Sebagai orang awam, tentunya, banyak yang tak paham dengan istilah itu. Sebagai orang kelas akademisi menengah pun, bisa jadi, agak sulit untuk memahami konsep tersebut. Tetapi, bagi mereka yang paham konsep dan teori politik, mungkin akan ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Tetapi, jelas sudah, bahwa bagi orang-orang yang setengah matang pemahamannya, seperti yang akan disampaikan di sini, mungkin akan dengan mudah mengiyakannya, atau mungkin mudah untuk menolaknya.
Eh, kata para akademisi, di kampus politisi itu, ada yang disebut Siklus Polybus. Dalam siklus itu, oligarkhi adalah salah satu karakter atau fase perjalanan politik dalam sebuah negara. Â Sayangnya, siklus itu tidak realistis, dalam pengertian, perjalanan itu tidak selamanya berjalan dari satu tahap ke tahap lain. Bisa jadi, dari tirani kolonial (seperti Indonesia sebelum kemerdekaan), kemudian masuk ke fase demokrasi, tidak masuk ke aristokrasi dulu. Namun, soalannya, adalah saat upaya demokratisasi dilakukan, bisa kembali ke karakter yang lainnya.
ramainya diskusi di tengah masyarakat kita, ada yang senang membicarakan masalah oligarkhi. Menurut AI, oligarkhi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu "oligos" yang berarti "sedikit" dan "arkhein" yang berarti "memerintah". Dalam konteks modern, oligarki sering merujuk pada penguasaan oleh sekelompok kecil orang atau entitas yang memiliki kekuatan signifikan atas sumber daya, ekonomi, dan kebijakan negara. Bahasa awannya, adalah dikuasai oleh pemodal, atau  istilah ekonominya, dikuasai oleh kaum borjuis atau kapitalis.
Sekali lagi, soalannya, adalah apakah fenomena serupa ini sebagai sebuah kesalahan ? kekeliruan, atau kejahatan ?
Pertama, gejala oligarkhi pada dasarnya adalah sebuah fakta sosial politik, yang pernah terjadi, dan bisa jadi, terjadi pula. Â Dalam hal ini, kita bisa melihat, bagaimana sebuah negara dikendalikan atau di atur oleh para pemilik modal.Â
Eh, sewaktu reformasi kita pun, pernah memiliki istilah unik. Istilah itu adalah Penguasaha. Mereka itu adalah pengusaha yang berkuasa, atau penguasa yang juga terlibat dalam bisnis. Artinya, jangan-jangan, bila konsep penguasaha ini dipertegas, maka tidak akan jauh berbeda dengan oligarkhi.
Kedua, hal uniknya, saat nalar politisi lebih cerdas, maka dia akan berusaha untuk merasionalisasi tindakan politiknya. Artinya, kendati ada kritik dan koreksi, terhadap dirinya yang sedang berkuasa, padahal sudah berbisnis, atau yang sedang berbisnsi namun kemudian menjadi penguasa, maka dia akan berusaha untuk merasionalsiasi kepentingan politik dan ekomominya. Dalam situasi serupa inilah, maka akan berkembang upaya konstitusionalisasi terhadap rasio ekonomi yang dimilikinya.
Terakhir, dalam pengertian ini, kalangan politisi juga mengakui, bahwa monarkhi bukan sebuah kekeliruan sistem politik. Setidaknya, dengan diakuinya negara-negara penganut monarkhi konstitusional menunjukkan bahwa ada upaya rasionallisasi dari akademisi untuk mengakui hal ini. Maka kita, mengenal sejumlah negara yang dikenal sebagai negara monarkhi konstitusional, seperti Inggris, Jepang, Spanyol ataupun Belanda.
Bila demikian adanya, akankah di negara kita, ada upaya memaklumkan sistem politik oligarkhi konstistusional, yaitu sistem oligarkhi yang dilandasi atau dipayungi hukum ? atau, dalam istilah lainnya, akankah sistem oligarkhi akan menjadi sistem politik yang dipermaklumkan, jika memang dilandasi oleh undang-undang ?
Mengapa pikiran ini, perlu dilontarkan di sini ? apakah pikiran ini, sebagai bentuk kefrustasian kita dalam mewujudkan demokrasi ? atau lebih merupakan sebuah tindakan realisme dalam memaham realitas politik yang berkembang di dunia ini ?