Mohon tunggu...
Morgan ImmanuelNainggolan
Morgan ImmanuelNainggolan Mohon Tunggu... Lainnya - -

SMK Cinta Kasih Tzu Chi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Esport Masih Belum Masuk Kurikulum?

19 Januari 2024   08:15 Diperbarui: 23 Januari 2024   18:34 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam dunia olahraga modern, esport telah memperoleh popularitas yang luar biasa. Di sisi lain, dalam dunia pendidikan, kehadiran esport masih belum terakomodasi dalam kurikulum pembelajaran. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa esport belum dianggap layak untuk dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan? Menurut fakta-fakta terkait, ada beberapa alasan yang menjelaskan ketertinggalan ini.


Pertama, pandangan masyarakat terhadap esport masih beragam. Banyak yang masih memandang esport sebagai hiburan semata, tanpa memandang aspek kompetitif dan kognitif yang terlibat di dalamnya. Namun, sebuah fakta menarik menunjukkan bahwa ajang esport telah menarik jutaan penonton aktif secara global, dengan acara besar seperti turnamen League of Legends World Championship menarik lebih dari 100 juta penonton secara daring dan luring. Hal ini membuktikan bahwa popularitas esport bukanlah sekadar isapan jempol belaka, melainkan telah menjadi bagian integral dari budaya pop.

Kedua, dalam bidang pendidikan, masih ada stigma terkait permainan video. Banyak yang masih percaya bahwa bermain game hanya akan mengurangi produktivitas dan mengganggu fokus belajar. Padahal, bermain game tidak hanya mengasah keterampilan motorik halus, tetapi juga melibatkan strategi, kerjasama tim, pengambilan keputusan cepat, serta aspek-aspek kognitif lainnya yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Di Korea Selatan, misalnya, beberapa sekolah telah memasukkan pelajaran esport ke dalam kurikulum mereka untuk membantu siswa memahami pentingnya kerja sama tim dan manajemen stres.

Alasan ketiga yang mendasari belum dimasukkannya esport dalam kurikulum adalah kurangnya pemahaman mengenai manfaat yang terkait dengannya. Fakta menarik terletak pada fakta bahwa industri esport telah menciptakan peluang karier yang menggiurkan bagi banyak individu, mulai dari pemain profesional, manajer tim, hingga pengembang game. Tidak hanya sebagai hobi, esport telah menjadi profesi yang menguntungkan bagi banyak individu di seluruh dunia.

Pendidikan yang inklusif dan progresif harus mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dalam masyarakat. Esport bukanlah sekadar permainan biasa, melainkan fenomena global yang melibatkan aspek kompetitif, kognitif, dan bahkan karier. Melalui pemahaman yang lebih baik terkait manfaat dan potensi esport, diharapkan suatu hari nanti akan terjadi integrasi yang lebih luas dan diakui secara resmi dalam kurikulum pendidikan, memungkinkan siswa untuk meraih potensi penuh mereka dalam dunia yang terus berkembang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun