Mohon tunggu...
Monang Ranto Vaber Simamora
Monang Ranto Vaber Simamora Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Suami dari seorang istri dan seorang gembala jemaat.

Perintah itu pelita, ajaran itu cahaya, dan teguran yang mendidik itu jalan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menolak Keberadaan Tuhan dengan Paradoks: Bisakah Tuhan Menjadi Diri Saya?

12 April 2022   18:13 Diperbarui: 13 April 2022   00:21 2248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita akan masuk pada eksperimen pikiran orang-orang "gila". Perhatikan kata "gila" di situ mengacu pada mereka yang "cerdik pandai", yang mampu memanipulasi sesuatu yang tidak ada menjadi ada dalam pikiran orang-orang tertentu, tetapi faktanya tidak ada. Sesuatu yang yang dibuat itu hanya ada dalam rangkaian kata tetapi sesungguhnya "sesuatu itu tidak ada".

Untuk memasuki dunia mereka, kita perlu melewati sebuah pintu. Pintu ini disebut "Paradoks". Tahukah anda apa itu paradoks, paradoks itu seperti permen yang tidak memiliki warna. Nah, loh...Permen apa yang tidak punya warna? Paradoks itu seperti bunyi yang tidak memiliki nada. Heem... emang ada bunyi yang tidak memiliki nada? Tidak ada. Permen yang tidak berwarna juga tidak ada. Demikianlah halnya dengan "Paradoks".

Jadi, apa sebenarnya Paradoks itu? Paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Kebenaran apa yang terkandung dalam Paradoks? Kebenarannya adalah "sesuatu yang dijelaskan itu sebenarnya tidak ada." Ketiadaan arti itulah yang membuat Paradoks itu menjadi menarik, dia seperti kotak yang bulat atau kertas putih yang berwarna hitam.

Apakah ada kotak yang bulat? Tidak ada. Apakah ada kertas putih yang hitam? Tidak ada. Kalau putih ya seharusnya tidak hitam atau kalau bulat ya tidak kotak, itu dua hal yang berbeda yang tidak dapat ada pada saat yang sama dan dalam pengertian yang sama. Nah, mengapa kita "tergelitik" dengan kata "paradoks" karena kita bisa mengatakan sesuatu yang tidak ada dengan penjelasan yang panjang lebar. Cukup menarik bukan?

Mari, kita masuk ke "Pintu paradoks"nya. Sebuah pintu yang tidak pernah ada. Tapi diibaratkan ada, untuk menentang sebuah hal. Atau lebih tepatnya untuk menjadi oposisi (lawan) dari satu hal. Apa yang hendak ditentang? Yang hendak ditentang adalah logika umum yang dimiliki oleh semua manusia. Dengan menentang logika umum mereka hendak menciptakan alam semesta yang tanpa Tuhan.

Paradoks inilah yang dipakai oleh kaum atheis untuk menentang keberadaan Tuhan Yesus. Herannya banyak orang berpikir bahwa paradoks itu sesuatu yang ada. Mereka tidak berpikir bahwa paradoks sebenarnya nama lain dari kontradiksi. Kita tahu tidak ada kebenaran dalam kontradiksi. Demikian juga dengan Paradoks, tidak ada kebenaran dalam paradoks.

Dengan kata lain paradoks adalah sesuatu yang tidak mungkin. Dengan sesuatu yang tidak mungkin (paradoks) inilah orang yang tidak percaya Tuhan Yesus menolak keberadaan-Nya. Banyak penjelasan "ketidakmungkinan" dijadikan dasar untuk menolak keberadaan Tuhan Yesus. Di sini kita akan melihat tiga ketidakmungkinan tersebut:

1. Tuhan tidak bisa menjadi diri saya, karena itu Tuhan tidak ada.

Jelas ini sesuatu yang tidak mungkin (paradoks) untuk dilakukan oleh Tuhan. Ini sudah menyalahi hukum logika tentang Identitas. A adalah A pada dirinya sendiri. Tuhan tidak dapat  menjadi sesuatu yang lain yang bukan diri-Nya. Tidak ada hal apapun yang "ada pada dirinya sendiri" sekaligus dia "ada pada diri yang lain" pada saat yang sama dan dalam pengertian yang sama.

Bagaimana dengan Yesus Kristus? Bukankah Tuhan menjadi sesuatu yang lain?    Tidak. Tuhan tidak menjadi pribadi orang lain, Dia menjadi manusia tetapi tidak   menjadi diri orang lain. Dia menjadi manusia tetapi tidak sama dengan menjadi diri orang lain. Tuhan dalam rupa manusia tetapi bukan menjadi saya. Dia adalah Dia dalam wujud manusia-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun