Dalam jurnal ilmiah, kebaharuan (novelty) merupakan hal yang paling dicari. Sebuah jurnal yang tidak memiliki novelty, pada umumnya tidak akan dilirik oleh peneliti/pembaca (reviwer). Karena dalam kebaharuanlah terletak nafas dari ilmu. Tanpa kebaharuan, jurnal ilmiah hampir tidak dapat lagi disebut sebagai ilmu.
Selain metode, syarat lain dari ilmu adalah novelty. Novelty inilah yang membuat ilmu tetap berkembang, berposes dan saling meninggalkan teori lama menuju pada teori baru. Saat tesis-tesis disintesiskan sehingga memenuhi sebuah jurnal ilmiah disanalah novelty terlihat dengan jelas. Saat seorang reviwer membaca sebuah jurnal yang akan terbit dia akan berkata "Jurnal ini punya nafas baru, baiklah saya akan terus membacanya".Â
Ilmu berkembang karena adanya sebuah "temuan baru" atau semacam daerah baru yang belum disentuh oleh penulis lainnya. Saat seseorang menemukan "titik kosong" yang belum diisi oleh penulis lainnya, disitulah ia berdiri, menjelaskan hal yang belum pernah dijelaskan oleh penulis lainnya. Dia akan bereksperimen dalam titik kosong itu dan menjelaskan kepada dunia, ini temuan saya.
Nah, karena kebaharuan menjadi fokus utama seorang penulis. Maka dia akan berusaha menemukan sebuah novelty (kebaharuan) bagi tulisannya. Tulisan yang tidak memiliki kebaharuan hanyalah pengulangan dari pandangan yang sudah ada, jurnal ilmiah seperti ini tidak membawa kemajuan apa-apa dalam keilmuan. Ilmu akan seperti "telor diujung tanduk" jika tidak menghasilkan sebuah kebaharuan.
Kita cukupkan dulu hal mengenai ilmu, kita akan masuk kebidang lain.
Novel. Apakah novelty juga dibutuhkan dalam karya fiksi? Disinilah titik yang membuat karya fiksi itu lebih menarik. Dalam karya fiksi novelty itu bertebaran, itulah sebabnya kita melihat seluruh dunia suka akan cerita fiksi. Kita juga melihat buku-buku fiksi menghiasi "best seller" dibanding buku-buku yang non fiksi (Sains, Biologi, Botani, filsafat, dll).
Lagi pula dalam novel "hampir" tidak ada yang namanya plagiator. Bandingkan dengan jurnal-jurnal ilmiah atau makalah-makalah atau skripsi, tesis bahkan disertasi yang banyak plagiatornya. Beda jauh dengan karya fiksi seperti novel. Dengan kata lain karya fiksi sarat dengan novelty.
Tambahan lagi dalam karya fiksi imaginasi jauh lebih menghasilkan sebuah novelty dari pada penggabungan banyak pikiran dari banyak pemikir dalam sebuah jurnal ilmiah. Alasannya jelas, karena berpikir tentang pemikiran orang lain itu kompleks, jauh lebih baik berpikir bebas karena selain hasilnya lebih murni karya sendiri, karya ini jauh lebih susah karena bukan hasil dari perpaduan banyak pemikiran yang ada.
Kesusahan karya ilmiah terletak pada mengingat teori si "A" dan teori si "B" dan mencari pemikiran baru dari gabungan kedua pemikiran tersebut. Kalau dalam karya fiksi kesusahannya terletak pada temuan "murni" dari hasil imaginasi sendiri.
Lalu bagaimana dengan kebermanfaatan? Tentu saja novel tidak kalah bermanfaat dari bidang ilmu lainnya. Mungkin kebermanfaatanya dalam bidangnya masing-masing. Untuk meningkatkan imaginasi anak sangat disarankan untuk membaca buku cerita (novel) tetapi kalau untuk kebermanfaatan yang sifatnya umum sangat baik membaca buku-buku non fiksi.