Berakhirnya Hukum Adat atau Pancung di Huta Siallagan.
Berakhirnya penerapan hukum adat ini disebabkan oleh berlakunya hukum UUDS 1950 dan datantangnya  seorang misionaris asal Jerman, Dr. Ingwer Ludwig Nommensen datang dengan misi untuk menyebarkan ajaran agama Kristen. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini pun mulai punah dan dihapuskan. Raja yang pada awalnya beragama Parmalim (Agama asli Batak) beralih memeluk agama Kristen. Hukum pancung yang dulunya sebagai jalan pengadilan bagi pelaku tindak kejahatan dihapus dan diubah menjadi hukum adat atau juga hukum negara (hukum perdata dan pidana). Dan sampai saat ini beberapa peninggalan sebagai bukti sejarah dan juga warisan budaya di Tanah Batak itu masih bisa kita temui disana.
Kesimpulan
      Huta dalam bahasa Batak artinya kampung sedangkan Siallagan diambil dari nama Raja Siallagan.  Kampung ini dibangun oleh keluarga Batak bermarga Siallagan, lalu dipimpin oleh Raja Siallagan. Perkampungan ini juga salah satu tempat yang terkenal dengan tradisi kanibalismenya alias pemakan daging manusia. Ada 3 jenis hukuman yang ada dalam persidangan di Huta Siallagan ini yaitu hukum denda, hukum pasung dan hukum pancung. Berakhirnya penerapan hukum adat ini disebabkan oleh berlakunya hukum UUDS 1950 dan datantangnya  seorang misionaris asal Jerman, Dr. Ingwer Ludwig Nommensen datang dengan misi untuk menyebarkan ajaran agama Kristen.
Â
Â
Â
Sumber:
Gurky B.S.U.S. (2020). Analisis struktur dan kearifan lokal legenda Batu Parsidangan Huta Siallagan Pindaraya Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir. Skripsi Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Kennedy P.S.J. (2022). Peningkatan pemahaman story driven marketing pada legenda batu persidangan huta siallagan Samosir, Sumatera utata. Jakarta. Jurnal pengabdian masyarakat
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta. Djambata