Rusaknya alam bukan tersebab ia menguraikan segala apa yang dikandungnya, terlebih pencemaran yang tiada henti menerpa, tak ubahnya seperti rumah yang dibangun lalu ditempati tapi tak pernah di bersihkan maka hanya akan berujung pada rusaknya susunan rumah tersebut sampai pada dasarnya. Semrawutnya ibukota hari ini adalah bagaimana wajah dari para pemangku kepentingan dinampakkan, pun pada segala visi dan misi yang akhirnya hanya menjadi formalitas dalam pekerjaan, lalu rusaknya udara adalah sebab banyaknya penghuni ibukota ?. Sementara yang punya peran besar didalamnya, malah asik ria dengan izin perusahaan yang justru semakin memperparah polusi ibukota, maka peran negara hari dimana ?
POLUSI : Kepentingan & Sebab Akibatnya
Mahkamah menolak kasasi yang dilayangkan oleh pihak tergugat Presiden cq Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terkait kasus polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Dengan perkara kasasi nomor 2560 K/PDT/2023. Perihal itupun, pemerintah sendiri dinyatakan tetap melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diputuskan oleh pengadilan sebelumnya. (Kompas, 19-11-2023).
Seperti kita tau bersama bahwa kesemrawutan penanganan polusi yang terjadi di ibukota nyatanya sampai dengan hari ini tak kunjung rampung, hanya menyisahkan tanda tanya besar yang tak pernah dijawab solusinya oleh para pemegang kuasa, sedang kualitas udara kian hari terus menurun.
Yang pada dasarnya Jakarta paling rajin dalam menduduki peringkat kota dengan tingkat polusi udara yang tinggi dengan kurun waktu 2015-2023. Melansir dari data situs IQAir.com mencatat bahwa Jakarta ada di posisi pertama kota berkualitas udara terburuk di dunia dengan indeks kualitas udara (AQI) sebesar 170. Angka ini pun termasuk dalam kategori tidak sehat dengan polusi udara sebesar PM2,5. Data ini berdasarkan pantauan IQAir pada bulan Agustus 2023 lalu. (Tirto.id, 23-08-2023).
Tentu hal ini bukan tanpa alasan, kenapa bisa terjadi polusi di ibukota, yang jelas-jelas merupakan pusat berjalannya roda pemerintahan. Apalagi sampai terjadi kesemrawutan yang ujungnya pun tak dapat diselesaikan. Sekilas bahwa penolakan MA atas kasasi Presiden dkk pada kasus polusi di Jakarta dianggap sebagai kemenangan rakyat. Penolakan tersebut berkonsekuensi pada kewajiban menjalankan hukuman. Anehnya hukuman yang diberikan hanya dalam bentuk penentuan pengetatan Baku Mutu Udara Ambien Nasional dll yang sejatinya merupakan tupoksi para tergugat.
Ini justru memperparah marwah hukum di mata masyarakat, yang jelas-jelas memberikan hukuman bukan atas dasar-dasar hukum yang dipakai selama ini. Tapi lebih kepada tupoksi yang sebenarnya adalah tugas dari para penguasa untuk menjalankannya sesuai mandat UU Dasar 1945. Pernyataan dalam hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa.
Pertama, tergugat I (Presiden RI) terkait dengan Pengetatan Baku Mutu Udara Ambien Nasional yang didalamnya melindungi Kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosisten, termasuk Kesehatan populasi yang sensitife berdasar pada perkembangan Iptek.
Kedua, Tergugat II (Menteri KLHK) untuk melakukan supervise kepada Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam melakukan inventarisasi emisi lintas batas Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Ketiga, Tergugat III (Mendagri) untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kinerja tergugat V (Gubernur DKI Jakarta) dalam mengendalikan pencemaran udara.