Pin Eks Uni Soviet Dari Turkmenistan. Foto Monique Rijkers
Foto di atas bukanlah foto mendukung paham komunisme atau Leninisme yang hingga sekarang masih dilarang di Indonesia. Foto di atas adalah koleksi pin yang saya beli di Ashgabat, ibukota Turkmenistan pada tahun 2011. Sebagai bekas negara pecahan Uni Soviet, Turkmenistan tentu tidak asing dengan komunisme. Pin yang saya beli dengan harga sekitar 1-2 USD itu dijual di toko sovenir di hotel tempat kami tinggal selama dua hari.
Saya bertanya kepada penjual, “Mengapa pin-pin itu dijual?” Rupanya banyak turis dari negara-negara non komunis yang tertarik membeli sisa keruntuhan komunisme sebagai bagian dari sejarah dunia. Pin yang saya pilih saat itu, memang sengaja yang bergambar Lenin atau palu arit dan saya menganggapnya bukan sebagai bentuk ketertarikan pada komunisme namun sekadar cendera mata dari eks Uni Soviet.
Salah satu koleksi yang menurut saya langka adalah pin memperingati hari lahir Lenin yang ke-100 pada 1870-1970 dan pin itu masih bisa ditemukan di tahun 2011. Toh kapan lagi saya bisa ke Turkmenistan, negara yang sangat tertutup dan xenophobia ini?
Lalu November 2015, di Praha, ibu kota Republik Ceko malah tersedia tur era komunis. Sayang kami tak sempat mengikuti tur era komunis ini dan memilih Jewish Tour. Salah satu lokasi yang menjadi bagian tur era komunis adalah ke Jan Palach Square yang sempat kami datangi. Jan Palach adalah mahasiswa yang membakar dirinya sebagai aksi protes saat Uni Soviet masuk ke Cekoslovakia (saat itu). Lokasi ia membakar diri berada di Wenceslas Square, sebuah kawasan bisnis di tengah kota namun untuk mengenangnya sebuah lokasi di depan Gedung Kesenian Praha diberi nama Jan Palach Square.
Jadi, jika di negara eks komunis saja bisa menjual pin Lenin untuk turis dan memasukkan tur era komunis guna menarik turis asing, bukankah sekarang ini Indonesia kebablasan paranoid? Apakah si penjual pin di Turkmenistan dapat dituduh menyebarluaskan ajaran Lenin? Atau tour guide di Praha ditangkap polisi karena mengajarkan tentang kejayaan era komunisme? Justru semuanya itu bisa terjadi di Indonesia.
Boro-boro bikin tur mengenang Peristiwa ‘65 di Indonesia, penjual kaos bergambar palu dan arit kini bisa ditangkap. Mengapa masyarakat Indonesia begitu alergi terhadap isu komunisme dan takut PKI hidup lagi? Bukankah tidak ada ancaman yang nyata jika dibandingkan dengan radikalisme agama yang terang-terangan berbahaya dan sudah menelan korban jiwa dan materi?
Bagaimana seharusnya bangsa Indonesia menyikapi isu komunisme saat ini? Pertanyaan ini mengemuka setelah berulang-ulang terjadi aksi menggeruduk diskusi soal Peristiwa ’65 atau membubarkan (hanya sekadar) pemutaran film terkait Peristiwa ’65. Berbagai kelompok dengan beragam nama tampil menolak kembalinya komunisme di Indonesia.
Bahkan awal Mei lalu, pimpinan DPR sempat menerima audiensi dengan Tim Anti Komunis Indonesia. Kecanggungan generasi tua yang mengalami masa-masa kelam 1965 bisa menjadi alasan bagi mereka dan keluarga untuk diam, tak bersuara menghadapi polemik Peristiwa ’65. Bayangkan, meski PKI dahulu termasuk partai yang berhasil meraup suara pemilih dan meraih kursi di DPR pada Pemilu 1955, toh hampir tidak ada yang terang-terangan mengaku sebagai pendukung PKI atau keluarga mantan anggota DPR mewakili PKI, misalnya.