Mohon tunggu...
Mory Yana Gultom
Mory Yana Gultom Mohon Tunggu... Administrasi - Not an expert

servant

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Imbo

8 September 2014   05:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:20 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Silaunya mentari pagi memaksaku beranjak meninggalkan tilam kusutku. Istriku sedang mengemas gorengan yang akan dibawanya ke pasar di depan rumah. Di meja ada kopi yang sudah mulai dingin dan beberapa potong goreng pisang yang tidak utuh. Cukupalah kudapan buat kami di pagi ini karena tak mungkin dijual serta. Tergesa, kuseruput kopi buatan istriku. Aku harus cepat-cepat, takut Ultop berubah pikiran. Semalam, kami telah sepakat. Mendatangi rumah ibumu di ujung desa. Kabarnya, kau akan kesana menghadiri selamatan adik bungsumu yang baru saja menang di pemilihan legislatif.

Kita perlu bicara. Hutan yang dulu kita banggakan itu, yang kita sebut aset itu, yang menjadi salah satu sumber air Danau Toba itu, yang menaungi satwa langka itu, sudah lama hendak dibalak. Bahkan sebagian sudah dibabat. Beberapa kali kami coba mencegah agar tidak diteruskan. Sekali dua kali masih berhasil, atau hanya ditunda?

Bulan lalu kami bersama anak-anak muda mendatangi kantormu. Katanya kau sedang di luar kota. Lewat sekretarismu, kau berjanji tidak akan mengizinkan perusahaan itu menjamah hutan kita. Namun tiba-tiba kemarin aku mendapati sebuah pamplet besi berdiri kokoh di tepi hutan itu: “Hutan ini Telah Diambil Alih.” Disitu tertera nama perusahaan yang mengelolanya. Juga ukiran huruf-huruf pertanda izin pemerintah daerah. Ada satu gubuk kecil berdiri di belakang pamplet itu. Berisi alat-alat berat. Mesin, alat pengukur, tali, rantai dan entah apa lagi yang semakin meyakinkanku bahwa ini bukan gertakan.

Benarkah kau sudah memberi mereka izin? Mengapa? Padahal kau tahu, bertahun-tahun aku mempertaruhkan hidup untuk hutan itu. Kujaga dengan sepenuh hati agar orang-orang tak sembarang saja berburu disana. Kuceramahi mereka yang mencoba mengacungkan senapan untuk adu kebolehan menembaki beberapa ekor burung. Saban bulan kurogoh kantong celanaku demi membeli beberapa pokok bibit pohon untuk kutanami di hutan itu. Sebab sudah banyak yang menua, yang suatu saat aku tahu akan mati. Tak apalah bila tak minum tuak bersama teman-teman di lapo.

Ah, pasti kaupun tahu, seminggu yang lalu tepat di sebelah utara hutan itu terjadi longsor hebat. Perkampungan yang mengarah ke danau itulah yang jadi korban. Rumah mereka tak tertolong. Aku tidak mau kejadian serupa terulang lagi. Aku tidak mungkin sanggup menyaksikan tanah itu lepas dari cengkeraman akar-akar pohon. Aku takut generasi kita tak lagi bisa menikmati tuahnya kelak.

Kami sudah coba menghubungimu lewat telepon pribadi. Tidak bisa. Telepon itu mati, sama seperti dua bulan lalu sebelum anak-anak muda itu menyeruduk kantormu. Terakhir kali kita bicara saat kami menyelamatimu atas kemenangan keduamu di pemilihan Bupati satu setengah tahun silam. Aku tidak mau menebak-nebak apa yang terjadi. Aku tidak mau berprasangka bahwa kau sengaja mematikan teleponmu untuk kami karena terlalu sering bertanya hal yang sama. Bah, tentu saja kami akan selalu bertanya, sebab janjimu belum ada tanda-tanda akan berwujud bukti.

***

Aku pamit pada istriku tanpa memberitahu hendak kemana. Dia akan marah. “Mau makan apa dari hutan itu? Itu saja yang kau urusi!”begitu dia menggerutu dua bulan lalu, ketika untuk yang ketiga kalinya kami berusaha menghalangi si pembabat itu. Waktu itu hampir tiap malam aku pulang larut.

Sekitar sekian meter dari rumahku, kudapati Ultop sudah menunggu. Aku naik ke boncengan motor bututnya. Kami menuju rumah ibumu, kira-kira empat kilo meter dari perkampungan kami. Sepeda motor Ultop merayap perlahan di tengah kerumunan orang yang lalu lalang pulang dari dan hendak ke pasar.

Jalanan ini berdebu. Kering. Tak lagi sejuk seperti dulu. Tak tercium lagi aroma bulir padi. Tak tampak lagi keciprak air ulah ikan mujair di petak-petak sawah yang mengapit jalan. Semua sudah disulap menjadi bangunan-bangunan yang mereka sebut ruko. Sehari-hari yang terdengar adalah deru mesin pemotong besi, mesin pengecor semen, truk-truk besar pengangut pasir dan bata. Kecuali hari ini, sepertinya aktifitas dihentikan. Barangkali para pekerja itu turut pula di pesta yang sedang kau gelar. Atau sengaja diliburkan agar tak menurunkan pamor keluargamu terhadap para kolega. Entahlah.

Di kejauhan tampak rumah ibumu. Sangat mencolok di antar rumah lainnya. Satu-satunya yang berlantai tiga di kampung itu. Dinding beton dengan lapisan keramik warna jingga yang harganya tak usah kutebak. Pagar besi hitam dengan ujung tajam berdiri kokoh mengitarinya. Pohon cemara hijau bulat ada di setiap sudut. Mengapit bermacam bunga yang sepertinya ditata sesuai warna yang dimekarkannya. Mewah.

Kami hampir tiba. Aku, mungkin juga Ultop, merasa asing. Canggung. Ini seperti bukan rumah yang dulu sering kami singgahi. Rumah ini dulunya hanya setengah beton. Setengahnya lagi papan. Atapnya selalu mengeluarkan tetesan-tetesan air setiap kali hujan. Kamilah yang sering dipanggil ibumu memperbaiki atap itu tatkala angin ribut melepasinya dari penyangga. Tak tampak lagi pondok beratap ijuk di samping rumah tempat kita menghabiskan sore bila kau pulang dari kota dua bulan sekali. Biasanya secangkir kopi tak cukup menyelingi obrolan-obrolan kecil seiring anak catur yang kita jalankan bergantian di papan hitam putih yang kian memudar itu.

Kau pasti masih ingat, di pondok itulah, sepanjang sore kita merajut mimpi untuk kampung ini. Negeri bertuah ini. tak jarang kau rasuki kami dengan pemikiran bijakmu: membangun bonapasogit1. Menjaganya untuk anak cucu kita. Memperjuangkannya sebagai harta kekayaan yang siap kita promosikan kepada semua orang. Sekali lagi, semua orang. Waktu itu kau selalu beringas memberikan kritik terhadap para penguasa kita. Tentang pantai yang tidak diberdayakan. Tentang jalan-jalan yang tak kunjung baik sehingga wisatawan enggan berkunjung. Tentang Pusuk Buhit, bukit keramat yang tak dilestarikan. Tentang air Tujuh Warna yang kurang dipromosikan. Tentang pendidikan anak yang tak dikedepankan. Tentang angkutan yang jumlahnya sangat sedikit. Tentang kopi yang tak dibudidayakan dengan masksimal. Tentang imbo2 di Hutan Tele yang tak dikenalkan kepada orang-orang. Tentang pora-pora, ikan yang tak diolah dengan baik sehingga harga jualnya begitu-begitu saja. Tentang orang-orang desa yang kesulitan mendapat air padahal dikelilingi danau terluas se-Asia Tenggara. Tentang sekolah-sekolah yang kekurangn guru berkualitas, juga gedungnya yang hampir ambruk. Tentang nasib petani yang tak pernah di perjuangkan. Tentang tengkulak dari luar daerah yang justru menguasai hasil panen dengan harga yang tak manusiawi.

Aku tersihir dengan semua yang kau ucapkan. Tak sia-sia sekolah yang kau tempuh hingga bergelar master itu. Sejak itulah, nuraniku terbelalak. Sadar bahwa terlalu lama kita menidurkan bidadari cantik. Kitapun sepakat membangunkannya bagi dunia.

Hingga suatu hari. Tak biasanya kau pulang begitu cepat. Baru dua minggu sebelumnya kau datang. Bukan hari libur. Seharusnya kau berada di kota mengajar mahasiswamu.

“Aku ada niat jadi Bupati. Aku tidak tega melihat kampung halaman kita ini ditelantarkan oleh penguasa tak punya visi. Bagaimana menurut kalian?” Katamu tiba-tiba sore itu dengan nada serius seperti biasa. Tak lupa kau janjikan kami jabatan bila kau menang.

“Wah, bagus itu Dar, kami pasti dukung. Akan kuperjuangkan di bagian Selatan, namboruku ada disana. Lumayan dikenal orang, sebab dia seorang guru, penatua gereja pula. Mungkin Tagor bisa bantu di Tenggara,” timpal Ultop bersemangat.

Maka selama satu tahun itu, kami bukan lagi diri kami. Tenaga dan pikiran sepenuhnya demi memenangkanmu. Bak penjual obat keliling, kami mengitari pulau ini dari desa ke desa. Dari rumah raja adat yang satu ke rumah lainnya. Mengering kerongkongan kami meyakinkan mereka untuk memberimu kesempatan. Kami bangun lampu-lampu jalan di perkampungan atas perintahmu. Kami telantarkan ladang kami. Kami abaikan anak istri. Kami dukung kau dengan membabi buta.

Tahun pertama menjadi Bupati, sesekali masih kau sempatkan bersenda gurau dengan kami. Berdiskusi tentang langkah yang bisa kau ambil sebagai penguasa tertinggi di daerah ini. Kami sudah lupa dengan jabatan yang kau janjikan itu.

“Ah, kalian rupanya tidak bisa turut pula ke kantorku. Harus ada ijazah SMA paling rendah,” katamu. Aku tidak marah. Aku tidak menyesali ayahku yang dulu hanya mampu menyekolahkan kami hingga tamat SD.

“Tak mengapa. Lagi pula, kami memang tidak cocoklah kerja kantoran. Biarlah kami jadi penjaga hutan dengan sukarela. Tampaknya makin sedikit saja imbo disana. Jangan sampai punahlah, bah!” jawab Ultop yang kuanggukkan tanda setuju. Bagiku, kepuasan itu sederhana. Puluhan tahun lagi, cucuku masih bisa mengenal imbo dan padidit serta air sungai perawan di tengah hutan di tanah kelahiran buyutnya. Itu saja.

Tahun kedua, kau sudah tak pernah lagi bicara dengan kami. Pun kami tak lagi pernah singgah ke rumah ibumu. Yang kami lihat, rumah itu sudah diperbaiki. Direnovasi kata anakku. Kami juga tak lagi mendengar kabarmu. Aku tak menyalahkanmu. Lagipula kubaca di koran pembungkus goreng istriku, sekali waktu kau berangkat ke Bali mempromosikan kampung kita, Samosir. Kau mau mengusulkannya jadi Geopark. Aku tidak tahu itu apa. Pasti baiklah. Aku tak meragukanmu. Bukankah kami telah memberangkatkanmu dengan beban yang sama? Kau tau itu.

Tak ada lagi yang kami tahu selain itu. Aku sudah kembali pada hidupku semula. Ke ladang, ke hutan, dan sesekali ke lapo. Buah kerjamu juga tak terlihat oleh kami. Kecuali Pesta Danau Toba yang kau ganti namanya jadi Festival Danau Toba. Kata anakku sih namanya saja yang berbeda. Isinya tetap sama.

“Berikan saya kesempatan untuk menuntaskan program kerja saya, akan ku wujudkan mimpi kita,” katamu satu setengah tahun lalu, waktu kau hendak maju lagi untuk jabatan yang sama.

Kami luluh. Masih percaya, bahwa mimpi kita tentang anak cucu kita masih sama. Tentang imbo yang kita ingin lestarikan. Memang kami tak lagi kau minta keliling desa seperti sebelumnya. Kabarnya, kau sudah pakai cara yang lebih mudah. Memberikan dua puluh ribuan ke masing-masing orang agar memilihmu. Orang-orang menyanjungmu karena itu. Bah!

Hampir tujuh tahun kau jadi Bupati. Hingga kini jalanan itu masih sama. Berlubang, tergenang air setiap kali hujan. Gedung-gedung sekolah itu juga masih sama. Danau Toba makin keruh, airnya surut, eceng gondok di permukaannya kian luas saja. Pora-pora makin sedikit, keramba orang Swiss makin banyak. Hotel milik pengusaha asing makin bertambah di Tuktuk sana. Wisatawan kian jarang. Si Bottar Mata3 jadi barang langka. Tanah tak lagi subur. Kering. Tak ada bawang, kacang, sawi, jagung. Padi gampang rusak. Ah, sudahlah.

***

Alunan musik turut melengkapi mewahnya pesta di bawah teratak warna biru muda di depan rumah ibumu. Tampak berjajar beberapa mobil. Salah satu pastilah milikmu.

Sesaat Ultop memarkirkan sepeda motornya di bawah pohon jambu di seberang jalan depan rumah ibumu. Enggan kami masuk dengan pakaian seadanya. Apalagi tadi belum sempat mandi. Rumah itu sudah cukup ramai. Kulongokkan kepalaku lewat celah pagar rumah itu. Kulihat kau duduk tepat di samping adik bungsumu. Kalian begitu serasi dalam balutan kemewahan jas hitam dipadu dasi bergaris biru. Sesekali kau usap dahimu yang tak berkeringat dengan saputangan yang kau keluarkan dari saku celanamu, yang mungkin harganya sama dengan jam tangan bekas yang hanya kupakai sekali seminggu ke gereja.

Sesaat kau memandang keluar, menatap kami. Jantungku berdegup. Aku yakin kau melihatku. Maka kulambaikan tanganku, memberi tanda kehadiran kami. Berharap kau beri aku isyarat untuk masuk atau menunggu. Tapi kau berpaling beberapa detik kemudian. Seolah tak pernah melihatku.

Dua jam kami menunggu. Duduk di bangku penjual lepat di bawah pohon jambu tempat Ultop memarkir motornya. Kau sudah tak tampak. Tertelan di keramaian undangan berbaju mewah. Tetiba kau naik ke podium. Memberikan sedikit kata sambutan dengan kepongahan yang berlebihan. Dagumu kau angkat. Lehermu kian panjang saja. Bibirmu mengeluarkan seringai garang, bukan senyum. Aku terpelongo. Kau sudah jadi orang asing.

Kau kemudian turun dari podium itu. Kuikuti dengan mataku. Naik ke mobil beserta beberapa orang berseragam polisi yang membuntutimu dengan sepeda motor ukuran jumbo berpelat merah. Kutarik tangan Ultop agar berdiri. Sejenak mobil hitammu yang mengilap itu berhenti di depan kami. Kau turunkan kaca mobil. Kini muka kita berhadapan. Dahimu mengernyit.

“Bah, Ultop? Togar? Oh, kalian pasti mau makan. Masuklah. Maaf, saya tak bisa menemani. Banyak tugas, Lae.” Katamu mendahului kami bicara dengan nada sopan yang dipaksakan. Kau kemudian menjulurkan tanganmu.

“Ini Lae, untuk minum tuak nanti di lapo,” ujarmu sembari menyalamku.

Kami tak sempat menjawab. Masih mematung. Kaca tertutup. Mobil melaju. Kulihat wajah Ultop. Merah, seperti menahan marah. Kubuka tanganku. Tampak dua lembar uang kertas yang kau selipkan. Ada dua puluh ribuan. Satu lagi, lima ratus rupiah. Dengan gambar imbo yang memudar.

***

Suara mesin pemotong kayu menderu. Sesekali digantikan dengan derak pohon tumbang. Truk besar lalu lalang mengangkuti balok-balok kayu. Memekakkan telinga. Meninggalkan pilu tak tertahan. Tak ada lagi kicau burung bersahut-sahutan. Tak ada lagi bunyi air jatuh. Tak ada lagi suara imbo.Ular-ular kini merayap di pasar. Membuat orang panik. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Mereka telah diusik. Mereka diusir paksa.

Belakangan kutahu, kudengar dari orang-orang di lapo, perusahaan pembalak itu milik salah satu DPR yang memegang kartu merahmu. Aku tak mengerti. Namun nuraniku bilang, kau sudah lama hilang.

Siang ini kulihat lagi kau di tipi. Tertawa seperti tak berdosa. “Lima tahun lagi, Samosir siap jadi Goepark,” katamu. Mulutmu tampak berbusa, lebar dan agak maju. Hidungmu rata, dekat ke mulut. Alis matamu seperti terlalu tebal, dengan mata melotot tanda rakus. Perutmu kian buncit saja. Tiba-tiba muncul bulu-bulu tebal di tubuhmu. Awalnya dari kaki, tangan, perut, kepala hingga wajah. Bahasamu jadi tak karuan. Kuperhatikan pinggulmu. Ada yang memanjang seperti ekor. Kau persis imbo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun