Mohon tunggu...
Montel Katias
Montel Katias Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya menonton film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Inklusi Pendidikan: Mengeksplorasi Pendekatan Rekan Sebaya untuk Mengatasi Stigma Terhadap Disabilitas

29 Desember 2023   19:30 Diperbarui: 29 Desember 2023   19:55 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan inklusi untuk siapa? Mengatasi Stigma Terhadap Disabilitas Dengan Mengeksplorasi Pendekatan Rekan Sebaya

Montel Katias

2206908

BK-3A

Pendidikan inklusi menjadi sorotan utama dalam upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih merangkul keberagaman. Meskipun begitu, masih terdapat tantangan besar yang perlu dihadapi, terutama dalam mengubah stigma masyarakat terhadap individu dengan disabilitas. Fenomena di mana banyak orang menganggap bahwa disabilitas dapat menular telah menciptakan suatu tabu, menghambat terbentuknya lingkungan inklusi yang seharusnya mendukung perkembangan semua individu, tanpa memandang perbedaan. Pendidikan inklusi adalah suatu sistem pendidikan yang memberikan akses dan layanan pendidikan yang berkualitas bagi semua peserta didik, termasuk peserta didik berkebutuhan khusus (Ita, 2019). Pendidikan inklusi ini dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan menghargai perbedaan (Taufan & Mazhud, 2016). Pendidikan inklusi memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah dapat membantu mengurangi stigma terhadap disabilitas.
Stigma adalah suatu pandangan negatif yang melekat pada seseorang atau kelompok tertentu. Stigma terhadap disabilitas adalah suatu pandangan negatif yang melekat pada seseorang yang memiliki disabilitas. Stigma ini dapat menyebabkan diskriminasi dan marginalisasi terhadap penyandang disabilitas (Putra dkk., 2021). Stigma terhadap penyandang disabilitas masih cukup tinggi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang memiliki pandangan negatif terhadap penyandang disabilitas.
Karena di negara Indonesia sendiri masih mempertahankan sudut pandang tradisional, dampak diskriminasi masih sangat terasa. Contohnya di lingkungan perguruan tinggi dilansir pada pshk.or.id, diketahui bahwa angka partisipasi penyandang disabilitas menurun. Hal ini terjadi tidak hanya terkait dengan masalah finansial atau penyesuaian lingkungan, tetapi juga mencakup perlakuan diskriminatif yang berasal dari lembaga pendidikan itu sendiri. Karena hal inilah menjadi salah satu penyebab utama mengapa banyak penyandang disabilitas menghentikan pendidikan mereka. Meskipun beberapa dari mereka tetap melanjutkan sekolah, hal itu sebenarnya mencerminkan keberanian yang tinggi. Namun, sayangnya, ada pula yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena kekurangan keberanian.
Dilansir juga pada laman kirakara.com disebutkan stigma yang melekat dalam masyarakat mengenai anak-anak dengan disabilitas sering kali menggambarkan anggapan bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk hidup mandiri dan akan selalu bergantung pada bantuan orang lain. Stigma ini telah mengakar kuat, sehingga ketika ada penyandang disabilitas yang dapat melakukan banyak hal sendiri, mereka sering dianggap sebagai individu istimewa yang tidak semua orang dapat menirunya.
Pertanyaan "Pendidikan inklusi untuk siapa?" mencerminkan esensi dari prinsip inklusi dalam konteks pendidikan. Khaerunnisa (2023) Pendidikan inklusi dirancang untuk semua individu, tanpa memandang latar belakang, kemampuan, atau karakteristik khusus. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung keberagaman dan memberikan akses yang setara kepada semua peserta didik, termasuk mereka yang memiliki disabilitas atau kebutuhan pendidikan khusus (Jauhari, 2017). Pendidikan inklusi ini untuk semua orang, tanpa terkecuali. Ini mencakup semua siswa, termasuk mereka yang mungkin memiliki kebutuhan pendidikan khusus, sehingga dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan dan pertumbuhan setiap individu.
Pemahaman mengenai pendidikan inklusi secara menyeluruh dan tidak pandang bulu ini diharapkan akan menanamkan kepribadian yang lebih peka dan peduli dengan penyandang disabilitas tanpa perlu ada rasa terpaksa untuk mendampingi dan menemaninya. Pendekatan rekan sebaya pun akan terwujud dimana nantinya hal ini akan mewujudkan lingkungan yang inklusi yaitu tempat bagi setiap individu diterima tanpa memandang latar belakang, kemampuan, atau karakteristik khususnya, dapat merasa diterima, dihargai, dan didukung.
Pendekatan rekan sebaya adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi stigma terhadap disabilitas. Pendekatan ini melibatkan peran teman sebaya dari peserta didik berkebutuhan khusus untuk memberikan edukasi dan dukungan kepada teman-temannya yang lain (Saputri dkk., 2019). Dukungan dari rekan sebaya juga dapat memberikan dukungan pada pendidikan inklusif, seperti meningkatkan penerimaan terhadap keberagaman, kemampuan berkomunikasi, keterampilan sosial, dan juga membantu siswa tunarungu untuk menyesuaikan diri (Bond & Castagnera, 2006). Menurut hasil penelitian oleh Dennis dan rekan-rekan (2005), teman sebaya dapat menjadi prediktor yang kuat dalam penyesuaian sosial mahasiswa dibandingkan dengan dukungan yang diterima dari keluarga. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dari teman sebaya memiliki dampak yang signifikan pada kemampuan penyesuaian diri siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Hasan dkk. (2014) juga memiliki kesimpulan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara dukungan sosial dari teman sebaya dan tingkat penyesuaian diri siswa tunarungu di sekolah inklusif. Hubungan antara kedua variabel ini bersifat positif, yang berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan oleh teman sebaya, semakin tinggi juga tingkat penyesuaian diri siswa tunarungu di lingkungan sekolah inklusif.
Dalam mengakhiri perjalanan eksplorasi terhadap pendidikan inklusi, dapat disimpulkan bahwa upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif menghadapi tantangan besar, terutama terkait dengan perubahan stigma masyarakat terhadap individu dengan disabilitas. Meskipun pendidikan inklusi menawarkan solusi untuk merangkul keberagaman dan memberikan akses setara bagi semua peserta didik, stigma yang melekat masih menjadi hambatan utama. Pendekatan rekan sebaya membuktikan menjadi strategi yang efektif dalam mengatasi stigma terhadap disabilitas. Dukungan sosial dari teman sebaya memiliki dampak positif yang signifikan pada penyesuaian diri siswa. Pendekatan ini bukan hanya menciptakan lingkungan yang inklusif di sekolah, tetapi juga membawa perubahan sikap dan persepsi terhadap penyandang disabilitas di masyarakat. Dengan menghapuskan stigma, mengadopsi pendekatan inklusif, dan menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusi, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, menghormati keberagaman, dan memberikan setiap individu kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi secara maksimal.
 
 
REFERENSI
Bond, R., & Castagnera, E. (2006). Peer support and inclusive education: an underutilized resource. Theory intoPractice , 45 (3), 224-229.
Dennis, J. M., Phinney, J. S., & Chauteco, L. I. (2005). The role of motivation, prental support, and peer pupportinacademic successof ethnic minority firstgenerationcollege students. Journal of College Student Development (3), 223-236.
Hasan, S. A., Handayani, M. M., & Psych, M. (2014). Hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan penyesuaian diri siswa tunarungu di sekolah inklusi. Jurnal Psikologi pendidikan dan perkembangan, 3(2), 128-135.
Ita, E. (2019). Konsep Sistem Layanan Penyelenggaraan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Melalui Pendidikan Inklusif. Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti, 6(2), 186-195.
Jauhari, A. (2017). Pendidikan inklusi sebagai alternatif solusi mengatasi permasalahan sosial anak penyandang disabilitas. IJTIMAIYA: Journal of Social Science Teaching, 1(1).
Khaerunisa, H. (2023). Pembelajaran Inklusif: Membangun Kesetaraan di Dalam Kelas pada Masa Pencabutan PPKM. Karimah Tauhid, 2(5), 2234-2244.
Penyandang disabilitas Masih Dilihat Sebagai beban. pshk.or.id. (2019, March 4). https://pshk.or.id/berita/penyandang-disabilitas-masih-dilihat-sebagai-beban/
Putra, R. S., Marpaung, Y. N. M., Pradhana, Y., & Rimbananto, M. R. (2021). Pesan Kesetaraan Penyandang Disabilitas Melalui Interaksi Simbolik Media Sosial. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 10(1), 1-11.
Saputri, A. E., Raharjo, S. T., & Apsari, N. C. (2019). Dukungan Sosial Keluarga Bagi Orang Dengan Disabilitas Sensorik. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(1), 62.
Taufan, J., & Mazhud, F. (2016). Kebijakan-kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi. Jurnal penelitian pendidikan, 14(1).
Wadmira, W., & Ainun. (2022, August 1). Jenjang Karir Bagi penyandang disabilitas Dan Oypmk. Kisah Kepompong. https://www.kirakara.com/jenjang-karir-bagi-penyandang-disabilitas-dan-oypmk/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun