Mohon tunggu...
Morentalisa Hutapea
Morentalisa Hutapea Mohon Tunggu... -

Graduated from University of Indonesia, currently working in Institute for Essential Services Reform (IESR)as regional advocacy officer. Passionate in human right issues, regionalism in Southeast Asia, energy, governance and poverty and development. | Please, feel free to visit my blog, www.morentalisa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Polisi, Freeport, dan Papua

12 Maret 2012   08:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:10 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papua menutup 2011 dengan sederetan aksi kekerasan yang terkait dengan keberadaan PT Freeport Indonesia. Aksi kekerasan yang menyebabkan luka-luka hingga kematian tersebut merupakan sebagian kecil dari deretan panjang dari aksi kekerasan yang telah mewarnai keberadaan Freeport di bumi Pertiwi.

Sejak PT Freeport Indonesia beroperasi pada 1967 atau sekitar 44 tahun yang lalu, sejumlah aksi kekerasan yang diduga melibatkan aparat kerap terjadi. Pada 2011, salah seorang karyawan PTFI, Petrus Aayamiseba tertembak hingga meninggal duni. Peluru yang mengenai dadanya diduga diduga berasal dari senjata yang dimiliki polisi. Sekalipun hal ini langsung dibantah oleh pihak kepolisisan, kasus ini telah menarik banyak perhatian massa hingga kemudian membesar seperti bola salju dan mengeluarkan sejumlah wacana lama namun masih mengejutkan: dukungan militer terhadap PTFI.

Wacana ini mulai terangkat ke publik ketika sejumlah masyarakat sipil menggunakan Undang-Undang terkait keterbukaan informasi publik untuk mempertanyakan peran kepolisian di dalam pengamanan Freeport. Proses investigasi oleh sejumlah lembaga seperti Kontras, LBH, kemudian berujung pada fakta ditemukannya sejumlah pembayaran dari PTFI kepada pihak Polisi dan TNI. Pihak kepolisian Indonesia yang diwakili oleh Kapolri, membenarkan bahwa PTFI memang memberikan sejumlah dana kepada pihak kepolisian Indonesia. Dana tersebut digunakan untuk mengamankan lokasi pertambangan Freeport di Timika.

Keterlibatan TNI dan Polri dalam pengamanan Freeport memang bukan hal baru. Abigail Abrash, dari Robert F. Kennedy Memorial Center for Human Rights, July 2002[1] mengemukakan bahwa pada era tahun 1960-1970an militer memang sudah dilibatkan dalam upaya pembangunan Freeport di Grasberg. Pada awal pembangunan lokasi pertambangan, militer diberdayakan untuk menolong perusahaan dalam hal pengangkutan peralatan ke puncak Grasberg.

Bantuan ini kemudian bergerak kearah yang lebih besar. Tak hanya berkontribusi untuk sektor logistik, peran militer juga dibutuhkan untuk meredam konflik dengan masyarakat adat di kitaran lokasi. Penelitian yang dilakukan oleh Elsam pada 2003 menyebutkan bahwa proses berdirinya Freeport telah menyebabkan hak masyarakat adat Papua terutama suku Amunge dan Kogoro tercerabut. Setelah Freeport berdiri di Timika, peran militer tidak serta merta menurun. Besarnya intensitas konflik yang terjadi di sekitar lokasi tambang membuat Freeport sangat tergantung pada militer untuk membantu pengamanan lokasi tambang mereka.

Ada sejumlah aspek yang menyebabkan tingginya potensi konflik yang terjadi di Papua, salah satunya adalah besarnya kecemburuan sosial yang terjadi di sana. Pembangunan Freeport Freeport memang berdampak drastis terhadap pembangunan infrastruktur di sekitar pertambangan, yang disebut dengan Tembaga Pura. Dalam jangka waktu beberapa tahun, Freeport telah membangun sebuah komplek mega-mining yang melingkupi kawasan perumahan, fasilitas kesehatan, hotel, rekreasi, dsb. Sayangnya manfaat tersebut tidak dirasakan oleh sebagian besar masyarakat lokal lain di sekitar pertambangan. Hanya yang memiliki akses dengan Freeport saja yang dapat menikmati fasilitas tersebut. Hal ini diperparah dengan minimnya perhatian pemerintah pusat terhadap kesejahteraan masyarakat daerah, termasuk masyarakat daerah di lingkar luar Freeport.

Akumulasi dari kecemburuan sosial tersebut kemudian berujung pada munculnya aksi kekerasan. Aksi kekerasan pertama kali dikenalmedia sejak tahun 1994, ketika terjadi insiden penembakan yang diduga dilakukan oleh masyarakat lokal. Sebagai respon, PT Freeport meminta bantuan tentara untuk mengamankan situasi dan berdasarkan keterangan Human Right Watch, telah terjadi penembakan dan penahanan sekitar 37 warga lokal Papua.

Sampai sekarang, militer dan polisi masih menyediakan jasa keamanan yang diandalkan oleh PT Freeport. PT Freeport Indonesia tercatat telah menyalurkan sejumlah dana ke rekening para petinggi militer. PTFI juga diduga memberikan layanan sponsor bagi keluarga pejabat Soeharto. PTFI tidak hanya memberikan layanan pendidikan, tetapi juga membiayai berbagai tunjangan, termasuk tunjangan liburan bagi pejabat yang terlibat upaya pengamanan Freeport. PTFI sendiri tidak menyangkal adanya pemberian dana kepada pihak Kepolisian. Pembiayaan PTFI terhadap kepolisian untuk menjalankan fungsinya mengamankan Freeport justru dijelaskan secara gamblang di situs mereka.

Di dalam situs resmi PTFI disebutkan bahwa satuan pengamanan PTFI (yang jumlahnya sekitar 750 orang) tidak membawa senjata dan menjalankan tugasnya sesuai dengan peran yang diembannya sebagai petugas pengamanan internal. Pada 2008, total biaya departemen satuan pengamanan internal PTFI mencapai 22,7 juta dolar AS (22,5 juta dolar AS bersih untuk PTFI). Jumlah personil pasukan keamanan pemerintah yang bertugas di wilayah tersebut dan menerima dukungan dari perusahaan saat ini mencapai sekitar 1.860 orang, termasuk antara lain Satuan Polisi Air dan Udara di pelabuhan, satuan angkatan udara di bandara udara, pasukan anti-huruhara untuk penanganan gangguan sipil, maupun pengamanan garis batas dan lokasi pada tambang dan pabrik pengolahan.(www.ptfi.com) Berdasarkan catatan dari New York Times, jajaran atas militerIndonesia sejak tahun 1998-2004 telah menerima sekitar 20 juta dollar, atau sekitar 17 miliar rupiah.

Sebenarnya pelibatan militer untuk pengamanan tidak hanya dilakukan oleh Freeport saja. Banyak perusahaan lain yang turut mengambil langkah serupa. Diberbagai negara dan daerah, penggunaan senjata untuk mengamankan asset strategis yangyang umum dijumpai. Besarnya potensi konflik dan ancaman, menjadikan penggunaan senjata menjadi pilihan keamanan oleh banyak perusahaanMisalnya dengan mendirikan post satpam, bekerja sama dengan masyarakat sekitar, dll. Salah satu bentuk pengamanan yang juga umum digunakan adalah dengan melibatkan negara/militer. Banyak perusahaan yang menyewa militer menjadi penjaga asset mereka, termasuk Freeport.

Hanya saja sejumlah perangkat hukum yang lemah dibarengi dengan minimnya kontrol masyarakat secara transparan dan akuntabel membuat proses tersebut menjadi rentan terhadap penyelewengan.

Selain itu, pembayaran polisi dan militer tidak menjadi jaminan solusi bagi keamanan dan pengamanan PT Freeport sendiri. Buktinya, sekalipun telah membayar mahal, aksi kekerasan tak pernah berhenti terjadi di sana.

Ketegangan yang terjadi di Freeport memang telah berakar dalam sehingga tidak bisa dicerabut tanpa menyelami sejarahnya. Sayangnya banyak pihak menolak untuk masuk lebih dalam dan mengambil langkah historis untuk melihat duduk perkaranya karena dianggap akan membuka kotak Pandora. Proses kehadiran PT Freeport sedari awal tidak melibatkan keprihatinan masyarakat lokal yang seyogianya memliki hak atas pengelolaan kekayaan sumber daya alam di sana. Pelanggaran HAM yang terjadi yang melibatkan militer juga menjadi masalah yang ingin dilupakan dalam menuntaskan persoalan Freeport.

Oleh karena itu, pendekatan yang lebih holistik terkait perbaikan di sektor tata kelola, pembagian dana bagi hasil, transparansi dan akuntabilitas serta pelibatan masyarakat lokal sefcara substantive dalam proses pengambilan kebijakan mutlak dibutuhkan. Peningkatan kapasitas secara intensif harus dilakukan terhadap masyarakat Papua, terutama yang berada di kitaran Freeport, sehingga proses pelibatan mereka tidak hanya bersifat kulitnya saja. Dalam artian, mereka memiliki dan mampu mengelola secara nyata kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi leluhur mereka.

[1]Abigail Abrash, Consultant For the Robert F. Kennedy Memorial Center forHuman Rights, July 2002

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun