Di era digital ini, siapa yang tidak kenal media sosial? Hampir semua orang, terutama anak muda, menghabiskan waktu berjam-jam untuk scroll konten di berbagai platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok. Namun, pernahkah kita berpikir apakah informasi yang kita lihat di sana benar adanya? Nah, inilah pentingnya literasi digital—kemampuan memahami dan menganalisis informasi di dunia maya. Literasi digital bukan hanya soal “melek internet”, tapi tentang bagaimana kita bisa menyaring informasi yang masuk agar tidak terjebak hoaks atau misinformasi.
Literasi digital menjadi sangat penting karena media sosial bukanlah sumber informasi yang selalu akurat. Berdasarkan penelitian European Journal of Communication, media sosial cenderung memunculkan berita yang sensasional demi menarik perhatian pengguna (Tandoc, Lim, & Ling, 2018). Akibatnya, banyak orang lebih percaya pada informasi yang dramatis atau kontroversial, padahal belum tentu valid. Di sinilah literasi digital berperan: kita harus mampu memilah mana informasi yang bisa dipercaya dan mana yang tidak.
Salah satu keterampilan yang harus kita kuasai dalam literasi digital adalah berpikir kritis. Saat membaca informasi di media sosial, penting untuk mempertanyakan sumbernya. Siapa yang menulisnya? Apakah ia kredibel? Apakah ada bukti yang mendukung? Menurut Journal of Media Literacy Education, berpikir kritis adalah salah satu kunci dalam mengembangkan literasi digital, terutama dalam mengenali informasi palsu (Wineburg & McGrew, 2017). Jika kita terbiasa berpikir kritis, kita tidak akan mudah termakan berita bohong atau manipulatif.
Selain itu, literasi digital juga membantu kita memahami bagaimana algoritma bekerja. Di media sosial, konten yang muncul di feed kita sering kali sudah disesuaikan dengan apa yang sering kita lihat atau sukai. Algoritma ini, yang bertujuan meningkatkan keterlibatan pengguna, sebenarnya bisa membatasi pandangan kita dan membuat kita terjebak dalam “echo chamber” atau ruang gema—sebuah situasi di mana kita hanya terpapar pada informasi atau opini yang sejalan dengan pandangan kita sendiri (Cinelli, Morales, Galeazzi, Quattrociocchi, & Starnini, 2020). Akibatnya, kita bisa saja merasa bahwa pandangan kita selalu benar karena tidak ada perbedaan opini yang masuk. Dengan literasi digital, kita bisa menyadari hal ini dan berusaha mencari informasi dari berbagai sumber untuk mendapatkan pandangan yang lebih objektif.
Bagaimana cara kita meningkatkan literasi digital? Mulailah dengan melakukan verifikasi informasi dari beberapa sumber tepercaya sebelum menyebarkannya. Kemudian, biasakan membaca sumber asli atau referensi yang mendasari berita. Terakhir, teruslah belajar tentang bagaimana media sosial bekerja, termasuk algoritma yang mengatur apa yang muncul di feed kita. Dengan langkah-langkah sederhana ini, kita bisa lebih bijak dan berhati-hati dalam menggunakan media sosial.
Jadi, literasi digital adalah kemampuan yang sangat penting, terutama bagi kita yang aktif di media sosial. Dengan memiliki keterampilan ini, kita bisa lebih cerdas dalam menyerap informasi, terhindar dari berita palsu, dan bahkan membantu orang lain untuk lebih kritis dalam membaca berita. Mari kita tingkatkan literasi digital kita agar lebih siap menghadapi tantangan di era informasi ini.
refrensi:
1. Tandoc, E. C., Lim, Z. W., & Ling, R. (2018). Defining “Fake News”: A Typology of Scholarly Definitions. European Journal of Communication, 33*(2), 147-159.
2. Wineburg, S., & McGrew, S. (2017). Lateral Reading and the Nature of Expertise: Reading Less and Learning More When Evaluating Digital Information. *Journal of Media Literacy Education, 10*(1), 5-31.
3. Cinelli, M., Morales, G. D. F., Galeazzi, A., Quattrociocchi, W., & Starnini, M. (2020). The Echo Chamber Effect on Social Media. Proceedings of the National Academy of Sciences, 117*(9), 4511-4518.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H