Hari ini kutulis kisah untuk mengenang kasih ibuku yang tiada tara. Dengan air cinta sebening mata bunda. Mata bunda yang bening senantiasa menarik, yang kutatap sejak aku disusuinya, dibelainya dikecup,didekap dan diciuminya, wajah yang ceria senantiasa tersenyum.
Yang kurasakan adalah kehangatan cinta penuh kasih, aku merasakan denyutan cinta kasihnya, dan kemurnian hatinya. Bunda, ibuku yang kucinta hanya ingin aku tumbuh sehat dan cerdas, dididiknya aku dengan kesabaran dan cinta penuh perhatian dan tanpa syarat.
Saya adalah anak pertama yang dikandungnya setelah bertahun-tahun pernikahan dengan bapakku. Sebelum itu ibu mengambil anak perempuan dari kakaknya untuk memancing kelahiran seorang anak.
Setelah ibu mengandung, konon sampai 12 bulan, saya baru lahir didunia ini. Ibuku patuh dengan segala adat, dimasukkan dalam kandang kerbau, untuk merangkak supaya saya cepat lahir.Ibu ditangani Bidan khusus untuk merawat kehamilannya.
Ketika saya lahir, konon kakek, nenekku takut melihat karena wajahku penuh cakaran kuku ( maklum seandainya saya lahir normal, seharusnya sudah berumur 4 bulan )
Masa kecilku, aku dijaganya dengan penuh cinta dan perhatian. Masa kanak-kanak hingga remaja, kurasa damai dan tentram bila aku pulang sekolah atau dari bepergian kudapati ibuku dirumah. Selalu disiapkannya masakan untuk kami dan makanan kecil kesukaan kami anak-anaknya.
Ibuku menjalin persahabatan dengan anak-anaknya dengan kelembutan dan keceriaan. Tidak ada diantara kami anak-anaknya yang menyembunyikan rahasia kepadanya. Ibuku tersayang adalah pelabuhan hati tempat dimana anak-anaknya berlabuh, bercerita ria, berkeluh dan merasakan rasa aman bila berada didekatnya.

Ibaratnya, hari itu ibu tidak punya uang, atau beras habis, sedangkan bapakku belum gajian, apa yang kudengar dari Ibuku ? :" Tuhan itu Maha pemelihara, burung di udara yang tidak menabur saja dibiarkan menuai, bunga diladang yang tidak memintal saja didandaninya, apa lagi kita manusia akan dianugerahi rejeki secukupnya "
Dan selalu terjadi mukjijat ada orang yang datang membeli dagangannya.Bapakku seorang Guru dan Kepala Sekolah di desa, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga ibuku berjualan Rujak pecel, aneka bubur dan kolak didepan rumah.
Setelah adikku yang no 6 lahir, ibuku ganti haluan membuat kripik tempe. Usahanya untuk membantu bapakku memang luar biasa, itu sangat kukagumi, kami dididik untuk bekerja keras. Ibu selalu mengatakan kepada kami : " Sekaya apapun suamimu nanti, kamu harus bisa mencari uang sendiri , jadi wanita harus mandiri, jangan hanya bisa nyadong ( meminta ) gaji suami".
Disamping anaknya 6 orang + kakak angkatku yang sudah seperti anak sendiri ditambah ada 4 sepupuku yang ikut keluargaku.Sewaktu kakaku sekolah SPG ( Sekolah Pendidikan Guru ) dia punya 4 teman yang punya masalah dengan keluarganya, ada ayah dan ibunya nya Tiri. Atas seijin Bapak dan ibuku 4 gadis remaja itu ikut tinggal di rumahku.

Orang pertama yang mengijinkan saya untuk masuk biara juga ibuku.meskipun Bapakku, Nenekku, kakakku melarang saya. Tapi ibu selalu menguatkan saya.
Atas dukungan ibu, saya berani melangkahkan kaki masuk biara, meninggalkan keluargaku.
Bahkan sebelum saya masuk biara, ibu mengajakku untuk berziarah ke Sendang Sono yang waktu itu masih berlumpur, tidak semudah sekarang mobil bisa langsung keatas.
Waktu itu ibuku sampai jatuh terpeleset 7 kali demi menyerahkan putrinya kepada Sang Bunda Maria, agar dikuatkan dalam perjalanan hidupnya.
Ibu...Oh ibu begitu besar perjuanganmu, untuk menghantar dan merestui anakmu, bunga bungaran yang kau relakan untuk mengabdi Tuhan dan sesama.
Hari ini kujumpai tawa, di balik panorama,di mana waktu menghantar kembali bunda. Setelah sekian tahun berpisah, sejak ibuku dengan restunya mengijinkan aku untuk hidup membiara. Suatu hari dia menjengukku dibiara, berjalan-jalan di pantai Pasir Kencana, bersama Bapak dan adik bungsuku.
Keceriaan dan kelembutannya masih seperti dulu, apa saja bisa jadi bahan tertawa dan pembicaraan yang menyegarkan. Hari itu kuresap semua nikmat,dari gemulainya kuncup Flamboyan muda dan kurangkai menjadi untaian kata jadi puisi untuk bundaku.
Biar bersemi diantara hati biar berkidung sepanjang bumi,menadakan gema untaian cinta lewat butiran kata. Biar tinta dan kertas habis,akan tetap kutulis.Untuk cintanya yang tulus selalu ada inspirasi untuk menuangkannya dalam PUISI.
Ketulusan ibuku dalam mencintai anaknya, mengingatkan aku bagaimana kasih dan kesetiaan Bunda Maria dalam mendampingi dan menyertai Yesus Putranya.
Bunda Maria yang terlunta-lunta mencari tempat untuk melahirkan putranya, kelelahan karena cacah jiwa, didalam gua dia melahirkan Putera Allah terjanji, memeliharanya, bahkan memanggku Puteranya yang telah mati di Salib.
Kepedihan ibuku, juga terlihat sangat jelas ketika adikku no 4 meninggal, ibuku tak tega melihat jenazahnya,juga tidak pernah melihat makamnya. Ibuku tidak tahan tinggal di rumahnya sendiri, karena bapakku tiada, satu tahun kemudian disusul kepergian adikku.
Ibuku akhirnya tinggal bersama adikku yang bungsu di kota lain, sampai meninggalnya satu tahun kemudian setelah kepergian adikku, tepatnya 29 Agustus 2004.
Sebelum kepergiaannya ibuku menilponku begitu lama, tidak seperti biasa. Dia bercerita bahagia, bahwa dagangannya laku keras disaat bazar 17 Agustus --an.
Ketika kuberpesan :" Ibu jaga kesehatan ya, jangan terlalu lelah" apa jawabannya? : " Wuk Cah Ayu ( sapaannya yang khas untukku) Ibu bisa jaga diri, yang penting kamu juga jaga dirimu, dan adik-adikmu "

Tidak ada yang menyangka bahwa ibu akan cepat pergi, karena dalam keadaan sehat dan penuh semangat. Satu minggu sebelumnya saya memang bermimpi kehilangan "Ibu jari", sewaktu saya cerita pada adik bungsuku, katanya ibu mengomentari :" Bilang pada Mbakyumu, mimpi itu bunga tidur, jangan terlalu dipikirkan ", ternyata itu suatu tanda untuk terakhir kali.
Kini ibu sudah pergi, doa kami putri putranya, semoga jiwanya damai dalam dekapan KASIH & KERAHIMAN ILAHI. Bersama jiwa Bapak, adikku dan para leluhurku yang telah tiada.


Bila rindu membuncah, saya hanya bisa menatap fotomu yang kupanjang di altar kecil didekat tempat tidurku, disitu kita bertemu, tanpa batas waktu, kita bicara, tanpa mengucap kata.
Kurasa cintamu tetap membara Lestari terpateri dalam lubuk jiwa ini. Terima kasih ibu untuk segala cinta dan pengorbananmu, yang menghantar putera-puterimu, mandiri sebagai pribadi yang mencintai Tuhan dan sesamanya, seperti yang selalu kau ajarkan pada kami, Amin
Oleh Sr. Maria Monika SND
Artikel ke :180
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI