Beruntung saya masih diperkalkan oleh karya seorang sastrawan terkemuka ini. Mungkin sebagian dari kita mengenal karyanya sebagai tetralogi Buru. Bumi manusia merupakan roman pertama dari tetralogi ini. Sastrawan yang dimaksud adalah seorang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di penjara kelahiran Blora, Jawa Tengah, tahun 1925.
Penjara tidak menghalangi dirinya untuk menulis. Tetralogi ini adalah salah satu buktinya, dan masih banyak karya beliau lainnya, tidak kurang dari 50 buah. Namanya Pramoedya Ananta Toer. Beruntung saya masih bisa memiliki karya beliau ini yang pada tahun 1980-an sempat dilarang penerbitannya. Karya beliau ini merupakan sumbangan Indonesia untuk dunia.
Saya diperkenalkan pak Pram (panggilan akrab Pramoedya A. Toer) oleh tokoh-tokoh yang masing-masing memberikan nilai hidup tersendiri bagi saya. Di antara tokoh tersebut adalah Minke (baca: Mingke), Sukinem (Nyai Ontosoroh), Annelies Mellema, Mevrouw (Belanda=nyonya) Magda Peters, dan Jean Marais (Perancis, baca: Zyang Mare).
Secara keseluruhan, roman Bumi Manusia ini bercerita tentang manusia dan kehidupannya, cerita kehidupan yang akan memesona siapapun yang membacanya, karena bukan sembarang cerita, tapi cerita penuh kandungan filosofi hidup.
“Cerita, …, selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat difahami daripada sang manusia… jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka daripada dewa, pendengaranmu dapat menangkap music dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.”
Awal cerita, saya diperkenalkan oleh sosok Minke (baca: Mingke), seorang Pribumi, Robert Suuhorf, peranakan Indo, Jean Marais (baca: Zyang Mare), seorang Eropa. Robert dan Jean merupakan sahabat Minke. Robert merupakan teman sekolah Minke di H.B.S. Surabaya, sementara Jean, mantan prajurit perang, merupakan tempat curhat Minke. Dari dirinya pula-lah Minke belajar banyak tentang arti kehidupan.
Cerita kemudian berlanjut dengan perkenalan Minke keluarga Mellema (Sunikem, Annelies Mellema dan Robert Mellema) lewat Robert Suurhorf. Sunikem tidak lain tidak bukan adalah ibunda Annelies Mellema, tokoh utama selain Minke. Sunikem adalah seorang Pribumi. Annelies dan Robert Mellema adalah seorang peranakan Totok (Belanda) dari ayahnya, Herman Mellema.
Dalam cerita, Sunikem menyamarkan nama aslinya dan lebih suka disebut Nyai Ontosoroh. Sebagaimana asumsi masyarakat Jawa yang diceritakan, sebutan Nyai merupakan sesuatu yang memalukan karena Nyai adalah salah satu sebutan bagi semua kalangan bangsa Jawa yang menjadi istri tidak sah atau simpaan para tuan-tuan Belanda. Nyai Ontosoroh merupakan simpanan Tuan Herman Mellema.
Dia dijual oleh kedua orangtuanya untuk mendapatkan jabatan di sebuah pabrik pada saat itu. Hal ini membuat Nyai Ontosoroh kesal dengan perbuatan kedua orangtuanya tersebut. Dia bersumpah pada dirinya sendiri kejadian tersebut tidak akan terjadi pada Annelies, putri dari perkawinan tidak sahnya.
Walaupun hanya seorang Nyai, Nyai Ontosoroh justru banyak belajar dari Tuannya, Herman Mellema. Dia belajar mengelola dan mengembangkan perusahaan, kemudian dipraktikkannya ke perusahaan milik Tuannya. Kehidupannya yang hanya menjadi seorang Nyai dari seorang Tuan Totok membentuk pribadinya yang keras dan pantang menyerah.
Statusnya sebagai simpanan Tuannya membuat dirinya harus mandiri, karena harus siap kapanpun ditinggal Tuannya. Pun, dia mempunyai prinsip pantang menyerah, karena menyerah berarti menyerahkan hidup sepenuhnya pada Tuannya, dan juga ingin kejadian yang dialaminya tidak akan pernah terjadi pada putrinya, Annelies. Nyai Ontosoroh pula yang mengajarkan Minke kegigihan dalam berjuang. Berjuang untuk mengangkat persamaan derajat Pribumi, yang saat itu baik Totok maupun Pribumi sama-sama memandang Pribumi serendah-rendahnya dan Pribumi hanya bisa tunduk pasrah kepada Indo.
Diceritakan pada awal pertemuan Minke dengan keluarga Mellema, Minke dilanda sebuah dilemma. Dia jatuh cinta pada Annelies, dara cantik yang melebihi imajinasi seseorang dalam lukisan, pada pandangan pertama.
Kenyataan bahwa Annelies yang peranakan Indo, dan ibunya yang seorang Nyai, yang dipandang rendah serendah-rendahnya oleh masyarakat pada umumnya, membuat dirinya dilemma. Saat-saat inilah Jean Marais, sahabat curhatnya, memberikan sebuah filosofi hidup kepadanya.
“Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu. Datanglah kau kepadanya barang dua-tiga kali lagi, nanti kau akan dapat lebih mengetahui benar-tidaknya pendapat umum itu.”
Berangkatlah Minke untuk kedua kalinya., Keberangkatan itu menjadi keberangkatan terakhirnya karena dia diminta untuk tinggal di rumah Nyai Ontosoroh, untuk menemani Annelies, yang sudah lama kesepian karena dia terseret akibat pendapat umum masyarakat yang merendahkan kedudukan Nyai. Dari titik inilah, saya belajar lebih banyak mengenai manusia dan kehidupannya, mengenai Minke, Nyai Ontosoroh, Annelies dan kehidupan mereka.
Kisah romantika Minke sempat membuat saya iri hati. Pemuda manapun yang melihat kecantikan Annelies, yang menurut Jean Marais, seorang mantan prajurit yang menghabiskan sisa hidupnya menjadi pelukis professional, melebihi imajinasi seseorang dalam lukisan, akan terpesona dan mengantre untuk mendapatkan cintanya.
Namun, setelah mengarungi cerita demi cerita, keirihatian saya pun sirna tatkala membaca ketegaran pasangan ini, Minke dan Annelies, dalam memperjuangkan cinta tulus mereka. Annelies, setelah semakin lama berhubungan dekat dengan Minke, semakin kuat rasa keengganan untuk berpisah. Rasa inilah yang membuat dirinya terkurung oleh jiwa manjanya sendiri dan merasa menderita bila tidak ada Minke di sisinya.
Suatu hari pernah dia menderita sakit yang cukup parah, seiring kepergian Minke untuk menemui kedua orangtuanya, yang tidak dia ketahui. Namun, kisah romantika pasangan ini tidak putus di tengah jalan, justru mereka memutuskan untuk mengikat janji suci mereka di depan penghulu. Sebuah pernikahan yang dilandaskan atas cinta tulus.
Kisah romantika mereka memuncak ketika pengadilan Belanda memutuskan untuk mengadili mereka dan Nyai Ontosoroh. Kejadian ini terjadi setelah Tuan dari Nyai Ontosoroh, Herman Mellema, meninggal di sebuah tempat plesir, diduga akibat keracunan obat. Pengadilan Amsterdam memutuskan bahwa Nyai Ontosoroh dan Annelies tidak memiliki hubungan apapun dengan Tuan Herman Mellema.
Keputusan ini didasarkan atas permintaan istri sah Herman Mellema dan anaknya. Bahkan pengadilan memutuskan perkawinan Minke dengan Annelies tidak sah, karena usia Annelies yang masih di bawah umur. Akibat dari keputusan ini, Annelies harus dibawa ke Belanda sampai bisa menentukan jalan hidupnya sendiri, dan itu berarti Annelies harus menerima kenyataan pahit harus jauh dari orang yang tulus mencintainya, Minke.
Dalam buku ini pun dikisahkan perjuangan Minke dan Nyai Ontosoroh dalam melawan ketidakadilan hukum Belanda yang dibuat oleh Belanda dan hanya untuk kepentingan Belanda. Kisah ini dimulai ketika Herman Mellema meninggal di sebuah tempat plesir milik seorang Tionghoa, Ah Tjong, yang diduga akibat keracunan.
Pengadilan saat itu memanggil pihak-pihak yang diduga terkait dengan kematian Herman Mellema, di antaranya Nyai Ontosoroh dan Minke. Perlawanan terus mereka lakukan, di antaranya melalui tulisan yang dibuat Minke untuk membenarkan berita-berita miring yang tersebar di koran-koran terkait keterlibatan dirinya dan Nyai Ontosoroh. Suatu ketika, Nyai Ontosoroh pernah berujar:
“Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah. Dilahirkan sebagai Pribumi lebih salah lagi. Kita, menghadapi keadaan yang lebih sulit, Minke, anakku!
Di tengah ujian hidup yang melanda mereka, kata-kata Dokter Martinet, dokter yang merawat Annelies saat Annelies sakit parah saat ditinggal pergi Minke, membangkitkan semangat dalam diri Minke. Dokter Martinet pernah berkata:
“Sapi-sapi perah Nyai dalam mempersiapkan diri jadi sapi perah, sapi penuh, sapi dewasa, membutuhkan waktu hanya sampai empat belas bulan. Bulan! Manusia membutuhkan belasan, malah puluhan tahun, untuk jadi dewasa, manusia dalam puncak nilai dan kemampuannya. … Mantap tidaknya kedewasaan dan nilai tergantung pada besar-kecilnya ujian, cobaan. Dan sapi hanya tiga atau empat belas bulan persiapan – tanpa cobaan, tanpa ujian …”
Perjuangan menurut Nyai Ontosoroh adalah perlawanan terhadap keadilan bangsa Eropa terhadap kaum Pribumi. Suatu saat, Nyai Ontosoroh pernah berkata:
“Ya, Nak, Nyo, memang kita harus melawan. … Begini, Nak, Nyo, kita, Pribumi seluruhnya, tak bisa menyewa advokat. Ada uang pun belum tentu bisa. Lebih banyak lagi karena tak ada keberanian. Lebih umum lagi karena tidak pernah belajar sesuatu. Sepanjang hidupnya Pribumi ini menderitakan apa yang kita deritakan sekarang ini. Taka da suara Nak, Nyo – membisu seperti batu-batu kali dan gunung, biarpun dibelah-belah jadi apa saja. Betapa akan ramainya kalau semua mereka bicara seperti kita. Sampai-sampai langit pun mungkin akan roboh kebisingan.”
Saat mereka kalah di depan pengadilan, saat Nyai Ontosoroh dinyatakan bukan istri sah Herman Mellema, dan saat diputuskan Annelies harus dibawa ke Belanda, Nyai Ontosoroh tetap berbesar hati. Hal ini tergambarkan oleh ucapannya:“Kita kalah, Ma,” bisikku.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Saya merinding membaca kalimat penutup buku ini di atas. Saya pun merinding membaca buku ini yang penuh dengan filosofi hidup, ketegaran Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies di tengah ujian hidup yang terus dating menghampiri mereka. Saya menyadari kekurangan tulisan ini, mungkin jauh dari hal yang ingin disampaikan pak Pram dalam roman pertama tetralogi Buru ini.
Saya juga tidak bermaksud menulis ini sebagai resensi, hanya saya terkagum-kagum dengan roman pak Pram ini dan ingin mengajak kaum muda seperti saya untuk membaca buku ini. Saya sungguh beruntung dapat menemukan buku ini di tengah banyaknya novel-novel lain yang awalnya lebih menarik dari buku ini. Tapi, buku ini mengalahkan semuanya.
Bumi Manusia, manusia dan segala kehidupannya, roman pertama tetralogi Buru, Pramoedya Ananta Toer
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H