logo hotel tersebut - yang mengambil simbol Virgo dalam zodiak, menurut persepsi mereka mirip dengan tulisan "Allah" yang diputar terbalik.

Sudah sejak lama kita sering membaca pemberitaan penemuan warga, tentang batu cincin bermotif tulisan Allah, lalu bercak di daun juga bertuliskan Allah dalam Bahasa Arab, dan masih banyak lagi. Fenomena ini seolah menjadi sebuah fenomena yang menakjubkan atau bahkan bagi beberapa orang dianggap sebagai sebuah "pesan" atau berkah yang diberikan Allah kepada umatnya. Benarkah demikian? Ah entah.. saya bukan ahli agama. Hanya saja fenomena ini biasa dalam dunia kreativitas, yang kemudian dikenal dengan istilah pareidolia.

Waktu kita masih kanak-kanak, mungkin hampir banyak dari kita gemar menghabiskan waktu sengang dengan menatap awan berarak. Seketika dalam gugusan awan-awan kita sering melihat sebuah gambar yang bisa kita kenali. Ada yang mirip kelinci, mirip siluet wajah, burung bersayap besar, atau bahkan wajah raksasa yang sedang tertawa menakutkan. Semua itu muncul sebagai akibat dari kemampuan otak kita dalam melakukan persepsi.

Dalam pareidolia, otak kita memang kadang-kadang mudah sekali menterjemahkan apa yang sedang kita lihat atau kita dengar. Dalam sekejap, otak otomatis melakukan sebuah reaksi yang spontan. Saat kita melihat bagian depan mobil, dua lampu di kiri-kanan dengan grill di tengah, seolah langsung megirimkan pesan kepada otak bahwa bentukan tersebut mirip wajah manusia. Dua lampu tadi diasosiasikan sebagai dua mata, grill depan seperti hidung, dan bumper seperti mulut. Sebagai orang yang gemar menggali kemampuan kreativitas, tentu hal ini lumrah, menarik, bahkan sering dilatih. Kepekaan mata dan otak ini sangat dibutuhkan dalam melatih kemampuan otak dalam melakukan aktivitas berpersepsi dan berimajinasi.

Kembali ke kasus demo hotel di Bandung, ini akan menjadi sangat sulit untuk dikonfirmasi. Karena kita tahu, logo merupakan sebuah karya persepsi. Baik persepsi yang mudah dicerna maupun persepsi yang sulit dicerna. Akan tetapi asosiasi atau penafsiran seseorang atas sebuah logo pun sudah pasti akan berbeda-beda. Tidak banyak juga yang sadar bahwa logo Amazon.com itu berasosiasi dengan wajah seseorang yang sedang senyum. Begitu pun tidak banyak orang yang mengasosiasikan logo hotel di Bandung tadi dengan tulisan Allah yang diputar terbalik.

Sebaliknya, tidak banyak juga orang yang tidak mengasosiasikan logo tersebut adalah mirip dengan tulisan Allah sebelum ada kasus ini. Artinya, semua kembali ke seberapa banyak "pembaca logo" tadi mengasosiasikannya terhadap pesan lain. Katakanlah demi menenangkan para pendemo, polisi melakukan konfirmasi kepada desainer logo, lantas kata desainernya mereka tidak mendesain dengan asosiasi tulisan Allah tadi, lantas gimana? Cukup memuaskan para pendemokah? Atau demi menyelesaikan masalah ini maka polisi meminta pemilik hotel dan desainer mengganti logonya?

Ini satu kejadian, bisa jadi akan ada kejadian sejenis dikemudian hari. Kejadian yang berkaitan dengan persepsi, asosiasi, dan imajinasi kita sebagai manusia. Kemampuan yang diciptakan oleh sang khalik sebagai sebuah kemampuan berfikir kreatif guna melengkapi kemampuan berfikir logika kita. Bandung sudah lama dikenal dengan kota yang menjunjung nilai-nilai kreativitas, akankah harus berbenturan dan bertabrakan dengan persepsi-persepsi yang malah akan mematikan kreativitas? Apalagi jika persepsi tersebut harus sampai mengadili, yang kemudian akan memakan korban.

Sayang sekali...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun