Begitu banyak serangan yang terarah pada pemimpin kita saat ini. Mayoritas kritik bertolak dari pandapat atau berbuah kesimpulan bahwa presiden kita lemah.
Sebenarnya opini seperti ini bukanlah hal baru. Sejak awal pemerintahan pada periode sebelumnya, diri SBY sudah dilekatkan dengan citra seperti ini. Tak dapat dipungkiri, semakin hari gambaran inilah yang semakin mengakar di kepala rakyat. Setiap persoalan di negara ini seakan-akan menjadi tanggung jawab Presiden, harus diselesaikan oleh Presiden. Jika tidak…hehehe…”Presiden kita lemah”. Apakah “slogan” yang makin kerap disuarakan para pendemo ini bisa menjadi kontra-pencitraan bagi SBY.
Apa benar Presiden kita lemah?
Menurutku dia sangat kuat dan teguh secara mental. Argumentasinya simpel. Kalau dia lemah tidak mungkin dia bisa menjadi pemimpin hingga saat ini, periode yang kedua. Di saat negara kita semakin berkembang dalam demokrasi, kebebasan berbicara dan berpendapat semakin kuat legitimasi hukumnya. Setiap warga negara pun akhirnya dijamin kebebasannya untuk mengkritisi kinerja pemerintah dari level paling bawah hingga paling atas. Buah kebebasan itu terlihat jelas dalam berbagai kritik langsung terhadap RI-1.
Pemimpin yang lemah adalah pemimpin yang rentan, bereaksi negative dan represif terhadap kritik. Prinsipnya, oposan harus dijobloskan ke dalam penjara atau kalau mungkin dilumpuhkan sekaligus. Inilah tergambar dalam periode sebelum reformasi ’98.
Menurutku, hanya orang yang kuat dan tegar saja yang bisa bertahan terhadap beragam serangan kritik yang tajam, pedas, hingga melecehkan. Apalagi status yang lebih tinggi kerapkali mempengaruhi (mengubah) disposisi batin seseorang dalam berinteraksi dan menanggapi orang lain. Maksudnya, status tinggi acapkali membuat orang lebih rentan terhadap kritik, apalagi bila itu datang dari mereka yang berada di level bawah.
Nah, dari sisi inilah, dalam pandanganku, SBY sangat kuat. Kalau dia lemah, dia sudah lama mengundurkan diri. Seandainya dia lembek & vulnerable, dia pasti tidak mencalonkan diri pada Pemilu 2009 lalu karena tahu, di alam demokrasi kritik dan hujatan bisa lebih tajam dari sembilu.
Memang benar kritik Jeffrey Winters soal nilai rendah pada kinerja namun tinggi pada pencitraan (http://www.detiknews.com/read/2010/10/18/194736/1468229/159/jeffrey-winters-kalkulasi-sby-naif-dan-salah). Mungkin benar juga kata Winters bahwa dalam pemerintahan sekarang 'kulit’ jauh lebih bermakna dibanding ‘isi’. Tapi, kalau itu tetap dipertahankan SBY hingga periode kedua, pastilah karena opsi ini dipandangkanya bisa memperkuat posisinya. Pencitraan dan format luar masih menjadi pilihan sebagian rakyat untuk menilai pemimpinnya. So, program pencitraan, walaupun disindir dari segala penjuru, tetap masih menjadi pilihan terbaik untuk melanggengkan alias mengokohkan kekuasaan. Dari sisi ini, presiden tidaklah lemah tapi pragmatis.
Mungkin dia kurang tegas dalam kebijakan luar negeri sebagaimana terlihat dalam konflik Indonesia-Malaysia sehingga pernyataannya lebih terkesan sebagai ‘pepesan kosong’, dan tidak mampu menunjukkan martabat bangsa dan mewakili kedaulatan negara sebagaimana pernyataan Prof Hikmahanto Juwana (http://www.tribunnews.com/2010/09/05/hikmahanto-juwana-pidato-sby-hanya-pepesan-kosong).
Mungkin juga ia terlalu mengakomodir kepentingan politik sehingga sejak penggodokan calon anggota kabinet hingga penentuan orang seperti Aburizal Bakrie sebagai ketua harian setgab koalisi, dan yang terbaru hitung-hitungan soal reshuffle kabinet, katanya sarat politik dagang sapi (baca: http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsprograms/2010/10/18/7236/210/Reshuffle-dan-Politik-Dagang-Sapi ). Namun, dibalik ’kelemahan’ itu justru, menurutku, ada kalkulasi besar, yang samar namun dapat dideteksi. Hanya saja, yang patut disayangkan adalah akibat sikap terlalu penuh perhitungan dan kalkulasi yang begitu rumit, keputusan atau kebijakan yang keluar terkesan lamban, kurang responsif ataupun sarat political interest (bukan social interest).
Mungkin dia kurang cekatan dan tegas dalam pengambilan keputusan sebagaimana mantan wapresnya, Pak JK. Tapi itu bisa terjadi karena perbedaan karakter dan background keduanya. Sebagai pebisnis ulung, JK tentunya seorang risk taker yang berani mengambil keputusan cepat dan tepat walaupun berisiko. SBY dengan latar belakang TNI-nya mungkin akan berpikir dua kali agar ”tidak banyak mengorbankan anak buahnya” alias meminimalkan potensi risiko. Nah, untuk meminimalkan risiko tersebut, SBY memang terkadang harus menunggu momen yang tepat, memainkan opini publik, memerankan lakon simpatik atau strategi lainnya sebelum mengambil tindakan. Hehehe...inilah yang bagi sebagian kalangan yang melek politik dan kebijakan publik kerap kesetrum dan gregetan.
Saking kesalnya pakar politik Effendi Ghazali sampai harus membuat pidato politik tandingan menanggapi pidato yang disampaikan SBY terkait dua kasus besar tahun lalu: Kasus Century & Kasus Cicak vs Buaya (KPK & Polri). Effendi melihat komunikasi politik yang disampaikan SBY melalui pidatonya sangat lemah dan asal memuaskan tuntutan stakeholders untuk terlibat dalam kasus tersebut (baca: http://www.detiknews.com/read/2009/11/24/192531/1248110/10/-pidato-tandingan--sby-versi-effendi-ghazali).
Pemimpin yang lemah adalah pemimpin yang tidak punya pendirian, tidak berkarakter, dan karakter bukan sesuatu yang dapat diubah-ubah sesuai sikon. Justru kepribadian adaptif, imitative dan mudah bermetamorfosis, sebagaimana kebanyakan politisi, itulah yang tidak layak menjadi pemimpin. Kalau sudah sering diserang soal kelemahannya, ketidaktegasannya, kebijakan pencitraannya tapi orangnya tetap keukeuh, lekat pada pilihan sikap dan prinsipnya, justru inilah yang disebut pribadi yang kuat. Apakah kemudian pilihan sikapnya ini menyebabkan dia jatuh, atau pun berimbas negative terhadap pemerintahan dan Negara, itu soal lain.
Dalam konteks ini, bukan dalam konteks lain, itulah SBY bisa disebut pribadi yang kuat. Mungkin ia kadang bersikap sentimental (baca: http://id.news.yahoo.com/lptn/20101021/tpl-presiden-sby-menangis-di-hari-agrari-e5c0aa3.html atau http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/21/pak-presiden-sudah-cukup-menangisnya-yah-pak/ ). Aku sih setuju saja sama lagu: Rocker Juga Manusia....hehehe. Walau rocker menangis, dia tetap bisa eksis sebagai rocker karena menangis bagian dari sisi manusiawi bukan menjadi ukuran kelemahan karakter seseorang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H