Mohon tunggu...
Abdul Muis
Abdul Muis Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis, belajar otodidak dari internet tentang inovasi pembelajaran, aktif sebagai narasumber berbagi praktik baik, fasilitator PGP, Praktisi Menggajar, pendiri penerbit Klik Media dan Pustaka Mahameru, Abinya Nada dan Emil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membenci Sekadarnya, Mencintai Sekadarnya

20 Juli 2024   05:57 Diperbarui: 21 Juli 2024   15:45 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musyawarah adalah cara terbaik menyelesaikan konflik (dok. pribadi)

Lingkungan di mana tempat kita kerja merupakan ladang mencari nafkah. Di tempat itu pula kita berinteraksi dengan banyak orang, bergaul dengan ragam latar belakang dan bahkan menjadikan mereka sebagai bagian dari kehidupan kita karena waktu banyak dihabiskan dengan mereka di siang hari. Interaksi kita dengan rekan kerja bukan sekadar hubungan kerja tapi boleh jadi lebih dari itu, sahabat, teman, bahkan keluarga. Ada rasa yang dititipkan untuk dijaga, saling mengingatkan dan saling menasihati, saling berwasiat terhadap kebaikan, wa tawa sawbil haqq, wa tawa saubisshobri.

Interaksi dengan banyak orang dan ragam latar belakang itu pula kemudian yang menghadirkan ragam situasi, bahagia, sedih, tertawa terbahak-bahak, marah, benci, menyindir, sinis, dan lain sebagainya. Ragam situasi itu wajar, karena tentu isi kepala kita dengan orang lain berbeda, apa yang kita pikirkan tentu berbeda dengan orang lain, tujuan kita, keinginan kita, harapan, impian dan bahkan mimpi di masa depan pasti berbeda. Namun, dari ragam perbedaan itu, ada satu sisi yang juga pasti sama: nilai kebaikan.

Tidak ada agama di dunia ini yang mengajarkan kejahatan, kebencian, dan bahkan permusuhan. Agama apapun di dunia ini pasti mengajarkan kedamaian, kebaikan dan takwa versi mereka masing-masing, versi ajaran mereka masing-masing. Begitu pula dengan kita sebagai makhluk, kebaikan kita adalah fitrah dan nilai diri yang dibawa sejak lahir, setiap kita pasti setuju bahwa muara akhir dari harapan kehidupan ini adalah khusnul khatimah.

Ada banyak sekali cerita yang bisa kita dengar dan boleh jadi kita lihat sendiri, tentang bagaimana ketidakmampuan seorang pemimpin mengelola, mengatur, mengarahkan, membimbing dan menuntun bawahannya. Memimpin organisasi, lembaga kecil, sedang, besar dan bahkan memimpin negara, membutuhkan keterampilan khusus. Jika kita sebagai pemimpin, maka pasti akan dihadapkan pada ragam situasi dan kondisi, ragam latar belakang, ragam keadaan yang mestinya egoisme pemimpin tak boleh ada pada diri. Jika kita tidak bisa memuaskan keinginan banyak orang, setidaknya sebagian besar orang puas dengan cara, gaya dan model kepemimpinan kita.

Membenci atau tidak suka pada pemimpin itu boleh, tapi sekadarnya saja. Karena kebencian itu adalah bagian dari kritik kita terhadap dirinya, gaya kepemimpinannya, caranya menjadi sopir dan caranya membawa kendaraan 'organisasi'. Kebencian kita terhadap seorang pemimpin yang sekadarnya itu, menandakan bahwa idealisme ini masih ada dan hidup, idealisme diri ini masih tumbuh, berkembang dan terus bergerak. Muaranya satu, kebaikan khalayak.

Sebaliknya, kecintaan kita kepada pemimpin pun tidak boleh cinta buta, taklid buta, menuruti setiap perintahnya apalagi menuruti semua keinginannya, karena itu menandakan bahwa idealisme kita dihabisi, dikebiri dan lebih sadis lagi idealisme kita dimutalasi dihabisi sehabis-habisnya, ngeri. Ini juga menjadi indikator bagi kita yang mencintai pemimpin dengan cara taklid buta, bahwa ada rasa taklid (tunduk, patuh, ikut tanpa terkecuali) yang membabi buta, tak peduli apakah itu salah, dusta, haram, melanggar asas kepatutan dan lain sebagainya, yang sebenarnya hati kecil kita tak terima, namuan terkalahkan karena cinta buta dan taklid buta. Sifat taklid ini berbahaya karena akan mendatangkan 'kotak-kotak' kecil yang boleh jadi memicu kerawanan, permusuhan dan bahkan perselisihan. Hingga pada akhirnya tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan, mengerikan.

Al-Qur'an berpesan melalui Qs. 2/216: 

Boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu

Kebencian kita kepada pemimpin adalah bentuk protes kita bahwa apa yang dilakukannya selama ini salah, tidak sesuai aturan, tidak berada pada rel yang ditetapkan. Pemipin yang baik tentu dapat menerima ini, menerima kritik, saran, masukan, suara dari bawahan, karena pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak egois, mendahulukan kepentingan khalayak daripada kepentingan dirinya sendiri.

Kecintaan kita kepada pemimpin adalah bentuk ketaatan karena kita adalah bagian dari rumah besar organisasi yang sedang dipimpinnya, bukan bagian dari antek apalagi kelompok-kelompok tertentu yang sengaja diciptakannya untuk mengamankan kekuasaan dan kepemimpinannya. 

Cintai sekdaranya, benci sekadarnya. Boleh jadi yang paling kita cinta kelak akan menjadi orang yang paling dibenci dalam hidup. Sebaliknya, orang yang kita benci boleh jadi kelak akan menjadi orang yang paling dicinta dalam hidup. Cintai dan ikuti pemimpin selayaknya seorang pemimpin, karena jabatan hanya titipan dan sementara. Bencilah pemimpin selayaknya makhluk yang masih memiliki idealisme, sekadarnya saja, karena itu adalah bukti bahwa diri ini masih ada dan peduli.

Bagaimana pemimpin di tempat kerja Anda saat ini? patut dicintai atau memang seharusnya dibenci?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun