Suatu hari saya mendapat amanah untuk mengisi sesi motivasi untuk salah satu perusahaan BUMN yang dilaksanakan di Jogjakarta, peserta acara tidak banyak, karena sifat acaranya memang intensif dan berlangsung dalam durasi tiga hari. Lokasi acara yang berada di sebuah hotel di Jl. Malioboro dengan segala pesona dan romantisme-nya semakin membuat saya antusias untuk segera tiba dengan menempuh perjalanan darat dari Rembang, karena sebelum mengisi sesi motivasi di Jogjakarta, saya menangani sebuah sesi motivasi untuk sebuah organisasi internasional yang melaksanakan program pemberdayaan di Rembang. Setiba di lokasi, seperti biasa, setelah beberapa persiapan standar pra-pelatihan, checking beberapa perangkat pendukung audio maupun video, pelatihan pun dimulai dengan antusiasme, dinamika, dan ger-geran sepanjang sesi, dengan tetap berada di rel poin-poin materi yang disepakati. Pada saat break, ada sebuah diskusi menarik antara saya dengan kawan asli Jogja yang menjadi partner lokal pelaksanaan acara disana, meskipun baru kenal, kawan yang satu ini mudah untuk akrab dan komunikatif. Tiba-tiba kawan ini nyeletuk ringan, tanpa beban, namun saya akui, makna dari yang dia sampaikan amatlah mendalam, dan merubah mindset saya secara signifikan :
“Faizal, kamu sebagai motivator sudah punya kiblat, tapi belum punya kitab suci.”
Saya seperti dibangunkan dengan dosis bersamaan, karena alarm, diguncang-guncang, sambil disiram segayung air di muka saya. Ini adalah ucapan tulus, peduli, dan penuh makna. Merujuk pada cita-cita saya menjadi seorang motivator nasional yang berangkat dari Kota Malang, benarlah seorang trainer tanpa memiliki tulisan laksana punya kiblat namun tidak punya kitab suci. Terimakasih kawan, masukan anda menjadi tonggak untuk sebuah kemajuan dan peningkatan.
Saya memilih profesi sebagai motivator dari sebuah perjalanan yang berliku, sempat bekerja serabutan, menjadi penyiar radio, menjadi reporter di sebuah televisi lokal, hingga mengemban jabatan sebagai manajer salah satu sekolah internasional di Kota Malang. Mengingat mengenai pentingnya menulis, memori saya langsung memanggil momen-momen diskusi hangat ketika siaran bareng Kang Iman Supriyono, salah seorang penulis best-seller asal Kota Surabaya dengan karya fenomenal-nya yang berjudul FSQ : Financial Spiritual Quotient yang diterbitkan pada 2007 dengan total 423 halaman. Produktifitas Kang Iman dalam menghasilkan buku lumayan tinggi, beberapa kali bahkan saat masih menjadi penyiar di Radio Mitra FM, saya sempat beberapa kali menjadi host untuk acara bedah buku beliau di UB Hotel, Malang Islamic Book Fair, STIE Malangkucecwara, dan di Indonesia International Standard School di Kawasan Dieng. Pada suatu momen saya sempat silaturahim ke kediaman beliau di dareah Kejawan Putih Hidrodinamika di sekitar kampus ITS Surabaya, dengan semangat 45, saya kendarai motor dari Malang menuju Surabaya dengan melibas jalur Porong yang saat itu macetnya minta ampun terdampak luberan lumpur Lapindo yang seakan tiada habisnya. Di kediaman Kang Iman Supriyono, saya disambut hangat oleh Kang Iman, dengan senyum renyahnya, dengan keramahan ala Arek Suroboyo plus logat yang masih khas Madiun, kota kelahiran Kang Iman yang katanya salah satu faktor orang Madiun survive sampai sekarang adalah karena kesetiaan pada kelezatan pecel sebagai menu wajib sarapan pagi, hidup pecel AE. Dalam sebuah diskusi gayeng di ruang tamu rumah Kang Iman, ada banyak kisah, inspirasi, dan hikmah yang saya petik, salah satunya adalah dalam hal menulis, karena memang saat itu salah satu tujuan saya adalah berguru menimba ilmu pada Kang Iman tentang kepenulisan. Ada satu ilmu yang menurut saya menarik dan menjadi solusi bagi kita yang selama ini hobi menunda dan tidak segera menghasilkan karya tulisan kita : konsistensi. Ceritanya, Kang Iman punya kebiasaan menarik mengenai habit menulis yang beliau bangun, ternyata bukan sekejap mata dan semudah membalik kedua telapak tangan. Sejak SMA, Kang Iman membiasakan diri menulis dan terus menulis, jangan bayangkan saat itu dengan gadget, laptop, atau sekedar mesin ketik, saat itu Kang Iman menulisnya di kertas-kertas bekas alias kertas re-use. Apa yang ditulis? Apapun! Wong namanya latihan, yang penting rutin, dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Inilah ternyata ilmunya, kenapa Kang Iman memiliki produktifitas tinggi dalam menulis, hal itu dikarenakan yang beliau lakukan adalah menulis, menulis dan menulis lagi, terus, lagi, dan terus menulis. Nah, kalau menulis terus, tulisannya jelek dong? Tulisannya tidak standar dong? Tulisannya tidak diperiksa dong? Itulah beragam pertanyaan yang muncul di benak saya, daripada saya simpan dan jadi beban di pikiran, langsung saja saya tanyakan ke Kang Iman, ternyata jawabannya di luar dugaan, Kang Iman tidak pernah mengecek ulang tulisannya pada saat itu, karena itu dianggap mengkonsumsi waktu. Kenapa begitu? Karena goal settingnya kan mau jadi penulis, yang produktif dalam menghasilkan tulisan, bukan mau menjadi reviewer atau editor. Inilah salah satu mental block yang hinggap dan menjadi pencuri mimpi para penulis pemula, niatannya mau jadi penulis, namun pada prakteknya malah lebih ambil peran menjadi reviewer dan editor. Maka apa yang terjadi? Seperti mau ke pergi ke barat, namun ambil jalurnya ke arah timur, pasti tidak ketemu, coba kalau konsisten pergi ke arah barat, mungkin saja berkesempatan ketemu dengan Biksu Tong, Sun Go Kong, dan Pat Kay di rest area depan, wehehehe.
Saya mendapat pencerahan saat itu, benar sekali ini teknik yang diterapkan Kang Iman, mau jadi penulis ya nulis aja, habis nulis ya nulis karya berikutnya, disambung dengan tulisan selanjutnya, nanti kan tulisannya jadi banyak. Jangan dulu bicara mengenai kualitas, wong nulis saja barusan, seperti anak kita yang belajar berjalan, apa ya langsung jogging? Tentu mulai dari tengkurap, merangkak, belajar berdiri sendiri, sampai mengambil langkah pertama yang disambung dengan langkah berikutnya. Dalam bukunya yang berjudul Dare To Fail, penulis nyentrik asal Singapura, Billy Lim punya data yang menarik, bahwa balita yang belajar berjalan ternyata perlu mengalami 240 kali proses jatuh bangun sebelum akhirnya mampu berjalan dengan lancar, ya benar, 240 kali oleng, jatuh, terpeleset, tersungkur, terbentur, kejedot, terjungkal. Sebuah inspirasi istimewa, mengenai objektifitas menyikapi kegagalan dan terus berproses tanpa kenal lelah berdasarkan pada keyakinan bahwa pasti bisa berjalan, sebuah kepastian tanpa keraguan, bukan sekedar kemungkinan. Sudah pernah 240 kali menulis? Maka jangan risau dan galau kalau belum menghasilkan sebuah karya fenomenal, lanjutkan!
Argumen dari Kang Iman Supriyono pun amatlah masuk akal dalam tips untuk menulis tanpa perlu diribetkan pengecekan ulang, review maupun editing, karena proses tersebut pasti akan mengkonsumsi waktu, melelahkan, dan yang paling berbahaya, memundurkan! Lho kok bisa? Tentu saja, karena bagitu kita menulis, lalu kita baca lagi dan edit, maka akan banyak perubahan di sana-sini, pembenahan ini dan itu, yang umumnya mengkonsumsi waktu lebih banyak daripada proses penulisannya, betul? Belum lagi suatu fakta bahwa setelah diedit sampai bungkuk pun, begitu kita baca lagi, pendapat kita sendiri bahwa tulisan tersebut masih jelek kualitasnya. Apa yang terjadi kemudian? Bisa ditebak, kemudian kita segera menyalakan tombol galau kita, dan berkata pada diri kita sendiri bahwa kita memang tidak berbakat menulis, tidak punya talenta, tidak berdaya, tidak bermutu, maka ambil kertanya, remas-remas menjadi bola, dan lemparkan ke keranjang sampah terdekat! Bingung bukan? Kertas darimana? Lha nulisnya khan di laptop, wehehe.
Lalu caranya bagaimana? Mau jadi penulis, ya nulis saja, itu yang dilakukan Kang Iman, dengan sebuah matematis sederhana, tentukan dulu targetnya, sesuatu yang tidak dapat dikuantifikasikan, maka tidak dapat diukur dan dievaluasi. Saya ingat betul challenge yang diberikan oleh kang Iman saat itu, menulis setahun penuh! Kereeen! Jadi kalau kita berkomitmen menulis 1 lembar tulisan saja per hari, maka dalam setahun minimal ada 365 lembar tulisan dihasilkan, cukup untuk menjadi materi sebuah buku. Itulah kekuatan konsistensi dan kontinyuitas, dan dari situlah sebenarnya jam menulis seseorang teruji, jadi bukan setelah menulis direview dan diedit sendiri, menulislah dan terus menulis, lalu kumpulkan hasil tulisan itu saat sudah mencapai target, lalu : saatnya membaca ulang! Ingat, tanpa editing, baca lagi saja, maka disitu akan kita rasakan perbedaannya, perkembangannya, peningkatannya, kenaikan level kualitas tulisan kita dari hari per hari, bukan karena sulap, bukan karena sihir, namun karena hasil dari ketekunan yang berulang, sustainable development, bisa karena biasa, lancar karena belajar, di situlah sebenarnya tonggak dan titik tolak cita-cita menjadi penulis ditetapkan, tinggal terus menjaga dan meningkatkan semangat agar terus menyala karena dikobarkan. Berani menerima tantangan ini? Kalau memang serius menjadi penulis, jangan lagi alasan, buang jauh kemalasan, karena yang dibutuhkan adalah tindakan, aksi nyata yang mampu memberikan perubahan sesungguhnya.
Semangat yang sama saya peroleh dari diskusi internal saya dalam pengembaraan di dunia maya, disana saya temui Kek Jamil Azzaini, Kang Jonru, Kang Nugroho Nusantoro, Bang Andrias Harefa, Bang Edy Zaqeus yang hobi mengompori dan memfasilitasi orang untuk menulis, luar biasa ternyata, karena motivasi untuk menulis ini benar-benar mulia, untuk meninggalkan sebuah warisan, sebuah paket ilmu yang bermanfaat, yang akan abadi dan terus memberikan kemanfaatan, seperti kalimat bijak dari Sayyidina Ali bin Abu Thalib :
“Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”
Saya pun semakin memperkuat niat, saya cari di Kota Malang, para penulis produktif, saya pun beruntung berkenalan dengan salah satu orang hebat yang ramah dan humble, Prof. DR. H. Wahyudi Siswanto, M.Pd, Guru Besar Universitas Negeri Malang yang saya kejar sampai ke kediaman beliau yang asri di daerah Sengguruh Kepanjen, Kabupaten Malang. Sambil menikmati salak pondoh dan bercengkrama di gazebo, beliau menceritakan latar belakang beliau menulis hingga lebih dari 30 buku (dan terus bertambah), bagaimana awal mulanya, dan bagaimana teknik menulisnya. Penjelasan beliau begitu menarik dan atraktif, pastinya dari latar belakang beliau yang orang sastra, segala penyampaian, kurang lengkap rasanya kalau tidak disertai ekspresi dan gesture yang dinamis. Urusan menulis, ternyata rumusnya Prof. Wahyudi ini tidak kalah simpel-nya, rumusnya hanya 3 huruf : EGP, alias istilahnya anak muda yang cuek atau salah satu judul lagu dari Duo Maia : Emang Gue Pikirin?
Dan betul itu yang beliau terapkan, beliau langsung membuka notebook dan menunjukkan stok deposit naskah buku yang akan diterbitkan beberapa waktu ke depan, dibukakan beberapa file, diizinkan saya membaca naskah yang mungkin baru beberapa bulan ke depan terpampang dan berjajar di toko-toko buku terkemuka di negeri ini dan reviewnya bertebaran di situs-situs dunia maya. Apa yang saya baca sungguh memang tulisan yang emang gue pikirin, beliau tulis apapun yang dilihat, didengar, dan dialami, begitu bebas, begitu mengalir, dengan bahasa deskriptif yang kuat dan tentunya : saya menikmatinya! Semangat pun semakin muncul, saya bisa memulai membuat yang seperti ini, dan saya mau memulai serta tekun melanjutkannya.
Mau nulis ya nulis saja, jangan ditunda karena kemalasan dan jangan terhenti karena alasan, mau jelek ya biar saja, namanya juga mengawali dan memulai, ntar juga jadi bagus sendiri. Sama persis rumusnya! Maka saya semakin yakin untuk menulis, menghasilkan karya, menyiapkan warisan, karena tulisan kita pasti punya makna, pasti memuat nilai, pasti berguna, pasti bermanfaat.
Jadikan ilmu dan pengetahuan kita abadi dengan menuliskannya.
Ditulis di Kota Malang
Salam istimewa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H