Mohon tunggu...
Monica Eka Yulianda
Monica Eka Yulianda Mohon Tunggu... -

Sekretaris Kementerian Komunikasi dan Informasi BEM Unri Kabinet Sejuta Karya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebiri Bukan Solusi Kekerasan Seksual, Perbaiki Moral dan Agama!

7 Juni 2016   11:39 Diperbarui: 7 Juni 2016   12:49 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan dan anak-anak merupakan asset berharga suatu bangsa, karena perempuan merupakan pencetak dan pendidik gerasi emas bangsa dan anak-anak merupakan bakal calon pemuda penerus estafet perjuangan suatu bangsa. Namun naasnya beberapa bulan belakangan ini maraknya kekerasan seksual tidak hanya kepada perempuan bahkan anak-anak juga ikut menjadi korban kebiadaban pelaku yang tidak bermoral. Seperti yang dilansir dari tribunPekanbaru.com, satgas pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (p2tp2a) kota Pekanbaru mengatakan, ada 29 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Pekanbaru sepanjang 2016. Sekitar 70 persen dari jumlah tersebut, adalah kekerasan terhadap anak dalam bentuk kekerasan seksual.

Korban tersebut bukanlah sedikit, bayangkan saja seperti apa nasip dan masa depan anak-anak Pekanbaru yang sudah menjadi korban. Jangankan untuk melanjutkan pendidikan, bahkan untuk melanjutkan hidupnya saja pasti menuai berbagai halangan dan trauma, baik trauma psikis, dan sebagainya bahkan lebih mirisnya lagi banyak dari korban kekerasan seksual yang dibunuh untuk menhilangkan jejak kebiadaban pelaku.

Seperti yang dilansir dari presidenri.go.id, komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan (komnas perempuan) merilis data bahwa setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di indonesia. Ini berarti, ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Komnas perempuan mengidentifikasi kekerasan seksual memiliki 15 bentuk, yaitu: perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual/diskriminatif, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Dari Komnas perempuan juga sudah menetapkan bebagai bentuk pelanggaran seksual, dan disetiap pelanggaran seharusnya ada hukumannya namun tetap tidak semua hukuman itu dijalankan secara tetap, jelas, dan transparan. Tetap terus saja pelaku berkeliaran kesan-kesini tanpa memikirkan korban yang entah masih hidup entah tidak. Memang banyak kilah yang di dengar dari pejabat-pejabat penting mengenai kekerasan yang baru-baru ini terjadi misalnya kasus bocah 14 tahun yang diperkosa dan dibunuh para pemabok namun naasnya seorang pejabat tinggi Indonesia mengatakan “seharusnya perempuan itu tidak lemah”. Perempuan memang dituntut kuat namun si korban itu masih tergolong remaja muda atau bisa dibilang anak-anak yang melawan 14 pemuda yang sedang gangguan jiwa karena mabuk dan jikalau sang pejabat yang menjadi korban entah masih bisa hidup entah gimana. Kadang entahlah.

Banyak memang kekerasan seksual yang terjadi di negara ini, jangankan dinegara, di Pekanbaru bahkan ditingkat keluargapun kekerasan seksual acapkali terjadi. Naasnya seorang ayah kandung bahkan sampai hati menodai putri bahkan putranya sendiri, naudzubillah. Berbagai bentuk peraturan terus ditegakkan di negara ini, setiap segi kehidupan pasti ada peraturannya namun naasnya peraturan tinggal peraturan dan hukumanpun tidak berlaku. Seharusnya memang peraturan itu untuk ditaati bukan dilanggar, mungkin karena itulah setiap harinya terus terjadi berbagai bentuk kejahatan di negara ini.

Jika berpikir singkat mungkin pernah terpikir bahwa kebiri saja pelaku bahkan bunuh saja pelaku karena sudah membunuh dan merusak kehidupan dan masa depan korban. Namun jika di teliti lagi kekerasan seksual ini merupakan suatu tindakan abnormal yang menimpa pelaku, seharusnya bukan jalan pintas yang disediakan untuk pelaku dengan mengadakan kebiri

Jika diteliti lagi, dari kabar24h.com, efek samping kebiri diantaranya adalah dapat menyebabkan osteoporosis, perubahan kesehatan jantung, kadar lemakdarah, tekanan darah, dan gejala yang menyerupai menopause perempuan. Di antaranya akan berpengaruh pada fungsi hormon sekunder laki-lakinya akan jadi hilang. 

Pelaku akan jadi seperti perempuan. Kalau waria senang biasanya karena akan muncul sifat-sifat perempuannya, misalnya payudara bisa membesar, tapi tulang mudah keropos, namun seorang laki-laki normal atau yang sudah memiliki keturunan itu akan menjadi aib dan noda bagi mereka. Hal ini lebih parah daripada memenjarakan pelaku karena efek kebiri ini merupakan salah satu cara pembunuhan terselubung dan pembunuhan secara perlahan.

Seharusnya yang harus diperbaiki dari pelaku adalah mengembalikan mereka menjadi normal kembali yaitu dengan penanaman nilai-nilai moral dan agama kedalam diri pelaku karena setiap agama yang diakui di negara ini sangat tidak mendukung kekerasan seksual bahkan islam sebagi agama masyoritas melaknat pelaku dan perlakuan seperti itu serta dengan membina dan merehabilitasi pelaku dengan cara mendekatkannya ke jalan kenormalan dan ke jalan yang benar. 

Tidak hanya penanaman nilai agama dan nilai moral, juga bisa dilakukan dengan penegakan hukum yang tegas dan jelas di Indonesia ini bukan seperti hukum sekarang yang “tumpul ke atas tajam ke bawah” yang menganggap maling ayam itu suatu kehinaan dan kenistaan namun mengagungkan maling uang negara bahkan untuk menghormatinya maling uang negara di beri sebutan lebih lembut yaitu “koruptor”. Jika semua ini sudah terlaksana, jangankan kekerasan seksual, berbagai kebiadaban dan kejahatanpun akan teratasi. InsyaAllah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun