Ketika sebagian besar rakyat Indonesia baru bangun pagi ini, anggota DPR Komisi VI dan Menteri BUMN Rini Soemarno mungkin masih tertidur pulas setelah rapat lima jam yang baru selesai dini hari tadi. Rapat tertutup semalam itu disebut-sebut telah menyetujui pembagian alokasi anggaran Penyertaan Modal Negara untuk BUMN yakni:
PT Hutama Karya Rp 3,6 triliun
PT Aneka Tambang Rp 3,5 triliun
PT Waskita Karya Rp 3,5 triliun
PT Perkebunan Nusantara III: Rp 3,5 triliun.
Perum Bulog Rp 3 triliun
PT KAI Rp 2,750 triliun
PT Perusahaan Pengelola Aset Rp 2 triliun
PT Angkasa Pura II Rp 2 triliun
PT Pelindo IV Rp 2 triliun
Perum Perumnas Rp 2 triliun
PT Adhi Karya Rp 1,4 triliun
PT Permodalan Nasional Madani Rp 1 triliun
PT ASDP Rp 1 triliun
PT Krakatau Steel Rp 956 miliar
PT Dok Kodja Bahari Rp 900 miliar
PT Pindad Rp 700 miliar
PT Pelni Rp 500 miliar
PT Pertani Rp 470 miliar
PT Sang Hyang Seri Rp 400 miliar
PT Dirgantara Indonesia Rp 400 miliar
PT Garam Rp 300 miliar
Perum Perikanan Nusantara Rp 300 miliar
PT Pengembangan Pariwisata Rp 250 miliar
PT BPUI Rp 250 miliar
PT Perikanan Nusantara Rp 200 miliar
PT Dok Perkapalan Surabaya Rp 200 miliar
PT Industri Kapal Indonesia Rp 200 miliar
Total PMN disetujui Rp 37,276 triliun. Sebelumnya dalam dokumen Nota Keuangan dan Rancangan APBN Perubahan (RAPBNP) 2015 yang diusulkan ke parlemen, pemerintah menganggarkan PMN sebesar Rp 72,97 triliun bagi 40 BUMN. Sejumlah BUMN yang tidak kebagian dana bancakan adalah: PTPN VII, PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII, PT Bank Mandiri (usulan Rp 5,6 triliun), PT Djakarta Lloyd (usulan Rp 350 miliar), PT Rajawali Nusantara Indonesia (usulan Rp 280 miliar) dan yang menarik PT Sarana Multi Infrastruktur yang semula kebagian jatah terbesar yaitu Rp 20,356 triliun malah tidak mendapat sepeser pun. Alasan memberikan dan tidak memberikan dana ini mungkin menarik untuk diulas karena misalnya saja, PTPN XI mengalami kebangkrutan dengan indikasi hutang mencapai Rp 1 triliun. Sialnya, PTPN XI yang membeli tebu petani inipun tak sanggup lagi membayar dana talangan kepada petani. Ujung-ujungnya petanilah yang merugi tanpa dana PMN tersebut.
Terlepas dari siapa yang kebagian dan tidak kebagian, memang keputusan Pemerintah Jokowi mengalokasikan dana APBN 2015 untuk PMN membengkak dari yang semula cuma Rp 7,3 triliun menjadi Rp 72,97 triliun. Kenaikan PMN sebesar Rp 67,8 triliun tersebut hampir setengahnya berasal dari dana utang baru. Selain itu, jika mau balik ke perbandingan dengan era SBY maka dulu hanya empat BUMN yang menerima PMN dengan nilai Rp 5,1 triliun. Jadi pemerintah Jokowi mengalokasikan lebih banyak untuk BUMN dibandingkan pemerintah era SBY. Alokasi dana sebesar itu untuk BUMN tentu menjadi pertanyaan, apalagi selama ini BUMN kita itu bisa dibilang tidak balik memberikan duit untuk negara. Dari kurun waktu 2010 - 2013, anggaran negara memberikan PMN ke BUMN sebesar Rp.269,7 triliun, dan keuntungan yang disetorkan kepada negara hanya sebesar Rp.123 triliun‎ (http://www.jpnn.com/read/2015/01/23/283215/Dicap-Antirakyat,-%E2%80%8ERAPBN-Jokowi-Dibandingkan-dengan-Punya-SBY).
BPK memang mesti bolak-balik memeriksa pengalokasian dana negara tersebut karena ujung-ujungnya duit pajak rakyatlah yang digunakan dan alokasi subsidi jadi berkurang karena dana yang tersedia (atau tepatnya utang yang ada) terserap untuk BUMN. BUMN yang isinya orang partai itu lho *kedip sebelah mata. Kata teman saya yang memberikan info data bancakan duit BUMN di atas, "ongkos politik di Indonesia mahal sekali." Hmmm, meski presidennya presiden pilihan rakyat namun nyatanya tetap merangkap jadi petugas partai dan pakai duit rakyat lagi untuk ongkosi para politisi yang diharapkan mendukung presiden.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H