Mohon tunggu...
moshes manihuruk
moshes manihuruk Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Seseorang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menyoal Kesiapan Indonesia Merawat Benda-Benda Bersejarah

7 November 2024   13:32 Diperbarui: 7 November 2024   13:50 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Shutterstock 

Beberapa tahun terakhir ini, Indonesia melaksanakan repatriasi ratusan barang bersejarah yang dirampas selama masa kolonialisme. Tentu saja, berita ini membawa kegembiraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Walaupun begitu, peristiwa kebakaran yang menimpa Museum Nasional Indonesia baru-baru ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai kemampuan Indonesia dalam merawat benda-benda bersejarah ini. 

Kapabilitas Indonesia dalam menjaga benda dengan nilai sejarah tinggi berkaitan erat dengan fasilitas yang dimiliki untuk menunjang upaya ini. Fasilitas tersebut utamanya hadir dalam bentuk museum. Pada saat ini, Indonesia memiliki 439 museum yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa fasilitas museum yang mumpuni masih terpusat di Provinsi DKI Jakarta. Hal ini didukung melalui fakta bahwa mayoritas barang repatriasi dari Belanda disimpan di Museum Gajah yang terletak di Jakarta Pusat. Kondisi permuseuman Indonesia sangat kontras dengan Jepang yang menjadi rumah untuk 5.738 museum dengan fasilitas penunjang berkualitas tinggi. 

Berbicara mengenai fasilitas akan sangat erat kaitannya dengan pendanaan. Pendanaan rata-rata museum di Indonesia saat ini hanya berada di sekitar 1 miliar rupiah setiap tahunnya. Berbeda jauh dengan Museum Nasional Indonesia yang menerima hingga 68 miliar rupiah. Namun, angka ini masih kecil dibandingkan pendanaan yang diterima oleh museum-museum di Inggris yang memperoleh hingga 150 miliar rupiah setiap tahunnya. 

Kondisi permuseuman Indonesia sangatlah menyedihkan. Banyak museum memiliki dinding yang retak dan mulai terkelupas, serta lantai yang kusam dan kotor akibat kurangnya pemeliharaan. Masalah kebocoran juga kerap terjadi, terutama pada museum yang sudah berusia puluhan tahun, membuat air hujan sering merembes ke dalam ruangan dan membahayakan koleksi-koleksi yang disimpan. Ventilasi yang buruk dan pencahayaan yang minim juga memperburuk keadaan, menciptakan suasana lembab yang dapat mempercepat kerusakan artefak. Bahkan beberapa museum tidak memiliki sistem pendingin ruangan atau penangkal kelembaban, membuat interior ruangan terasa pengap dan tak nyaman bagi pengunjung. Tidak hanya itu, permuseuman Indonesia juga minim fasilitas laboratorium sehingga upaya pelestarian menjadi terbatas. Kondisi ini menunjukkan betapa perlunya perhatian lebih pada fasilitas dan bangunan museum agar mampu melestarikan sejarah dengan layak.

Membangun museum yang berkelas dunia juga tidaklah mudah. Museum yang ideal seharusnya menjadi ruang seni dan budaya yang dirancang untuk memberikan pengalaman edukatif bagi semua pengunjung. Hal ini dapat didukung melalui fasilitas-fasilitas, seperti galeri yang menampilkan pameran tetap dan sementara, teater mini untuk pemutaran film dokumenter, dan studio edukasi di mana pengunjung dapat mengikuti lokakarya seni dan budaya. Tidak hanya itu, museum juga perlu memiliki sarana yang mengakomodasi segala upaya memelihara dan melindungi barang-barang bersejarah yang disimpan. Untuk itu, diperlukan laboratorium yang didukung oleh peneliti-peneliti yang bersertifikasi dalam merawat barang bersejarah. Selain itu, ruangan khusus yang hampa udara juga dibutuhkan untuk melindungi peninggalan-peninggalan yang rentan tersebut dari korosi. 

Membangun fasilitas museum yang berkualitas tinggi juga tidak cukup untuk menyiapkan Indonesia merawat benda bersejarah. Diperlukan pula budaya masyarakat yang menghargai pentingnya merawat dan menjaga benda bersejarah. Negara-negara yang memiliki museum-museum berkualitas tinggi seperti Amerika Serikat mencatat 230 juta pengunjung pada tahun 2019, sementara Indonesia hanya mencatat 11 juta pengunjung pada tahun yang sama. Budaya penghargaan terhadap benda-benda bersejarah sangatlah penting untuk mendorong kesiapan Indonesia dalam merawat benda-benda bersejarah karena melalui dukungan dan perhatian dari masyarakat luas, permasalahan ini menjadi penting serta memiliki urgensi. 

Realitas saat ini menunjukkan bahwa masyarakat luas Indonesia belum memiliki kesadaran dan pengetahuan yang mendasar mengenai artefak-artefak bersejarah Indonesia yang kaya. Oleh karena itu, diperlukan juga upaya melalui perspektif pendidikan. Pendidikan Indonesia perlu mengintegrasikan budaya permuseuman sejak dini. Hal ini dapat direalisasikan melalui kegiatan-kegiatan kunjungan ke museum yang dilakukan secara rutin pada setiap tingkat pendidikan di Indonesia. Selain itu, pendidikan sejarah yang Indonesiasentris juga penting untuk mengembangkan kecintaan yang mendalam terhadap barang bersejarah Indonesia. Melalui upaya ini, kesadaran akan sejarah Indonesia tidak hanya berkembang namun, rasa nasionalisme juga terpupuk dan mendorong tumbuhnya integrasi nasional. 

Permasalahan lain yang menjadi rintangan dalam membangun kesadaran sejarah Indonesia adalah biaya untuk mengakses sumber informasi sejarah tersebut. Untuk mengakses salah satu museum terbaik di Indonesia, yaitu Museum Nasional Indonesia, masyarakat Indonesia perlu merogoh kocek 50 ribu rupiah. Mengingat bahwa rata-rata penghasilan pekerja Indonesia setiap bulannya hanya berkisar 3 juta rupiah, akses museum ini tidak diperuntukkan untuk semua orang. Berbeda jauh dengan museum-museum di Inggris, seluruh akses museum nasional di Inggris tidak memerlukan biaya apapun. Melalui implementasi museum yang gratis, mayoritas masyarakat Inggris mencapai kesadaran dan pengetahuan sejarah yang jauh lebih mendalam dan luas. Hal ini mendorong kualitas museum-museum di Inggris dan menjadikan museum nasional di Inggris sebagai atraksi utama wisatawan mancanegara negara tersebut. 

Upaya Indonesia untuk mengembangkan kesiapan dalam merawat benda-benda bersejarah ibarat pendakian sebuah gunung. Pada awalnya, diperlukan upaya yang keras dan melelahkan, akan tetapi, pemandangan yang diperoleh setelah berhasil mencapai puncak sungguh sepadan. Begitu pula dengan Indonesia, pada awalnya dibutuhkan komitmen dan kerja keras untuk mengubah sistem pendidikan dan memperbaiki sistem permuseuman namun, hasil akhir yang dicapai melalui upaya ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun