Membaca dan mengingat kembali pendidikan dan akhlak yang diajarkan oleh orang tua zaman dahulu kepada anak-anaknya, saya pun jadi teringat bahwa apa yang diajarkan oleh bapak dan emak saya di kampung benar-benar dapat mengantarkan saya (bersama kedua kakak saya tentunya) pada pribadi dan keluarga yang oleh kebanyakan aktivis pergerakan saat ini disebut sebagai titik aman. Ketika saya membaca sebuah status di media sosial, yang ditulis oleh seorang teman yang dahulu ia adalah aktivis pergerakan kampus pada era 2000-an, menulis dengan bahasa aktivis-nya “Alhamdulillah, atas izin Allah apa yang selama ini ditunggu akhirnya muncul juga, NIP saya keluar dan tinggal menunggu SK (surat keputusan) untuk melaksanakan tugas Negara. Teringat ketika saya kuliah dulu, apa yang saya dapat saat ini semata menempatkan saya berada pada titik aman, karena jika saya nantinya menjadi kaya, orang akan curiga darimana dan apa yang saya lakukan hingga harta saya berlimpah. Sebaliknya, jika saya miskin, kemana uang yang saya dapat padahal Negara telah me ‘ngotrak’ seumur hidup saya, hehehe”.
Demikianlah celoteh yang ditulis oleh ‘mantan’ aktivis tahun 2000-an tersebut di akun media sosialnya, saya pun juga demikian, pendidikan yang di ajarkan oleh bapak dan emak sejak saya kecil hingga akhirnya saya seperti saat ini, berada pada titik aman seperti temak aktivis di atas, semata merupakan pendidikan yang di ajarkan tanpa memandang dan melihat kurikulum apa yang dipakai oleh bapak dan emak dulu. Beliau adalah guru yang belajar pada hidup dan alam, belajar pada lingkungan sekitar dan arti serta tujuan kehidupan, tanpa melihat teks sebagai rujukan utama, untuk mengantarkan anak-anaknya pada puncak titik aman kehidupannya.
Pendidikan bukan semata duduk termenung dan mendengarkan ceramah guru atau dosen di kelas, pendiidkan bukan sekedar menulis dan menghafal, pendidikan bukan pula sekedar lulus ujian dan mendapat nilai yang baik, pendidikan bukan pula masalah ijazah dan mendapat pekerjaan, namun bagaimana pendidikan benar-benar berfungsi seperti apa yang disampaikan oleh bapak pendidikan Indonesia.
Orang yang dapat disebut sebagai orang yang berpendidikan adalah mereka yang pertama, ketika berada di depan sebagai pemimpin, ia tidak hanya memerintah bawahannya saja, ia tidak hanya pandai memberikan tugas saja, namun mampu memberikan teladan dan contoh yang baik kepada orang-orang yang ada di depannya, memberikan contoh kepada mereka yang berada di bawah kepemimpinannya. Nampaknya apa yang di ajarkan oleh Ki Hajar Dewantara ini bersumber pada apa yang pernah di ajarkan oleh khatamin nabiyyin kepada ummatnya. Bagaimana dahulu Muhammad ibn Abdillah membawa ummatnya pada zaman ke emasan ketika berada di bawah kepemimpinannya, seperti yang ditulis dalam beberapa sirah bahwa Rasulullah Muhammad bukan memerintah ummatnya namun mengajarkan kepada mereka melalui ccontoh dan teladan penuh cinta, inilah kemudian yang seringkali di abaikan.
Kedua, mereka yang disebut sebagai orang yang berpendidikan adalah ing madyo mangun karso. Ketika telah selesai memberikan tauladan, maka apa yang dicontohkan hendaknya dapat diterapkan dalam kehidupan nyata, kemudian penerapan tersebut pun perlu diiringi dengan pemantauan dan dukungan, agar apa yang dilakukan dapat dilaksanakan dengan terus menerus, meminjam bahasa ketika nyantri dulu, istiqomah. Dukungan yang diberikan bukan hanya sekedar dukungan semata, namun pun disertai dengan nasihat-nasihat yang menyejukkan, yang kelak setidaknya dapat menjadi pemberat penasihat fii yaumil qiyamaah untuk masuk surga, aamiin.
Ketiga, Tutu Wuri Handayani yang merupakan mata rantai rangkaian proses pembelajaran yang diberikan kepada calon terididik dengan jalan memberikan dukungan dan motivasi, ya, dukungan dan motivasi yang dimaksud adalah agar ke-istiqomah-an yang telah dibangun dapat bertahan lama dan bahkan sampai pada ajal menjemputnya.
Nampaknya inilah yang seringkali terlupakan dalam pendidikan kita, doktrin yang entah karena termakan oleh zaman dan bualan media sosial, atau karena rapuhnya pertahanan yang dibangun oleh mereka yang hanya sekedar tahu tanpa mau klarifikasi atau cari tahu, atau bahkan karena mereka yang hanya ikut-ikutan saja tanpa peduli, yang kesemuanya pada akhirnya melahirkan generasi kualitas foto copy yang banyak dipasarkan dan bahkan diobral serta saling berlomba untuk memberikan pelayanan murah dan ‘mengaku’ berkualitas.
Lahirnya lulusan sekolah menengah sampai pada lulusan sekolah tinggi yang beberapa diantaranya belum mampu menjawab tantangan dan peradaban masa depan, menjadi suatu keniscayaan yang pada akhirnya berdampak pada tumbuhnya universitas instan, fakultas jalanan, prodi warung kopi, yang secarik bukti tanda kelulusannya bisa didapatkan dengan beberapa lembar pecahan yang mudah dicari di pinggiran jalan. Jangan tanya kualitas, yang ada dan berkembang kemudian adalah pemikir-pemikir musiman yang men-judge celoteh-celoteh di kampus gentayangan yang tak tahu dasar dan bahkan tak hafal dalil dan alasannya.
Sekolah bukan sekedar memperoleh ijazah dan gelar, namun lebih pada bagaimana perubahan tak terbantahkan yang melahirkan pemikir dan ilmuan yang mampu memberikan sumbangsih pada pengembangan ilmu dan pengetahuan. Bukan mereka yang pandai corat-coret merayakan kelulusan, bukan mereka yang berpesta saat akhir tahun pelajaran, bukan pula mereka yang suka mengumbar aurat dengan konvoi dijalanan. Ah…sudahlah, tak etis rasanya jika semua disebutkan dalam coretan dan celotehan, ada baiknya mari kita bersama-sama koreksi diri, renungkan setiap khilaf tanpa ada iri, buat diri dan orang-orang yang ada di sekitar diri menjadi mandiri dan mampu menempatkan diri dimana ia berdiri.
Berhenti mengoreksi gelar palsu dan semu, mulai menata diri dengan penuh kesungguhan tanpa ragu, tak mudah tergiur dengan janji dan ijazah palsu, yang hanya akan mengantarkan kita pada jurang dan degradasi nafsu. Meminjam bahasa orang Madura, AMBU.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H