Mohon tunggu...
Abdul Muis
Abdul Muis Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis, belajar otodidak dari internet tentang inovasi pembelajaran, aktif sebagai narasumber berbagi praktik baik, fasilitator PGP, Praktisi Menggajar, pendiri penerbit Klik Media dan Pustaka Mahameru, Abinya Nada dan Emil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anda Guru? Hindari 3 Hal Ini

16 Juli 2024   05:53 Diperbarui: 16 Juli 2024   07:19 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagaimana hari pertama putrinya sekolah kemarin, Bu?"

"Alhamdulilah, anaknya seneng banget, Pak. Padahal saya sudah khawatir sekali, saya sudah membayangkan dia di sekolah rewel, merajuk, dan yang ekstrim saya membayangkan dia diganggu teman barunya, Pak"

"Tapi itu semua tidak terjadi kan, Bu?. Orang tua amatiran seperti kita ini memang seringkali khawatir berlebihan padahal yang terjadi jauh dari apa yang kita khawatirkan, ya, buktinya semua baik-baik saja, ya, Bu".

"Iya, Pak. Lega rasanya. Dia seneng banget sekolahnya"

***

Kekhawatiran berlebihan seseorang terhadap kondisi atau situasi baru, lumrah dan biasa terjadi, termasuk mereka yang baru mengalami sesuatu, baru melakukan sesuatu, baru terjadi sesuatu kepada dirinya dan bahkan baru menduduki jabatan baru. Yang terakhir ini biasanya disebut demam panggung, sensitif dan mudah tersinggung atau perasa.

Obrolan saya di atas dengan salah satu wali murid yang anaknya baru masuk sekolah, menjadi bukti sahih bahwa sebagai orang tua 'amatiran', rasa khawatir itu ada dan bahkan sangat parah. Kekhawatiran berlebihan terhadap kondisi anaknya yang baru pertama kali masuk sekolah, mengenal sekolah, mengenal lingkungan baru, bertemu dengan orang baru, guru baru, posisi baru dan keadaan yang baru. Sebagai orang tua, tentu rasa khawatir itu wajar, karena selama ini anaknya selalu bersamanya, ada di rumahnya, tidak ke sekolah, bermain dan menghabiskan banyak waktu dengannya. Namun kini, semua itu berubah.

Rasa khawatir yang berlebihan tersebut sebaiknya pelan-pelan mulai dikikis. Apa yang dialami dan dilakukan anak saat ini adalah bagian dari proses, prosesnya belajar, prosesnya menjadi anak yang sesungguhnya, proses mengenal lingkungan, teman dan bahkan budaya dan kebiasaan baru. Kita semua tentu sepakat dengan ungkapan "hasil tidak akan mengkhianati proses". Ungkapan ini sejatinya hanya pelecut semangat bagi kita untuk terus bergerak, berubah dan kemudian berdampak. Namun yang perlu dicatat dan ditebalkan adalah, hasil yang baik tentu dilakukan dengan proses yang baik pula, begitupun sebaliknya. Jangan pernah berharap hasil sempurna jika proses yang dilalui curang atau bahkan instan. Mustahil.

Sekolah dan lingkungan baru bagi anak adalah bagian dari itu semua, bagian dari cara anak dan orang tua berproses. Anak belajar, mengenal lingkungan dan teman baru, begitu pula orang tua, belajar berproses melepas anak belajar di luar rumah, di lingkungan baru dan merelakan anak dididik oleh orang baru. Toh, proses itu pun hanya berjalan beberapa jam. Jika dibandingkan dengan orang tua 'profesional' yang mengirimkan anaknya ke pondok, yang rela melepas anaknya untuk waktu yang lama, bukan hitungan jam, namun hitungan hari dan bahkan bulan, sungguh luar biasa. Kita? tak ada apa-apanya dibanding mereka. Perlu banyak belajar kepada mereka, para orang tua 'profesional'.

Sebagai guru pun saya rasa juga demikian. Ada beberapa sifat atau perilaku yang boleh jadi tidak mesti ada pada diri guru. Cerita saya dengan salah seorang teman di atas, relate dengan beberapa sikap, hal, kondisi dan keadaan berikut, yang mestinya dihindari dan jika ingin lebih ekstrim, sifat berikut 'haram' ada pada diri seorang guru, hehe. Apa saja sifat itu?

  • Caper

Caper atau cari perhatian. Sebagai seorang guru profesional, cari perhatian ini sejatinya wajib ada pada diri guru ketika mereka berada di depan peserta didik. Cari perhatian peserta didik ini diwujudkan dalam ragam aktivitas pembelajaran yang menyenangkan, menghadirkan pembelajaran yang membahagiakan peserta didik, sehingga kehadiran kita sebagai guru selalu dirindukan. Akan ada masa dan waktu di mana peserta didik kelak akan bertanya, "Pak X ke mana ya, kok ga masuk?". Peserta didik rindu dengan kehadiran kita, karena kesan pertama telah mampu menghipnotis peserta didik, guru telah mampu mencuri perhatian peserta didik dengan pembelajaran menyenangkan saat pertemuan pertam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun