Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Semburat Putih Pelangi Kasih Episode 32, Perutusan Misi Jiwa Kelana 5

16 Agustus 2021   11:04 Diperbarui: 16 Agustus 2021   11:07 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perutusan, Misi  Jiwa  Kelana (5)

Cerita sebelumnya:

Dari pengakuannya mereka menceritakan bahwa telah bertemu seorang perempuan yang menghajar dan melumpuhkan mereka. Berita itu menjadi pembicaraan masyarakat Klopo Duwur, bahwa ada wanita yang melumpuhkan tiga pencuri sekaligus, tetapi mereka tidak kenal siapa wanita itu. Dengan demikian aku bebas bergerak, karena jati diriku tidak dikenali  (Bersambung)

Aku merasa kerasan tinggal di sini dan terus berpikir bagaimana memajukan kehidupan masyarakat   Klopo   Duwur. Keadaan masyarakat di sini seperti Daha di bawah pemerintahan Romo Prabu.

Mereka hidup gotong royong dan sangat toleran satu sama lain, mudah untuk diajari sesuatu yang baru. Mereka memanggil orang lain dengan sebutan lur kependekan sedulur yang berarti saudara. Yang paling kukagumi mereka tidak pernah menutup pintunya,menerima siapa saja yang datang. Rakyatnya hidup saling percaya dan menerima orang asing para pendatang tanpa curiga.

Aku dan Sekar Kinasih tinggal sebulan di desa Klopo Duwur. Banyak hal yang bisa kupelajari, aku banyak belajar bagaimana perjuangan rakyat kecil dalam mengarungi hidup, semangat gotong royong dan guyup rukun, penuh dengan ketulusan, menghargai kepercayaan dan keyakinan sesamanya.

Di antara mereka ada yang beragama Hindu, Budha, dan kepercayaan adanya Sang Sumber Hidup, Sang Murbeng Jagad, atau sering mereka sebut Sang Hyang Widhi.

Aku mendapat tugas dari Maha Mpu Baradha untuk pergi ke padepokan Budi Tunggal yang dipimpin oleh Nyi Ambar Kenanga. Karena boleh pergi sendirian, aku bisa memakai aji bayu mambumbung. Aku pergi ke padepokan itu dengan membawa surat lontar yang ditulis oleh Eyang Mpu Baradha. Dalam waktu satu jam seperti pengalaman dari kerajaan Daha ke Blora aku terbang menembus awan gemawan, sungguh pengalaman yang luar.

Sesampai   di tempat, aku duduk samadi untuk siap memasuki tempat asing yang telah ditunjukkan oleh Eyang Mpu Baradha. Setelah berjalan kaki kira-kira 300 langkah dan sampailah aku ke Padepokan Budi Tunggal.

Padepokan ini dikhususkan untuk para wanita. Dengan diantar oleh tiga cantrik, aku dipertemukan dengan Nyi Ambar Kenanga. Dengan santun aku menghatur salam. Namun tiba-tiba saja Nyi Ambar Kenanga memelukku sambil berbisik lirih, mungkin tidak ingin didengar oleh cantriknya.

"Aku senang, Cah Ayu, engkau datang kemari. Aku tahu siapa dirimu,

semoga engkau merasa kerasan di sini."

Hatiku berdebar mendengar pengakuan Nyi Ambar.

"Oh, Cah Ayu, aku tahu kau adalah Sangrama Tungga Dewi, ratu tunggal anak dari Maha Raja Airlangga. Aku mengenal Romo Prabu dan ibundamu. Di padepokan ini kau bisa menyempurnakan olah kanuragan dan olah kerohanian."

Kutatap wajah Nyi Ambar Kenanga yang sangat halus sumringah memancarkan aura ramah penuh kewibawaan namun sederhana, tulus, dan penuh rasa persaudaraan.

Sebelum sempat aku bicara, Nyi Ambar berkata, "Sanggra, kau boleh

 memanggilku Eyang."

"Eyang?" tanyaku ragu.

"Ya, eyang. Mengapa kamu ragu? Aku seumuran dengan Mpu Baradha dan

 Dimas Sekar Tanjung. Bukankah lebih pantas dipanggil eyang?"

"Ya ampun, kukira aku harus memanggil bibi, sebab Eyang masih sangat

muda."

"Oh, iya to, Ngger? Memangnya Eyang kelihatan masih muda? Sebenarnya ini karena latihan, dan latihannya seperti yang dilakukan oleh romomu dan Kakang Baradha. Coba perhatikan apa yang mereka lakukan?"

"Sepertinya memandang bulan purnama dan berkidung, atau enggar-enggar

 penggalih (menyenangkan, menenangkan hati)."

"Ya, betul. Dan yang penting, hati kita tenteram damai, sumeleh, pasrah

pada kehendak Hyang Murbeng Jagad."

"Kamu juga bisa, Cah Ayu, dan Eyang lihat kamu punya bakat untuk itu."

"Oh, iya, Eyang. Yang penting, walaupun usia bertambah, kita tetap sehat

dan cekatan, ya, Eyang?" tegasku.

Eyang mengangguk mantap.

Di padepokan ini banyak perempuan dari berbagai daerah yang datang untuk mengangsu kawruh (menimba ilmu). Sebagian besar dari mereka melakukannya dengan tulus murni, tapi tak sedikit pula yang hanya mencari keuntungan. Nah, kau lihat saja nanti. Aku butuh bantuanmu.

Kau bisa belajar berlatih untuk mengatasi masalah, jadi kalau kelak kau memerintah, kau sudah terbiasa menghadapi aral melintang dan intrik-intrik dari orang yang berniat membuat kekacauan. Nantinya kau akan terbiasa menghadapinya."

"Iya, Eyang," jawabku.

Aku pun dipersilakan masuk ke bilik, sebuah pondok kecil seperti di

padepokan Mpu Baradha.

"Aku tahu kebiasaamu, pada saat seperti ini biasanya kau akan bermeditasi,

bukan?"

"Iya, Eyang Ambar."

Aku pun masuk ke bilik yang berada di luar padepokan. Aku mulai bermeditasi dan berkontemplasi. Setelah beberapa saat, aku memasuki keheningan dan merasakan hawa panas yang lain. Dari hawa panas itu muncul sesosok wanita yang bebadan gempal seperi kuda nil dan memiliki aura pemberontak dan pengacau, berikut trik-trik untuk menguasai teman-temannya.

Aku berusaha untuk menembus wajahnya. Benar saja, auranya adalah aura panas penuh ambisi dan kekacauan batin yang hanya ingin memuaskan nafsunya. Kupandangi dan kucoba untuk melembutkan gerak batinnya. Tapi anehnya, pranaku mental, ditolak mentah-mentah oleh aura jahatnya.

Latihan  Kanuragan ( Lukisan Bp Y.P Sukiyanto )
Latihan  Kanuragan ( Lukisan Bp Y.P Sukiyanto )

 Sosok itu memang memiliki dasar jahat dan mudah dikendalikan oleh roh jahat karena dia senang bermain-main dengan roh jahat. Aku berdoa untuk mohon kekuatan agar tugasku di sini dapat terlaksana dengan baik. Belum pernah aku merasakan seperti ini.

Aku jadi teringat pesan Eyang Mpu Baradha, "Jika kamu merasakan hawa panas yang bukan dari panas bumi, panas yang menandakan akan hujan atau panas matahari yang memang sedang terik, bahkan panas itu kau rasakan waktu malam, berarti dalam hening kontemplasimu ada sesuatu yang terjadi. Itu tandanya ada makhluk yang membawa hawa perpecahan. Bisa jadi itu iblis atau setan, manusia yang berhati setan atau sengaja menghamba pada setan." Pesan itu terngiang kembali di hatiku. ( Bersambung )

 

Oleh  Sr. Maria  Monika  SND

16  Agustus, 2021

Artikel  ke : 439

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun