Dalam suatu obrolan santai dengan seorang teman, setelah ngalor ngidul kesana kemari, kami masuk pada suatu topik menarik tentang perilaku manusia sekarang yang sudah makin aneh-aneh, yang semakin mengalami kemerosotan ditengah perkembangan teknologi yang sedemikian luar biasa dalam dua dekade terakhir ini. Lihatlah banyaknya kasus korupsi, pungli, fee, atau apapun istilahnya, yang mana kita melihat para pelakunya juga bukanlah miskin-miskin amat,dan mungkin hampir setiap minggu kita mendengar kisah senada ditelevisi nasional, seakan tak putus-putusnya bermunculan bintang-bintang baru. Ini sudah menjadi rahasia umum dari mulai urusan proyek miliaran sampai mengurus KTP dikelurahan.
Begitu juga kisah penjarahan yang mungkin kita masih ingat, yang umum terjadi selama masa reformasi tahun ’98 yang lalu, dan disertai demo yang berkelanjutan sampai sekarang ini yang seringkali disertai kekerasan dan pemaksaan kehendak, dari hampir semuagolongan mulai dari kalangan intelektual hingga kaum buruh tani, semuanya seperti sudah sangat fasih melakukannya. Namun yang sungguh mengherankan, justru saya belum pernah mendengar ada demo oleh kaum pengangguran, malah yang melakukan demo umumnya masih punya profesi walaupun nonformal.
Dalam dunia kriminal juga nampaknya tidak mau kalah, kita sering mendengar aksi dan modus kejahatan dan kualitasnya yang semakin meningkat sekarang ini, ada kasus-kasus mutilasi, kanibalisme, yang dulu sangat langka kita dengar terjadi.
Kalau kita lihat fenomena penyimpangan diatas, secara garis besar kita dapat melihat semakin menurunnya kualitas moral bangsa ini walau dari sisi intelektual mengalami peningkatan.
Apakah yang sesungguhnya terjadi dinegeri yang terkenal dari zaman dahulu kala terkenal akan rakyatnya yang ramah tamah, murah senyum, dan suka menolong? Padahal disisi keagamaan juga kita merasakan nuansa yang pekat akan kecenderungan orang ingin kembali kekebenaran, lihatlah disekitar kita semakin hari semakin meningkat wanita yang sekarang menggunakan jilbab untuk yang muslimah, dan menggunakan aksesori agama tertentu bagi yang lainnya, dsb, tetapi kejahatan dan penyimpangan dilain sisi semakin meningkat, apakah pendekatan agama bisa dikatakan gagal dalam menjadi pagar moral dan etika orang? Begitu juga hukum yang semakin ompong dan rawan dalam menegakkan supremasinya? Jangan bertanya pada saya, karena saya juga hanya dapat menjawab “entahlah”, tetapi marilah kita renungkan bersama dan berupaya mengambil pelajaran.
Seumur hidup saya belum pernah mendengar atau melihat ada seekor ayam, atau anjing, kucing dsb, yang ketika ketemu makanan lalu timbul serakah dihatinya, mengumpulkan makanan itu dan menyimpannya disarangnya buat besokdan lusa, apakah anda pernah mendengar? Mereka hanya keluar cari makan, lalu makan secukupnya dan pergi, begitu juga besoknya akan demikian terus selamanya.
Belum pernah juga saya tahu ada ayam, kambing, sapi dsb dari RT sini berkelahi dengan hewan ternak lain dari RT tetangganya dengan mengajak kawan-kawannya dan mengeroyoknya, atau yang mengerahkan kawan-kawannya untuk berjaga seandainya diserang oleh lawannya, belum juga pernah saya dengar ada seekor binatang yang menyuap binatang lainnya untuk suatu kepentingan.
Bukankah kita manusia memiliki kelebihan akal budi dibandingkan dengan binatang, tetapi justru melakukan kecenderungan yang tidak pernah diakukan oleh binatang?
Mungkin kita sebaiknya melihat dan belajar dari binatang, dan mungkin juga sebutan “manusia binatang” bukan menjadi suatu cap buruk lagi karena binatang justru lebih murni dan polos dalam segala tindakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H