Mohon tunggu...
Monique Rijkers
Monique Rijkers Mohon Tunggu... profesional -

only by His grace, only for His glory| Founder Hadassah of Indonesia |Inisiator Tolerance Film Festival |Freelance Journalist |Ghostwriter |Traveler

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dibalik Diskusi dan Pameran Foto Peristiwa '65 di Paris, 19 Jan 2016

18 Januari 2016   02:41 Diperbarui: 18 Januari 2016   19:55 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada kabar baik datang dari Paris bagi para korban dan keluarga peristiwa "65 serta para pengiat kemanusiaan. Sebuah konferensi dan pameran foto mengenai pembunuhan massal pada periode terkelam Indonesia ini akan digelar pada 19 Januari mendatang. Ketika pemerintah Indonesia mati-matian melupakan peristiwa '65 dan mengubur sedalam mungkin informasi mengenai para korban, rekaman-rekaman memori dikorek kembali, memecah kesunyian setelah November 2015. Pada November tahun lalu, Tribunal Rakyat Internasional tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan tahun 1965 di Indonesia (IPT 65) telah berlangsung di Belanda.

Menurut Truly Hitosoro, peneliti '65 yang akan menampilkan foto-foto karyanya dalam pameran, konferensi ini diadakan oleh Reseau Indonesie, sebuah asosiasi yang dibentuk di Prancis dan fokus pada isu-isu sosial, politik, ekonomi, dan tentu saja HAM. Asosiasi ini melakukan kampanye tentang IPT 65 di Prancis, beberapa WNI di Prancis berinisiatif melakukan diseminasi di luar negeri. Tujuannya supaya masyarakat luas, baik terhadap warga asing maupun WNI yang berada di luar negeri memperoleh pemahaman mendalam terhadap isu ini. 

Truly Hitosoro menyebutkan masih banyak tantangan yang dihadapi untuk melakukan kegiatan serupa di Indonesia. Sebagai contoh, pertemuan di Bukit Tinggi tahun lalu mengenai sosialisasi tunjangan kesehatan bagi para penyintas 65. Para pembicara diserang massa. Petugas keamanan bukan memberikan perlindungan, tapi malah menyuruh para pembicara untuk membatalkan pertemuan tersebut. Truly Hitosoro sendiri terlibat mendampingi sebuah asosiasi untuk melakukan sosialisasi tunjangan kesehatan bagi para penyintas. Akibat sulitnya membahas peristiwa '65 di "rumah sendiri", beberapa WNI di Prancis berinisiatif melakukan diseminasi di luar negeri. Tujuannya supaya masyarakat luas, warga asing maupun WNI yang berada di luar negeri memperoleh pemahaman mendalam terhadap isu ini.

Lokasi: jembatan pembunuhan massal di Solo.

Saskia Wieringa dari Belanda khusus datang ke Paris untuk konferensi ini. Saskia sudah lama aktif melakukan studi mengenai 65, khususnya Gerwani. Ia bahkan salah satu penggagas International People's Tribunal for Indonesian 1965 Crimes against Humanity (IPT 65) bersama dengan Nursyahbani Katjasungkana. Selain itu, ada Coen Holzappel yang sudah menerbitkan publikasi mengenai 65. Dari Prancis, Jean-Louis Margolin dan Remy Madinier, seorang Indonesianis.

Guna memahami peristiwa '65 selain konferensi, pameran foto dengan topik propaganda, penjara, pembuangan, pembunuhan massal, para penyintas, memorabilia dan aksi sosial untuk perlindungan HAM akan menampilkan karya Stephane Roland dari Prancis dan karya Truly Hitosoro dari Indonesia. Foto-foto ini dipilih, karena mereka mewakili jejak proses pasca '65. Melalui rangkaian visual ini, Turly Hitosoro berharap publik dapat lebih memahami dan mendapatkan gambaran yang konkrit setelah hadir di konferensi.

Lokasi: kamp konsentrasi di Sumatera

Ketika saya bertanya kepada Truly Hitosoro, "apakah ada persamaan antara peristiwa '65 dengan peristiwa tertentu di Prancis?" Truly Hitosoro menjelaskan, "Kita bisa lihat peristiwa The Reign of Terror atau The Terror yang terjadi di Prancis setelah Revolusi Prancis. Terror digunakan sebagai taktik oleh beberapa pemimpin Revolusi Prancis, seperti  Maximilien Robespierre, Louis Antoine de Saint-Just and Jean-Paul Marat yang mulanya dinilai sebagai tokoh-tokoh yang berjuang untuk melawan monarki absolut Raja Louis ke-16. Setelah revolusi berhasil, mereka menangkapi orang-orang yang dianggap kontra revolusioner atau musuh politik mereka, memenjarakan, menyiksa dan bahkan membantai hingga ribuan orang mati. Masyarakat hidup dalam ketakutan yang dahsyat, karena aksi semena-mena mereka yang juga kemudian mengeksploitasi rasa takut ini untuk menekan perlawanan balik. Rasa takut ini juga yang digunakan oleh Orde Baru untuk menekan masyarakat. Prancis sudah melangkah lebih jauh menuju demokrasi, kita masih tertatih-tatih."

Truly Hitosoro (43 tahun) saat ini berstatus sebagai seorang peneliti independen karena sedang mengambil program bahasa Prancis di Faculté des Lettres, Université  de Pau et des Pays de l'Adour di kota Pau. Setelah ini, berencana lanjut studi S3, melepas pekerjaannya sebagai dosen di Kriminologi UI. Perempuan asli Jawa ini memiliki tiga gelar master dari S2 Kriminologi UI, S2 Hukum Internasional Universitas Kyushu dan S2 Kajian Asteng EHESS). Truly Hitosoro, S.Sos, MSi, LLM, M2, lulusan S1 Kriminologi UI ini memfokuskan studinya pada penologi, keadilan restoratif (restorative justice) dan kriminologi visual. Truly fasih berbahasa Inggris, Jepang dan Prancis serta bisa berkomunikasi dalam Bahasa Italia. Truly Hitosoro berharap publik Indonesia dapat membedakan antara sejarah dan propaganda.  "Yang paling penting sekarang ini  adalah mengetahui apa yang sebetulnya terjadi. Masyarakat punya hak untuk mendapatkan kebenaran itu."

Tim riset IPT 65 memperoleh temuan adanya keterlibatan akademisi-akademisi dari sebuah universitas negeri di Indonesia. Brad Simpson, peneliti dari Amerika juga memiliki temuan-temuan konkrit adanya keterlibatan asing dalam peristiwa tersebut. Bila hal ini memang sejarah yang sesungguhnya, mengapa Pemerintah membatasi dan bahkan melakukan tekanan terhadap mereka yang melakukan pengusutan sejarah? Artinya, sejarah kita bukanlah berdasarkan fakta, tapi propaganda yang dibentuk oleh kelompok dominan demi kepentingannya. Menuurt Truly Hitosoro, "Sejarah adalah bagian penting dari kehidupan kita. Melalui sejarah, kita mengenal diri kita lebih baik dan bisa belajar dari kesalahan di masa lalu untuk menjadi lebih baik. Jadi, sekarang beranikah kita melihat kesalahan supaya bangsa kita kemudian mampu berkembang?" 

Semoga selalu ada kabar baik demi penghargaan atas kemanusiaan.               

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun