[caption id="attachment_378827" align="aligncenter" width="300" caption="buku"][/caption]
Sebagian besar (65%) masyarakat Indonesia tinggal di desa, dengan jumlah penduduk miskin yang sangat banyak bahkan menjadi penyumbang terbesar di skala nasional. Ini menjadi sebuah ironi di tengah kekayaan alam yang melimpah ruah: tanah yang subur yang bisa bisa ditanami tumbuhan apa saja, perairan luas dengan berbagai jenis ikan, bumi dengan keanekaragaman hasil tambangnya, dan masih banyak lagi yang lebih dari cukup menghidupi penduduknya.
Sayangnya semua tenggelam begitu saja, tak mampu digali dan dioptimalkan. Permasalahan klasik terus diwarisi. Infrastruktur yang tidak mendukung pada peningkatan produktivitas dan akses antar desa, SDM yang tidak berdaya saing, sistem ekonomi yang tidak berbasis kerakyatan, serta birokrasi yang tidak bekerja secara profesional, tulus dan ikhlas.
Padahal para elite lokal dan pemerintah daerah selama ini telah bekerja keras. Apa yang salah dalam tindakan kita selama ini?
Konsep. Ya, selama ini pemerintah silih berganti tanpa kebaruan konsep, tanpa strategi yang tepat dan membumi. Hasilnya, paradigma atau pendekatan pembangunan coba diterapkan tak juga membuahkan hasil yang signifikan. Metode pengentasan kemiskinan tidak tepat sasaran. Seperti menyiram gurun pasir. Tidak berdampak.
GERDEMA: Revolusi Dari Desa
Lantas dengan model apakah kita membuat bangsa ini berubah, maju dan sejahtera? Pertanyaan inilah yang mengantarkan penulis buku ke dalam satu perenungan yang panjang dan mendalam. Dan buah perenungan itu akhirnya melahirkan ide GERDEMA (Gerakan Desa Membangun): Sebuah konsep yang meletakkan masyarakat desa sebagai subjek sehingga perlu memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat itu sendiri. Sebuah strategi bottom up yang meletakkan desa sebagai fokus pandang pemerintah.
GERDEMA merupakan implementasi nyata terhadap teori “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” yang sudah sangat akrab di telinga kita. Sebuah konsep yang berpijak pada visi, dijabarkan dalam misi, dirumuskan melalui arah pembangunan yang jelas, dioperasionalisasikan ke dalam berbagai program dan kegiatan, dan dilaksanakan melalui partisipasi yang efektif, efisien, dan dinamis.
Untuk menerapkannya, dibutuhkan pengenalan mendasar terhadap daerah dan penduduknya. Dan itulah yang dilakukan oleh penulis buku ini, Dr. Yansen TP., M.Si yang merupakan Bupati kedua Kabupaten Malinau untuk masa jabatan 2011-2016. Ia mengenal betul daerah yang dipimpinnya. Mulai dari potensinya (SDM dan SDA) hingga kekurangan kelemahannya. Hal ini terlihat dari penjabaran visi yang tertuang dalam 10 butir misi yang sangat rasional, tidak mengambang atau muluk-muluk. Ia mampu melihat permasalahan dengan rinci yang selama ini menjadi momok di Malinau: masalah isolasi wilayah perbatasan, penyelenggaraan pendidikan, penyediaan kapasitas listrik, pengaturan tata ruang, pembangunan pertanian, perikanan dan industri, pembentukan mental pro lingkungan, dan sebagainya (halaman 21).
Pemikiran semacam inilah yang selama ini abai dari pemerintah daerah. Pengenalan yang amat dangkal terhadap daerah yang dipimpinnya, membuat pemerintah tidak dapat melihat dengan konkret apa yang dibutuhkan rakyat, atau apa yang bisa dilakukan rakyat guna menggerakkan daerah itu sendiri. Padahal hanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyatlah pembangunan dapat meningkatkan kesejahteraan.
Selama ini desa terkesan hanya berfungsi sebagai atribut, tak lebih dari aksesori dalam tata pemerintahan. Peran tertingginya hanya dalam soal administratif dan seremonial, misalnya hanya membuat surat keterangan untuk pembuatan KTP (hal 50).
Padahal kunci keberhasilan pembangunan sesungguhnya ada di desa. Disinilah letak kepekaan penulis. Ia menemukan bahwa desa memiliki potensi nilai filosofis dan kearifan yang sangat unik dan beragam, sehingga dapat menjadi kekuatan pembnagunan. Sebagaimana pokok persoalan terletak di desa, maka solusi juga pastilah berada disana, sehingga yang diperlukan adalah sebuah revolusi dari desa itu sendiri. Maka menurutnya bobot dan kekuatan serta daya karsa pemerintah harus diperkuat sampai pada tingkat pemerintahan desa.