Mohon tunggu...
Taufiq Febrianto
Taufiq Febrianto Mohon Tunggu... Swasta -

belajar, berkembang, dan berkontribusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Go-Jek: Ada dan Tiada

18 Desember 2015   14:25 Diperbarui: 18 Desember 2015   14:25 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepertinya belakangan ini sedang booming yang namanya berita “bersih-bersih” angkutan umum. Perlu apresiasi, namun juga evaluasi. Kemarin kabar metromini menghiasi mayoritas media dengan satu suara umum, evaluasi operasionalnya karena keberadaannya yang tidak “mendukung” keselamatan penumpang. Banyak kecelakaan lalu lintas dengan subyek utamanya adalah metromini. Hari ini, satu lagi kabar dari sektor transportasi “yang katanya bukan termasuk angkutan umum”, Go-Jek. Namun suaranya cenderung berbeda dan berbeda 180 derajat. Jika metromini dihujat dan didesak untuk dihilangkan keberadaannya, Go-Jek dielu-elukan keberadaannya karena manfaat efektivitas dan efisiensinya. Setidaknya itulah gambaran dari satu sudut pandang; masyarakat.

Tentang Go-Jek dan Peraturan Angkutan Umum

Go-Jek, sebuah perusahaan yang menyediakan layanan transportasi berbasis IT. Layanan ini menyediakan media untuk para ojek dan pelanggan dalam sebuah aplikasi. Tujuannya, efektivitas dan efisiensi, baik dari segi waktu, nominal harga, maupun mekanismenya. Perusahaan ini tidak memiliki aset berupa kendaraan bermotor maupun pengendara. Asetnya berupa teknologi IT dan sistem manajemen yang mengelola antara kebutuhan pelanggan dan ketersediaan ojek. Hingga saat ini, persentase kepuasan pelanggan masih cukup tinggi dibandingkan dengan tingkat ketidakpuasaannya, dilihat melalui berbagai macam pemberitaan yang cukup masif, Go-Jek dianggap sebagai salah satu solusi dan terobosan kemudahan dalam transportasi umum. Selain Go-Jek, juga terdapat beberapa model sejenis yang menyediakan layanan transportasi berbasis IT seperti; Grab Bike, Blu-Jek, Lady-Jek, Uber Taksi dan Grab Car (mobil), dan sebagainya.

Baru saja, Kementerian Perhubungan membuat sebuah kebijakan dalam keputusannya yang melarang operasional Go-Jek dan sejenisnya, angkutan umum berbasis IT yang bernopol hitam. Semua angkutan tersebut dimasukkan dalam kategori ilegal. Alasannya; Go-Jek dan sejenisnya bukan termasuk sebagai angkutan umum (UU 22/2009 dan PP 74/2014) bahwa angkutan umum adalah minimal beroda tiga, berbadan hukum, dan memiliki ijin penyelenggaraan angkutan umum. Larangan operasional tersebut tertulis dalam Surat Pemberitahuan UM.3012/1/21/Phb/2015 tertanggal 9 November 2015. Alasan lainnya, karena pertimbangan keamanan dan keselamatan transportasi (Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan).

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan tidak salah. Sama sekali tidak salah dan bahkan sudah benar sesuai dengan yang semestinya. Permasalahannya adalah timing. Mengapa pemberitahuan larangan itu baru dibuat sekarang? Sudah jelas masalah seperti ini ada sejak dulu. Kendaraan “yang katanya bukan termasuk angkutan umum” sudah ada sejak dulu; ojek pangkalan, becak motor, angkutan liar, dan kendaraan-kendaraan angkutan “non resmin” lainnya. Tanpa mengesampingkan dan mendiskreditkan kendaraan-kendaraan tersebut, faktor keamanan dan lainnya (yang menjadi alasan ketentuan kebijakan dari Kementerian tersebut) berarti sudah terjadi sejak dulu. Berarti juga keamanan yang dulu-dulu tidak diperhatikan. Tidak memihak siapapun, namun justru kebijakan ini cenderung tendensi pada aksi reaktif atas hal yang sedang booming saja. Mengapa tidak sejak awal berdiri Go-Jek langsung dilarang saja. Mungkin opininya, lebih baik terlambat daripada tidak, namun tentu ini juga menjadi catatan tersendiri bagi Kementerian Perhubungan.

Teorinya, sistem manajemen yang baik tentu akan turut berkontribusi dan berpengaruh terhadap faktor keamanan angkutan umum. Dalam hal ini, sistem manajemen tersebut bukan dimiliki oleh peran dan fungsi Kementerian Perhubungan, namun dimiliki oleh operator pemilik atau pengelola angkutan umum terkait. Bagaimana dengan Kementerian Perhubungan? seharusnya sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, peran dan fungsi utamanya adalah mengatur, mengelola, termasuk menjaga keteraturan angkutan umum melalui ketentuan dan kebijakan-kebijakan yang sesuai. Dalam hal ini, Kementerian semestinya diuntungkan dengan support sistem manajemen baik yang telah ada, hanya tinggal mengatur pengelolaannya saja. Bukan justru sebaliknya, mematikan sistem tersebut tanpa memberikan solusi konstruktif dalam urusan transportasi. Mungkin juga menjadi dilematis bagi Kementerian Perhubungan jika tidak segera mengeluarkan aturan atau kebijakan,

Jadi, Go-Jek ini mungkin memang ada dan tiada. Ada fungsi, sistem manajemen, manfaat, dan harapan penumpang. Namun juga tiada, tiada lagi wadah untuk menganggapnya ada.

Niat baik, tentunya perlu disertai dengan langkah dan upaya yang tepat, untuk memberikan hasil yang baik dan sesuai dengan tujuannya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun