Namun kali ini ditempuh lebih dari 8 jam. Saya hanya menurut saja apa yang dikatakan oleh para Suster dan Romo, bahwa saya mesti mengenakan short ( Celana pendek, habyt kerja dan apron) dan tanpa kasut pun sandal. Saya belum bisa membayangkan seperti apa jalan yang akan kami lalui.
Semua sudah diatur, 3 orang yang akan mengantar kami dengan naik motor, Bp Syamsyudin yang paling ahli menembus lumpur yang nantinya akan memboncengkan saya, Moses memboncengkan Bapak Uskup, dan Anjasmara membawa barang yang sudah ditata rapi dalam kerobong agar tidak kena lumpur.
Setelah kami mengadakan salam perpisahan dengan para Romo dan Para Suster, mulailah Bp Syamsudin beraksi memboncengkan saya berangkat duluan. Dengan posisi duduk kangkang seperti biasanya seorang pria membonceng, dalam keadaan seperti ini bukan kesopanan yang diutamakan tapi keselamatan. Bp Syam juga berpesan supaya saya memberitahu jika akan bergerak mengubah posisi duduk.
Setelah sepeda motor melaju dijalan yang beraspal lancar, Bp Syam selalu bercerita tentang tanah Papua dan pengalamannya menjadi murid Para suster. Dia orang Toraja beragama Islam tapi kental akan pengetahuan Katholik, karena murid para suster sejak SD, ceritanya lucu-lucu.
Sampailah pada jalan berlumpur saya diminta untuk tidak bergerak dan duduk manis. Dengan kakinya yang lincah dia menginjak gundukkan lumpur, motor masih melaju, tapi ditengah ada bagian yang begitu licin dan saya diminta untuk turun jalan kaki. Saya berjalan tertatih, menunggu kedatangan yang lain yang masih jauh.
Beginilah asyiknya jalan dilumpur yang licin, saya dengan tertatih tatih, sampailah diujung jalan. Melihat dari kejauhan Bapa Uskup juga turun dari motor dan berjalan mencari lumpur yang keras agar dapat dilalui, sementara Anjas berjuang mendorong motornya dibantu yang lain.
Dari 90 km kami menjumpai 9 bagian jalan berlumpur. Bahkan jika dihitung mungkin lebih 4 km kami harus berjalan di jalan berlumpur. Mengapa jalan begitu rusak? Karena selama ini jalan dilalui puluhan Truk dengan yang mengangkut tiang listrik besar, dalam program PIJAR 2018 oleh pemerintah, sedang saat ini cuaca tidak bersahabat, setiap hari hujan deras sehingga, jalan menjadi rusak berlumpur.
Pengalaman berjibaku dengan lumpur ini mengolah rasa batinku, dan banyak kejadian yang membuatku terkesima. Jika di kota besar mereka saling Salib, menyalib dan tidak peduli dengan sesamanya, disini sebaliknya, saling tolong menolong, saling mendorong motor, menarik truk,mobil lain dengan tali, mendahulukan mobil yang didepan supaya dapat berjalan, berbagi makanan dan minuman.dll.
Ketika kelelahan mendera, saya malu berkeluh ketika melihat seorang ibu menggendong bayinya serta menggandeng anaknya, sementara suaminya berjuang mendorong motornya menembus lumpur. Ketika kutanya akan kemana? Ibu itu menjawab :” Akan mengunjungi keponakannya yang akan sambut baru (Menerima komuni pertama didesa sebelah). Luar biasa perjuangan dan ungkapan cinta dan perhatian mereka, kepada saudaranya.
Saya juga bertanya kepada bapa Uskup: “Mengapa mengajak saya ditempat yang seperti ini ?”, Beliau menjawab : “ Supaya mengenal medan tersulit Papua, sebelum mengutus seseorang saya harus mengalaminya “ betul juga pikirku. Saya masih terus bertanya : “ Apa Mgr berpikir bahwa saya kuat & bertahan menempuh semua ini?, :” Ya saya yakin “, jawabnya yang disertai olokkan bahwa saya semakin gemuk dibanding dulu”.