Mohon tunggu...
Monique Saiya
Monique Saiya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

The Interactive Museum

1 Mei 2015   06:19 Diperbarui: 19 Januari 2016   06:45 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya adalah seorang Museum Professional yang bekerja sebagai Museum Educator di salah satu museum di San Francisco, California. Dengan badge (kartu identifikasi staff) museum saya, saya memiliki hak untuk masuk ke museum manapun di San Francisco dan daerah sekitarnya (San Francisco Bay Area) tanpa bayar alias gratis. Saya juga berhak membawa dua orang ekstra untuk masuk gratis dengan saya. Ini adalah perk pekerjaan yang luar biasa untuk saya dan suami karena kami berdua adalah pencinta museum yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di dalam satu museum.

Satu hal yang saya perhatikan adalah museum-museum di Amerika sudah mengalami pergerakan ke arah museum sebagai ruang interaktif, di mana pengunjung bukan hanya hadir sebagai pengamat pasif, tapi sebagai pengamat dan pelajar aktif. Bahkan, di museum-museum yang sudah mengambil langkah lebih jauh lagi dari ruang interaktif, yakni menjadi suatu ruang interaktif dan partisipatif, pengunjung bukan lagi hadir sebagai pengamat dan pelajar aktif, tapi juga sebagai interlokutor yang terlibat di dalam dialog aktif mengenai content di dalam museum tersebut, sehingga museum tersebut bukan hanya ada sebagai suatu ruang pameran atau sumber informasi statik, akan tetapi juga eksis sebagai serambi komunitas untuk bertukar informasi, mengekspresikan opini, berdialog, dan berdebat sehat.

[caption id="attachment_363779" align="aligncenter" width="377" caption="Grammy Museum- salah satu exhibit interaktif (music genre timeline)"][/caption]

 

Yang dimaksud dengan museum sebagai ruang interaktif adalah museum di mana pengunjung bisa berinteraksi dengan obyek pameran (exhibit) melalui, di antara lain, sentuhan/ sense of touch (e.g. artifak-artifak tertentu yang boleh di sentuh); aroma/sense of smell (e.g. Di suatu pameran fotografi landscape di suatu museum, kami bisa mencium aroma bunga2 dan rerumputan dari tempat di mana foto-foto yang terpajang diambil); dan audio & visual (melalui teknologi, biasanya ada suatu tombol yang bisa ditekan untuk memutar sebuah rekaman audio atau video yang terkait dengan exhibit).

Yang dimaksud dengan museum partisipatif adalah museum di mana pengunjung hadir sebagai interlokutor dan kontributor dari content di dalam museum tersebut. Khusus untuk artikel ini, saya hanya akan membahas museum sebagai ruang interaktif, dan akan menulis artikel terpisah untuk museum sebagai ruang partisipatif.

Sewaktu saya bekerja di Oakland Museum of California, museum tersebut pernah mengadakan suatu pameran yang berjudul A Walk in the Wild: Continuing John Muir's Journey. Pameran ini adalah salah satu pameran paling interaktif yang pernah saya hadiri di dalam museum kesenian (kebanyakan museum yang interaktif adalah museum anak atau museum sains/ teknologi).

Salah satu bagian dari pameran ini adalah sejumlah foto landscape yang diambil di beberapa daerah di Califronia Utara. John Muir, sang fotografer, adalah seorang penulis, naturalis, dan advokat pelestarian alam liar (wilderness)*. Walaupun beliau sudah meninggal pada tahun 1914, tapi karya-karya yang beliau tinggalkan tetap hidup dan banyak digunakan sebagai referensi sampai sekarang. Bahkan ada hutan rimba di California Selatan yang dinamakan John Muir Woods.

Di pameran ini, foto2 landscape John Muir dicetak di atas kertas foto yang di tempel di atas kayu, dan dipajang dengan ukuran yang luar biasa besar (3x6 meter) dengan ditopang oleh perancah kayu (tidak di gatung di tembok) di ujung kanan dan kiri, bentuknyapun agak cekung untuk menimbulkan ilusi tiga dimensi saat pengunjung berdiri di hadapan foto-foto tersebut. Di bawah foto tersebut tersedia dua artifak dan dua tombol yang bisa ditekan oleh pengunjung, posisinya pun cukup rendah untuk jangkauan anak-anak kecil di atas enam tahun.

 

1430436632165079647
1430436632165079647
 

Dua artifak dan masing2 tombol tersebut terkait dengan salah satu dari enam indera manusia. Artifak pertama (yang berupa obyek organik dari daerah di mana foto yang tepajang diambil: batu, daun, dsb.) dapat di raba, artifak kedua (yang berupa bunga atau serangga dari daerah di dalam foto) dapat diamati dengan kaca pembesar yang tersedia, dan tombol pertama bisa menghembuskan bebauan yang umum ditemukan di daerah di dalam foto (bau2an bunga atau rerumputan dari daerah tsb.). Tombol kedua mengaktifkan speaker yang memutar suara yang direkam dari daerah di dalam foto (suara burung2, angin, dan rerumputan yang bergesek tertiup angin).

Efek yang ditimbulkan oleh design pintar dan kreatif ini sangat luar biasa. Bukan hanya kami memiliki referensi visual (foto), tapi juga referensi olfactory (aroma), audio (suara alam), dan obyek (batu, bunga, serangga, dsb.), sehingga walaupun kami berdiri di dalam batas tembok museum, kami seakan-akan berada di dalam foto tersebut. Dengan exhibit interaktif seperti ini, pengunjung diajak untuk “mengalami” exhibit bukan hanya melihat dan mengobservasi.

Memang kasus di atas adalah contoh yang mahal. Saya belum pernah terlibat langsung dengan design pameran (exhibit design), tapi di mata awam saya konstruksi pameran fotografi John Muir tampaknya cukup rumit dengan tombol, speaker, dan rekaman audio yang terintegrasi. Akan tetapi dengan sedikit kreatifitas, museum-museum lain atau galeri yang ingin memproduksi pameran dengan konsep multisensori seperti ini tapi dengan biaya yang jauh lebih kecil, bisa memasukan komponen-komponen multisensori dengan design yang lebih simpel. Misalnya di pameran fotografi, exhibit statik bisa menjelma menjadi exhibit interaktif dengan menyediakan meja kecil, di samping atau di bawah foto terpajang, yang menampung artifak yang terkait dengan content foto yang dipamerkan, perangkat playback yang bisa memutar rekaman audio yang berisikan latar belakang foto tersebut, atau dengan menyediakan tautan ke website di mana sudah tersedia informasi lebih dalam tentang masing-masing foto di pameran tersebut.

Sewaktu saya berkunjung ke Jakarta pada akhir tahun 2014, saya sempat mampir ke Galeri Indonesia Kaya (GIK) di Mall Grand Indonesia di Jakarta. Walaupun tidak ada kata Museum di depan nama galeri ini, namun ruang GIK terasa amat seperti suatu museum. Waktu saya berkunjung, galeri cukup ramai, dan saya sungguh senang sekali (dan cukup kaget karena tidak menyangka) melihat banyaknya komponen interaktif di dalam GIK, dan biaya masuk gratis pula.

Sewaktu saya penasaran akan beberapa hal di dalam galeri, seorang staff galeri sudah siap sedia untuk menjawab semua pertanyaan saya, dan jawaban-jawabannya cukup memuaskan dan mudah dipahami. Tampaknya GIK boleh menjadi model untuk museum-museum di Indonesia yang hendak bergerak ke arah museum sebagai ruang interaktif.

Mungkin dalam tahap awal pergerakan ini, banyak museum yang belum memiliki budget memadai untuk menggunakan teknologi secanggih teknologi di dalam GIK (iPad, TV horizontal dengan touch screen interaktif, dsb.), namun museum bisa memulai dengan mengambil langkah-langkah kecil yang lebih sederhana dan budget-friendly. Misalnya dengan melatih staff yang sudah ada untuk menjadi sumber informasi hidup bagi pengunjung, menyediakan pilihan informasi tertulis di samping obyek pameran, yang mana pengunjung bisa memilih sendiri informasi yang ingin mereka cari (e.g. pencipta, latar belakang topik, pengaruh sejarah di dalam pembuatan obyek, dsb.)*, menyediakan pertanyaan-pertanyaan terbuka (open-ended questions) di samping obyek pameran untuk menciptakan hubungan yang lebih interaktif di antara pengunjung dan obyek.

Di dalam kunjungan yang sama ke Jakarta, saya juga sempat mampir ke Galeri Nasional di Gambir. Walaupun banyak gedung yang tutup waktu saya datang, tapi di gedung-gedung yang terbuka, suasana museum sebagai ruang interaktif sudah mulai terasa juga di sini: instalasi lampu yang bisa diaktifkan dengan menekan tombol, dilengkapi juga dengan video tentang penciptanya, di ruangan lain pengunjung dapat mengobservasi sebuah instalasi lain di dalam gelap dan terang (lampu dilengkapi timer on/off), dan suatu obyek pameran yang di set up di dalam sand box memiliki komponen yang dapat dipindah2kan oleh pengunjung tanpa mempengaruhi letak obyek tersebut di dalam museum.

Sayangnya, saya tidak sempat mengunjungi semua museum di Jakarta karena keterbatasan waktu, akan tetapi progress yang saya lihat di dalam segelintir museum yang sempat saya datangi membuat saya optimis akan pergerakan museum-museum di indonesia menuju peran mereka sebagai ruang interaktif. Bahkan mungkin (di masa yang akan datang) sebagai ruang yang partisipatif, di mana pengunjung dapat menjadi kontributor di dalam pembentukan content museum dan menjadi interlokutor di dalam dialog kultural yang kritis di mana museum bukan hanya berperan sebagai tempat pameran dan tempat pembelajaran informal (biasanya dengan komunikasi satu arah, di mana pengunjung hanya belajar dan menerima informasi dari pihak museum), akan tetapi juga sebagai serambi untuk komunitas lokal (dan mungkin internasional) untuk bertukar pikiran, berbagi sejarah dan budaya, juga berdialog dan berdebat sehat. Alangkah indahnya kalau di masa mendatang, orang muda dan keluarga, pelajar dan para remaja Indonesia bisa menjadi bagian dari komunitas ini, dan menghabiskan akhir pekan mereka bukan hanya di mall, tapi juga di dalam museum.

 

***

 

 

*Definisi Wilderness di sini adalah lingkungan alami di Bumi yang belum dimodifikasi oleh aktivitas manusia.

 

*Aktifitas interaktif ini bisa dilakukan dengan menyediakan informasi tertulis yang di tempel di samping obyek pameran yang ditutupi oleh blok kayu yang dapat di buka/tutup seperti pintu, sehingga pengunjung bisa memilih blok kayu mana yang ingin mereka buka. Di atas blok kayu tersebut bisa dituliskan judul topik-- misalnya artist, latas belakang, sejarah, pertanyaan2 untuk membuka dialog, etc.


Monique Saiya adalah seorang Museum Professional yang bekerja di San Fransisco’s Children Creativity Museum sebagai Museum Educator. Ia juga pernah bekerja di Education Department De Young Museum, dan Education Department Oakland Museum of California di Amerika.


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun