Mimpi apa aku semalam, kok, tiba-tiba dijadikan selebriti sehari. Aku sebenarnya tidak termasuk tokoh sentral pada kerumunan itu. Sejujurnya, aku hanya ikut-ikutan, lebih tepatnya sengaja diikutsertakan. Dalam bahasa dramatis bin hiperbola kalangan media, kehadiranku sebenarnya direkayasa orang-orang tertentu dengan motif yang tidak ku ketahui.
Tapi, kamu pasti melihat kalau justru aku yang lebih banyak mendapat sorotan. Entah karena bobotku yang jauh lebih berat dari yang lain ataukah karena bentukku yang berbeda, mungkin juga karena aku tampil natural n transparan tanpa ada yang ditutup-tutupi, ratusan jepretan foto dan sorotan kamera pada tanggal 28 Januari 2010. Aneh. Setahuku di dunia yang beradab ini riasan adalah unsur penting, bukan pelengkap lho, untuk menjadi fokus perhatian.
Hanya saja, sekarang aku ingat, Man. Ada yang aneh. Semua mereka lebih memilih angle bagian samping dan belakang alias bokongku. Dada dan perutku sih nggak masalah. Lha, ini bokongku yang dieksplorasi kamera dan dipublikasikan habis-habisan. Ihh...najis, apa maksudnya? Sayang, saya tidak bisa menuntut kalian atas tindak abusing, pelanggaran etika, apalagi untuk memanfaatkan UU APP.
Btw, menurut analisaku, hehehe, mungkin bukan badan apalagi bokongku per se yang menyebabkan perhatian begitu banyak orang tersita. Seingatku, saat itu ada yang ditempelkan di kedua sisi bokong yang berotot ini dan ada pula tulisan di badanku. Soal tulisan saya nggak mau ambil pusing. Itu kan tulisan namaku. Kalian sebagai ens symbolicum silahkan menafsirkan. Kalian disebut makhluk simbolik kan karena hobinya bermain simbol dan menafsir. Entah itu sebagai game of symbol ataukah sekedar pemaknaannya, nggak ngurus! Entah yang mau ditafsirkan adalah eksistensiku sebagai tanda ataukah atribut yang dilekatkan pada ku sebagai simbol, aku nggak peduli. Apalagi urusan perbedaan tanda dan simbol, tanda yang memiliki arti yang jelas (mis. Rambu-rambu lalin) dan simbol yang menyembunyikan makna, sifat subyektif atau obyektif pemaknaan atas simbol tertentu...hehehe...itu sih tetek bengek yang bikin puyeng kepalaku.
Yang bikin aku tersiksa adalah gambar dibokongku. Pasti kalian lihat ekor ku yang tak berani ku kibas-kibaskan. Kalau itu maknanya jelas = tanda bahwa aku lagi cemas plus takut. Itu pasti. Dikerubungi begitu banyak makhluk asing, diseret ke sana-kemari, tak ada rumput, air, dan lumpur, wah..wah..wah..pengalaman yang mengerikan. Lagi pula, gambar itu menutupi diriku. Aku nggak suka menutup-nutupi diri dengan alasan atau motif apa pun. Itu namanya pelecehan terhadap hak kebinatanganku. Selain itu, bokongku adalah tempat sobat-sobitku lalat n beberapa jenis serangga lain mencari makan. Mereka lah yang membantuku membersihkan sisa-sisa kotoran yang melekat di area tersebut. Makanya wilayah tersebut terlihat beda warnanya, terkesan lebih bersih cemerlang n kinclong kan...hahaha. Menutupi bokongku menyebabkan terganggunya simbiosis mutualisma yang terjalin antara saya dengan serangga-serangga itu. Mereka pasti menderita karena kehilangan sumber makanan.
Tapi, soal itu pasti tidak masuk dalam kerangka pemikiran kalian. Kalian kan punya standar nilai dan alur berpikir logis yang menjadikan kalian Yang Ada, Yang Beradab (ens morale, homo ethikos), beda dengan kami dari golongan binatang. Karena itu pula kami tidak memiliki hak dan martabat. Saya tahunya sekedar mengikuti ke mana empuku menggiring. Ikut menandakan kejinakan saya, kalau mau lebai silahkan artikan mengikuti sebagai tanda kesetiaan saya. Itu yang membedakan saya dengan saudara-saudara tuaku, banteng dan bison yang susah dipegang dan hobinya sruduk sana sruduk sini alias liar. Sayangnya kejinakan saya kurang dihargai kalian dan diumpamakan secara peyoratif: bak kerbau dicocok hidungnya! Apa itu bisa disamakan dengan bodoh dan kurang berwawasan? Entahlah, kalian yang membuat perbandingan dan kalian juga yang harus memaknainya. Kalau aku sih beranggapan kelompok kami (kebo) tidak bodoh-bodoh amat. Minimal tidak seperti katak di bawah tempurung lah.
Oh iya, dengar-dengar, ada yang tersinggung dengan kehadiranku di kerumunan itu. Dia nggak suka disamakan dengan golongan kami, entah karena namaku mirip namanya atau karena fotonya ditempelkan di bokongku.
Pertama, perlu saya klarifikasi ya (laik selebriti yang jadi korban gosip infotainment), merujuk pada istilah umum di atas (kerbau dicocok hidung), sudah jelas bahwa saya tidak bersalah. Faktanya, ada tali yang melilitiku. Dan, saya benar-benar diseret ke sana ke mari, tanpa tahu untuk apa dan untuk kepentingan siapa. Kalian menyaksikannya bukan? So, please, jangan libatkan aku dalam masalah yang jauh dari domain saya. Kedua, nah, aku akan coba deh utk masuk dalam cara berpikir dan bertindak kalian yang katanya tidak hanya berlandaskan abstraksi logis tetapi selalu merujuk pada standar nilai kemanusiaan. Kalau namamu, Man, dimiripmiripkan dengan namaku, senang nggak? Kalau aku, Si BuYa, dipersonifikasikan, meminjam bahasanya Mas Tukul, Sorry ya, nggak level!. Yang berikut, kalau fotomu, whoever you are, dipasang di bokongku, kamu bangga atau merasa dihina sih? Silahkan memaknainya sendiri-sendiri dan nggak perlu lagi berdebat soal simbol, tanda, representasi, etc.
Sebenarnya aku tak silau man dengan menjadi primadona. Jujur saja, aku lebih suka berendam sejam di kubangan lumpur daripada jadi pusat perhatian. Persis di situlah bedanya aku dengan kalian, si kaki dua, maaf, begitu aku biasa memanggil kalian yang sejenis dengan empuku...hehehe.... Lebih lagi, aku nggak pernah bangga bila memancing kontroversi. Sori ya, aku nggak benar-benar nggak butuh butuh kontroversi untuk menjadi terkenal...hehehe. Biarkan aku tetap berlumur lumpur di tengah sawah karena setelah itu saya akan menjadi raja sementara: diberi makan dan dimandikan. Biarkan aku tetap bisa mengibas-ngibaskan ekor sambil menikmati hidangan rumput karena dengan itu saya bisa bermain-main dengan lalat sekaligus menjaga kebersihan area sensitifku...hehehe.
Akhir kata, ini bukan pembelaan diri, Man! Kalau kalian, si kaki dua, terlalu sering mengucapkan kalimat self-defense bertuah, ”Aku or Si Anu juga Manusia”, aku sih nggak butuh kata-kata apologi seperti itu. Karena di atas semuanya, jujur aku katakan: “Aku memang bukan manusia”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H