RIYADH ARAB SAUDI | Kehidupan penuh dengan cerita, kisah, mimpi, dan pesona, demikian seiris bait puisi ala Kahlil Gibran. Cerita tentang Riyadh dan sisi lain dari kota ini akan dimulai dari kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya. Sebut saja kondisi pasar tempat dimana masyarakat berkumpul dan bersosialisasi.
Pasar dalam edisi ini adalah Pasar Batha Riyadh Arab Saudi. Sama persis dengan pasar tanah abang, mangga dua dan roxy serta mal cempaka mas di Jakarta. Sama persis dengan pasar bambu kuning, pasar bawah, mal ramayana di Bandar Lampung. Sama persis dengan pasar 16 ilir, pasar palimo, pasar cinde di Palembang. Sama dengan pasar amplas, mal sun plaza di Medan.
Kesamaan itu tentunya penting, untuk menggambarkan betapa pasar di seluruh dunia adalah tak berbeda. Sama dari aspek tata kelola, kebersihan, keindahan, keramaian, kelengkapan, sampai kecopetan. Kalimat terakhir itu tidak terjadi di pasar batha, karena kondisi Riyadh saat ini jauh lebih aman dibandingkan sebelumnya.
Pemerintah Arab Saudi sangat ketat dan disiplin dalam menegakkan hukum bagi warga negaranya dan warga negara pendatang. Terbukti dari beberapa kasus yang telah disidangkan, diputus, dan dieksekusi, termasuk salah satu warga negara Indonesia. Meski demikian, laporan ini tak berniat menyentuh ranah kebijakan politik luar negeri antara Indonesia dan Arab Saudi.
Diplomasi silahkan berjalan, protes keras warga negara Indonesia boleh dilakukan, namun aktivitas ‘orang Indonesia’ di Riyadh, Haramain (Mekah dan Madinah), Jeddah niscaya dilakukan seperti biasa.
Inilah negeri setengah demokrasi ala TVOne milik grup Bakrie, setengah-setengah memahami demokrasi dan keadilan, belum utuh melihat kebenaran dan hukum, abu-abu memandang sebuah proses atas kebijakan yang dilakukan. Hal itulah cara mudah menggambarkan pasar batha Riyadh untuk ‘orang Indonesia’ di tanah air.
Akan tetapi, ternyata para penjual di pasar batha kebanyakan dari ‘orang India, Bangladesh, dan Pakistan’. Negara Asia sebelah Timur ini tiap tahun menjadi buruh migran di tanah Arab. Mereka bekerja sebagai buruh kasar, sopir, pekerja keras, pedagang, bahkan bos lapak di pasar. Menariknya, justru penduduk asli entah pergi kemana, sebagian mengatakan mereka hijrah ke Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, dan beberapa tempat di Philipina, Thailand, dan Singapura.
Menurut sopir universitas Islam Imam Muhammad bin Saud Riyadh asal Jawa Barat, kalaulah mau dihitung secara matematika, misalnya 1000 penduduk yang tinggal di Riyadh, dapat dipastikan hanya 30% saja penduduk asli, selebihnya adalah pendatang; India, Gujarat, Bangladesh, Pakistan, Indonesia, Cina, Melayu, dan Eropa.
Di sisi lain, Indonesia menduduki rangking satu dalam mendatangkan devisa bagi kerajaanArab Saudi setiap tahunnya, tepatnya pada musim haji dan umrah. Peringkat kedua adalah India dan Bangladesh pada aspek tenaga kerja, ketiga dan seterusnya adalah bangsa Eropa.
Gambaran tersebut, tampak jelas di pasar batha Riyadh. Jelas wajah-wajah orang India, Bangladesh, Pakistan, Melayu; Cina, Thailand, Brunei. Namun tak ada wajah-wajah orang ‘kita’ asal Indonesia.
Bagaimana sisi lain pasar batha selanjutnya? Tunggu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H