Judi Online Hantui Generasi
Oleh: Ummu Syaqieb
Miris! sejumlah anak usia Sekolah Dasar didiagnosis kecanduan judi online dari konten live para streamer gim yang secara terang-terangan mempromosikan situs judi online. Menurut dokter spesialis yang menangani mereka, kecanduan terindikasi dari perilaku uring-uringan, tidak bisa tidur dan makan, lebih boros, suka menyendiri, dan performa belajar terganggu (bbc.com, 27/11/2024). Fakta ini tentu menambah deretan potrem buram generasi.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat ada 2,7 juta masyarakat Indonesia yang terlibat judi online. Sebanyak 2.1 juta diantaranya merupakan warga berpenghasilan rendah dibawah Rp. 100.000. Masyarakat berpenghasilan rendah ini diantaranya pelajar, mahasiswa, guru, petani, ibu rumah tangga, pegawai swasta, dll. Adapun pelajar yang dimaksudkan anak-anak dengan jenjang pendidikan SMP hingga SMA.
Siapapun mengetahui bahwa judi sebuah perilaku buruk, disebut penyakit masyarakat dan secara hukum termasuk tindak pidana. Hanya saja, perilaku buruk ini nyatanya susah hilang dari masyarakat. Mengapa demikian?
Judi Langgeng, Buah Penerapan Sistem Rusak.
Tak bisa disangkal, judi online maupun offline merupakan praktik keburukan yang susah untuk dihilangkan. Meskipun termasuk tindakan kejahatan, namun sanksi yang ada selama ini ternyata tidak menimbulkan efek jera.
Setidaknya terdapat beberapa kondisi yang membuat praktik judi terus-menerus ada dan bergeliat, diantaranya:
1. Individu sekular berlandas kebebasan.
Sistem kehidupan kapitalisme yang sekular telah memisahkan agama dari kehidupan, hingga melahirkan individu jauh dari tatanan agama. Akibatnya, perilaku manusia cenderung bebas. Apa yang ia ingini, akan dilakukan, tanpa melihat lagi apakah sesuai atau justru bertentangan dengan syariat.
 Sistem kapitalisme yang materialistik juga menjadikan materi sebagai tujuan hidup sekaligus standar kebahagiaan manusia. Walhasil, apa yang bisa menghasilkan materi, maka itulah yang akan dilakukan. Tak peduli lagi standar halal-haram. Baik-buruk disandarkan pada teraih atau tidaknya materi. Dengan pandangan semacam ini, aktifitas haram selama bisa menghasilkan materi, seperti judi, menjadi lumrah untuk dilakukan. Maka, sistem kapitalisme sekular sejatinya tatanan kehidupan yang melahirkan kerusakan.
2. Masyarakat individualistis cenderung apatis.
Tak dipungkiri, masyarakat hari ini cenderung individualistis. Hal ini terlihat dari banyak kasus. Misal saja kasus kematian tetangga yang baru diketahui setelah waktu cukup lama, sering terjadi di kehidupan hari ini. Hal ini buah dari budaya amar-ma'ruf nahi mungkar yang semakin pudar dan berganti dengan corak individual yang lebih mementingkan kepentingan diri sendiri. Lahirlah sikap apatis atas kondisi yang menimpa orang lain. Kondisi masyarakat yang individualistis inilah membuat praktik keburukan seperti judi makin mudah dilakukan.
3. Negara yang tidak hadir secara optimal.
Praktik judi yang tetap marak, menjadi bukti bahwa negara yang sejatinya memiliki kuasa penuh, justru berdiri setengah hati dalam memberantas praktik haram ini. Menilik pernyataan wakil menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nezar Patria yang mengakui perang terhadap judi online sangat berat, sehingga pihaknya mempertimbangkan membentuk satuan tugas yang terdiri dari kepolisian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Padahal jika serius dalam melindungi warga negara, terutama generasi, negara akan berusaha optimal melakukan penjagaan dan pemberantasan, meski harus berbiaya besar. Namun, langkah maksimal ini tidak akan ditempuh oleh negara bersistem kapitalisme, dimana para pemilik modal bisa mengendalikan negara hingga negara seolah tidak berkutik.